Friday, September 15, 2006

Perempuan Tangguh

Kisah kemandirian perempuan pengungsi di Timor Barat, berjuang melawan kerasnya kehidupan di kamp penampungan.

Olkes Dadi Lado

Elisabeth Namok, belum genap 30 tahun. Tidak terlalu tinggi sekitar 150-an sentimeter, gemuk, berambut ikal. Oleh anak-anak asuhnya akrab dipanggil ma Elis.
Ini kali kedua saya bertemu dia. Pertama saat pelatihan Relawan Informasi Komunitas (RIK)di Emaus-Nenuk, akhir Nopember setahun yang lalu. Ia bersedia menjadi RIK di kamp Weraihenek hingga saat ini. Orangnya cerewet, supel, enak diajak diskusi.

Hari Minggu, (13/08). Saya, Ape dan Jacko berkunjung ke kiosnya di Haliwen, samping stadion olah raga setengah jadi milik kabupaten Belu.
Sebuah kios sederhana, berdinding bebak, beratap seng. Tepat di pertigaan jalan Haliwen-Silawan dan Weraihenek. Di sebelahnya ada lapak billiard yang selalu ramai dikunjungi orang.
“Masuk dulu, saya baru pulang misa ini”, ajak Elis.
Di ruangan berukuran 4x2 meter yang bersebelahan dengan kios kecil miliknya, ada beberapa pemuda tanggung sedang asyik menonton pertandingan tinju Rahman vs Maskaev lewat layar sebuah tv 14 inch dekat pintu masuk pintu. Juga ada beberapa anak kecil duduk lesehan di bawah beralaskan selembar tikar lusuh.

“Sekarang ini, ada sembilan anak yang kami asuh”, kata Elis menunjuk kumpulan anak kecil di hadapan kami.
Dari kesembilan anak yang diasuhnya itu, cuman dua anak yang belum sekolah, masih kecil. Sedang tujuh lainnya sudah, dua di SMU, satu di SMP dan empat lainya masih di bangku Sekolah Dasar.
“Kami ada tiga orang yang urus ini anak dong. Saya, ma Eny dengan ma Ela”, sambungnya.
Elis Namok, berasal dari Dafala-Wedomu. Eny Mooy dari Rote, ia berambut lurus, kulit putih sedangkan Ela atau Angelina Bui adalah sepupu Elis.
Ketiganya sama-sama bekerja di Dili dan mengungsi ke Atambua setelah konflik pasca jajak pendapat di Timor Timur pada 1999 lalu.
“Ceritanya cukup panjang e..sampai kami tiga orang ini bisa jadi begini”, kata Ma Elis.

***
Elisabeth Namok dan kakak perempuannya, telah kehilangan kedua orang tuanya sejak masih duduk di bangku SD. “Kami hanya dua bersaudara”.
Kemudian ia diangkat dan diasuh oleh om-nya, hingga tamat SD.
“Masuk SMP saya ikut dengan seorang pater orang Amerika, namanya, Romo Robert Riise. SVD di Noemuti sana sampai tamat”.
Lalu melanjutkan sekolahnya ke SMEA di Oekusi-Ambeno (sekarang district Oecusee-RDTL).
“Waktu itu, saya pilih SMEA dengan pikiran supaya tamat bisa jadi PNS, tapi sampai sekarang tidak pernah jadi”. Cerita perempuan yang juga pernah punya keinginan untuk menjadi suster ini.

Sepulangnya dari Oekusi, setelah tamat SMEA, ia hendak dijodohkan orang tua angkatnya dengan salah seorang kerabatnya, “Masih pangkat om”, katanya.
Pertemuan antara kedua keluarga sudah digelar. Tapi hatinya berontak, kebebasan masa muda akan hilang dalam sekejap. “Saya tidak setuju waktu itu”, kenangnya.
“Tapi saya pung orang tua bilang, kamu ini perempuan. Biar sekolah tinggi ju, pulang tetap masuk dapur”, ceritanya lanjut.
Ia kurang setuju dengan pandangan itu, menurutnya, “Saya sadari bahwa urusan dapur itu mau tidak mau, sedikit atau banyak pasti akan kita urus. Tapi bukan begitu caranya. Saya juga kepingin untuk kerja e.., masa sekolah cape-cape abis langsung kawin”.
Pertentangan dengan kedua orang tua angkatnya dirasakan tak menemui jalan keluar terbaik baginya. Iapun memutuskan untuk pergi dari rumahnya.
Akibat pertentangan itu pula ia menuai kemarahan kedua orang tua angkatnya. Semua pakaian hingga ijasahnya dibakar. “Saya lari dengan pakaian di badan sa. Pertama saya lari ke Weraihenek”.
Di Weraihenek, ia menumpang pada rumah salah seorang temannya. Namun tak lama. Ia kemudian menuju Dili, berniat mencari pekerjaan di sana.

Dengan bermodalkan ongkos bis seadanya, ia berangkat mengejar impiannya. Di Dili ia ditolong oleh seorang saudaranya, “Saya pung sepupu laki-laki”.
“Dia pung gaji selama dua bulan itu hanya dipakai untuk beli kasi saya pakaian, karena saya pi hanya dengan yang ada di badan sa to…”.
Tiga bulan pertama, ia masih menggantungkan harapan pada pertolongan sepupunya. “Masuk bulan keempat, saya su mulai kerja di toko Bintang Dili di Kuluhun. Waktu itu tahun 93”.
Selama itu ia tak pernah berhubungan dengan kedua orang tua angkatnya.
Hingga suatu saat di tahun 1996, ia terkejut saat Yanto, anak pertama kakaknya datang menemuinya di toko tempat ia bekerja dan memintanya untuk menemui kedua orang tua angkatnya yang sudah berada di kosnya di kawasan Becora.
“Mereka datang langsung turun di kos, suruh Yanto datang panggil saya di toko, karena Yanto ini makanya saya mau terima mereka”, kenangnya, raut mukanya berubah muram.
Namun menurut dia, hatinya masih belum melupakan semua kejadian yang dialaminya pada masa lalu.
“Saya betul-betul terima mereka pas tahun 2003 itu, setelah acara adat di kampung”.

Berbekal ilmu ekonomi yang diperoleh semasa di SMEA dulu, sambil bekerja di toko, ia juga membuka sebuah kios kecil di Becora-Dili.
“Ma Ela yang bantu-bantu”.
“Dia juga punya cerita yang mirip dengan saya”, tambahnya.
Angelina Bui yang biasa dipanggil Ela ini juga hampir dinikahkan setelah tamat SMP di Lahurus. “Saya dengar itu, jadi saya suruh dia datang ikut saya di Dili”, ujar ma Elis. “Bahkan sampai sekarang kami masih sama-sama e”, lanjutnya sambil tertawa kecil.

“Nah kalo ma Eny ini, kami bakawan itu mulai tahun 96. Dia kerjanya di tempat lain, tapi kosnya di depan toko tempat saya kerja”.
Karena Eny Mooy, sering belanja di toko Bintang Dili, keduanya kemudian berkenalan dan jalinan persahabatanpun dimulai sejak saat itu.
“Sore-sore begitu kalo pas ada hari libur, kami biasa pesiar-pesiar”.
Karena semakin akrab dan merasakan susahnya hidup terpisah dari keluarga, keduanya memutuskan untuk indekos bersama.
Persahabatan mereka terus terjalin hingga mengungsi ke Timor Barat.

***
Impian dan hasil kerja keras Elisabeth Namok selama di Dili, hilang tak berbekas saat kerusuhan pasca jajak pendapat 1999 di Timor Timur.
“Kami lari datang hanya bawa pakaian satu lemari, VCD, dengan sepeda motor supra fit satu”, ujarnya.
Semua barang dagangan di kiosnya ditinggalkan, tidak bisa dibawa karena kesulitan kendaraan.
“Karena agak stress waktu datang, kami langsung ke Surabaya, sekalian refreshing”, kata Elis.
“Wah beruntung juga mereka masih punya sedikit simpanan sehingga sempat refreshing menghilangkan stress akibat konflik, tak tanggung-tanggung refreshingnya ke Surabaya”, batin saya.

“Bulan Oktober itu baru kami mulai tinggal di kamp Weraihenek”, ungkap Elis.
Sejak itulah, Elis, Eny dan Ela memulai usaha kios kecil mereka.
“Modal awalnya itu 250 ribu sa”. Kata Elis.
“Itu uang yang masih tersisa setelah kami pulang dari Surabaya”, sambung Eny.
Dari waktu ke waktu, modal awal 250 ribu rupiah ditambah sedikit pengalaman dan ilmu wira usaha Elis dan Eny, usaha mereka kian berkembang. Hingga bisa menyewa tanah untuk membangun rumah mereka. Eny juga tamatan dari SMEA negeri Kupang.
Sebuah rumah sudah mereka miliki, sekalipun di atas tanah orang, namun bangunan rumahnya adalah buah dari usaha keras mereka.
“Rumah itu juga kami hanya beli bahan sa, ais ada kaka dong dari kampung datang bantu kerja dia pung rangka dengan atap, sedangkan dindingnya itu, kami tiga yang bikin sendiri. Bebaknya kami beli baru kami buat dindingnya”, ujar Eny.
“Lebih murah dibanding beli dinding jadi”, timpal Elis.
“Ternyata lumayan berat juga kerjanya, tapi saya senang karena saya jadi tau cara buat dinding dari bebak”,kata Eny yang sebelumnya semasa di Kupang tak punya pengalaman itu.

Kini mereka telah mempunyai dua kios kecil di Weraihenek dan di samping stadion Haliwen.
Setiap harinya, mendapatkan penghasilan kotor sebesar 50 ribu rupiah per kios.
“Tapi sekarang ini su berkurang jauh, kalo dulu, waktu masih tahun 99-2000 itu, banyak orang yang beli. Abis dapat bantuan macam uang lauk begitu pasti mereka datang belanja”, jelas Elis mencoba membandingkannya.
Penghasilan yang didapat selain disisihkan untuk menjaga keberlanjutan kedua kios mereka, juga dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan kebutuhan biaya pendidikan anak-anak asuh mereka.

***
Dalam keterbatasan mereka saat tiba di Weraihenek- Atambua 1999 lalu, hati mereka tersentuh melihat kondisi anak-anak saudara mereka yang tak terurus, khususnya masalah pendidikan.
Dalam sebuah perbincangan antara dua sahabat yang boleh dikatakan sudah seperti saudara sekandung, Elis dan Eny, terbesit keinginan untuk membantu anak-anak yang putus maupun tidak bersekolah karena kesulitan biaya.
“Kami mulai asuh anak ini tahun 1999 itu. Kami mulai dari anak saudara”, ungkap Elis.
Mereka mulai dari empat orang anak kakak perempuan Elis. Bahkan ada anak yang diasuh sejak berumur 3 bulan.

Hingga kini sudah sembilan anak yang berada dalam asuhan mereka. Semuanya masih mempunyai pertalian saudara dengan tiga perempuan tangguh ini.
“Kami ini maunya bukan hanya anak saudara saja yang kami tolong tapi anak orang lain juga”, kata Elis.
“Masalahnya orang belum percaya kita e…,orang kira kita mau rampas dong pung anak, jadi ya kami mulai dulu dengan saudara pung anak”, timpal Eny menjelaskan. Padahal menurut Elis, tujuan mereka murni ingin membantu anak-anak untuk bisa bersekolah.
“Kami paling bisa bantu itu sampai SMA, itu juga kalo banyak orang mungkin agak berat. Paling tamat SMP-lah”, ujar Elis.
“Rasanya tidak tega kalo lihat ada anak yang putus sekolah”, sambung Eny.
“Kami bilang ke orang tua mereka, kalo kesulitan biaya sekolah anak, mari ko kita duduk sama-sama pikir jalan keluarnya”, lagi kata Elis.
Oleh karena itu, mereka hanya mau menampung dan mengasuh anak-anak yang sudah mendapat persetujuan dari para orang tua.
Syarat utamanya sangat sederhana, “Yang penting itu anak mau sekolah”, ujar Eny.
Kalo tidak mau sekolah, kami tolak”, tegas Elis.

Dari sembilan anak yang ada sebagian adalah keluarga dari Elis dan Ela, sisanya adalah keluarga Eny.
Orang tua kandung anak-anak ini, semuanya masih lengkap. “Ada yang pi jadi TKI di Malaysia sana. Yang lain, orang tuanya di Kupang”, jelas Elis.
“Itu ada satu dari Baumata sana. Elsa tu, sekarang dia su kelas dua SMA”, celetuk Eny, sambil menunjuk seorang gadis remaja yang tersenyum malu, duduk di sebelah kanan tak jauh dari Elis dan Eny.
Baumata, terletak di kelurahan Penfui-Kupang, terkenal dengan sumber airnya yang melimpah ini dimanfaatkan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kupang dan perusahaan air minum swasta Aguamor.
Hubungan antara anak-anak ini dengan orang tua kandung mereka tetap terjalin, lewat kunjungan langsung maupun surat.
“Idus ini”, kata Eny, sambil menunjuk seorang anak lelaki kecil yang duduk di tikar tepat di depan kami, nama lengkapnya Alfridus Nahak, masih duduk di bangku SD. “Dia baru saja menerima surat dari mamanya yang kerja di Malaysia sana kemarin sore (Sabtu, 12/08)”.

Kehadiran anak-anak, seperti Edny yang masih balita hingga Elsa yang sudah remaja dengan berbagai tingkah dan polah laku mereka menjadi hiburan tersendiri bagi, Elis, Eny dan Ela.
“Yang paling nakal itu Idus dengan Maxi”, kata Elis, lanjutnya, “Kadang kita musti marah-marah bahkan hukum dengan rotan”.
Perhatian dan kasih sayang yang harus diberikan sama kepada ke sembilan anak ini, terkadang mendatangkan kecemburuan di antara anak-anak.
Dorang yang su besar ini kadang bilang, ma dong ni hanya sayang Edny sa”, cerita Eny.
Edny Permata nama lengkapnya, seorang bocah yang baru berumur sekitar dua tahun. Sudah diasuh sejak masih bayi. “Karena kita ambil dia ini dari masih belum bisa omong, belum bisa jalan jadi, mau tidak mau perhatian lebih banyak ke dia e..”, jelas Eny. Hal itu yang coba dijelaskan kepada anak lainnya.
Nama Edny-pun dicarikan oleh Elis dan Eny, “Sampai satu hari pikir dia pung nama ini”, aku Elis, sambil mengelus kepala Edny yang duduk santai di pangkuannya. Edny Permata berarti Permatanya Elis dan Eny.
Kalo sakit dong semua manja, seperti minta kita kasi perhatian lebih begitu”, ujar Eny, “Satu itu, Melda. Dia kalo sakit, kita harus peluk dulu baru tenang”, sambungnya. Melda, gadis cilik yang duduk dekat pintu samping Idus hanya tersenyum malu sambil memainkan rambutnya yang pendek sebahu.

Selain membantu membiayai kebutuhan hidup dan sekolah anak-anak seperti biaya buku-buku hingga uang jajan dan transport, Elis, Eny dan Ela juga mendorong minat belajar anak sebisa mungkin.
“Misalnya ada PR yang tidak bisa mereka kerja, kalo kami tahu kami bantu kasi tunjuk caranya, kalo tidak tahu juga kami usaha cari orang yang mungkin lebih tahu untuk bimbing ini anak dong”, cerita Eny.
Dari tujuh anak yang sudah bersekolah, menurut Elis ada tiga yang prestasinya di sekolah bagus.
Elsa Haumeni, saat ujian kenaikan kelas yang baru lewat, mendapat rangking dua. Yanto, kakak pertama, Melda, Maxi dan Idus juga selalu dalam sepuluh besar terbaik di kelasnya di SMP N I. Begitu juga dengan Melda di SD Katholik I Atambua, saat naik ke kelas enam belum lama ini mendapat juara II mengungguli teman-temannya yang kebanyakan anak keluarga mampu.
Hal ini tentunya membawa kebahagiaan tersendiri bagi ketiga mama angkat mereka.

Tak banyak yang diharapkan ketiga perempuan tangguh ini selain harapan akan masa depan yang baik bagi kesembilan anak asuhan mereka.
“Kami hanya bantu kasi sekolah sa, soal masa depan, ada di dong pung tangan sendiri e..” ujar Eny.
“Kami hanya harap supaya suatu saat, apapun yang dong pilih entah sekolah lanjut ka atau buka usaha, jangan bikin malu kami sebagai orang tua ini”, harap Elis. Ela yang baru tiba dari kios satunya dan bergabung bersama kami siang itu, hanya menganggukan kepala mengiyakan.

***
Sekarang, keluarga besar ini sedang menanti waktu yang tepat untuk pindah ke lokasi baru, ke tanah mereka sendiri yang dibeli secara bersama dengan 82 keluarga lainnya dari kamp Haliwen, Weraihenek dan Karantina II di dusun Haliwen desa Kabuna.
Elisabeth Namok termasuk salah satu yang mewakili kelompok perempuan dalam negosiasi lahan tersebut.
“Di sana nanti, saya tidak pusing lagi dengan masalah tanah, kami bisa lebih tenang untuk tinggal”, ujar Elis.
Menurutnya persoalan rumah di sana juga bukan prioritas, sekalipun rumah yang telah dibangun dengan susah payah di Weraihenek harus dibongkar ulang, “Paling penting itu, kami pung anak dong ini bisa sekolah dengan tenang” ujarnya mengakhiri wawancara kami siang itu.
Elsa dan adik-adiknya termasuk anak-anak yang beruntung dibanding jutaan anak lain di Republik Tercinta ini yang kurang beruntung hingga ulang tahun ke 61 negeri ini, kehilangan kasih sayang orang tua akibat konflik, bencana alam bahkan menjadi korban perdagangan anak. Setidaknya, menurut saya, Elsa dan kedelapan adiknya masih bisa menikmati hak-hak mereka sebagai seorang anak manusia.

Obrigado barak buat Ape, Jacko, Ma Elis, Ma Eny dan Ma Ela