Thursday, December 01, 2005

Istirahat Siang Bersama Evaristo

Sekelumit kisah kehidupan seorang lelaki muda yang mencoba bertahan hidup di kamp pengungsian di Haliwen-Atambua kabupaten Belu.


Panas terik matahari siang itu (17/11) serasa membakar sekujur tubuh
, Setelah berteriak memberi arahan sejak pagi, tenggorokan saya terasa kering, sayapun melangkah menuju sebuah rumah sederhana yang terletak ditepi jalan samping stadion, rumah berdinding bebak, beratap seng itu berukuran kecil dan sudah agak miring hampir bisa dikatak mirip gubuk, di depannya terdapat dua pohon ukuran kecil namun cukup rindang, pohon sirsak dan satunya lagi saya kurang yakin jenisnya, dibawahnya tumbuh beberapa rumpun bunga yang sengaja ditanam pemiliknya untuk memperindah taman rumah sederhana itu.
Diteras rumah itu terdapat sebuah bangku kayu yang kaki-kakinya langsung ditancapkan ke tanah, melihat suasana yang cukup rindang itu saya memutuskan untuk beristirahat sejenak, Yeani, Jhon, Dhanie dan Edu masih terus bersemangat mengawasi aktifitas masyarakat penghuni kamp Haliwen yang akan pindah ke Wesasuit. Ada 36 KK yang akan pindah siang itu, mereka adalah calon penghuni lokasi pemukiman di Wesasuit-desa Kabuna sekitar 4 km jauhnya. Haliwen, terletak di pinggiran kota Atambua, ibu kota kab Belu-NTT. Saat ini di Haliwen masih terdapat ratusan keluarga warga eks Timor Timur yang mengungsi ke Timor Barat akibat konflik pasca jajak pendapat 1999 di bekas propinsi ke 27 Indonesia itu. Mereka menempati rumah-rumah darurat di dalam dan sekeliling stadion sepak bola milik pemkab Belu yang sejak selesai dibangun hingga kini belum pernah dipakai karena beralih fungsi sebagai tempat penampungan bagi pengungsi asal Timor Timur.

Saat menikmati istirahat yang singkat ditengah hiruk pikuk aktifitas bongkar kamp dan pengangkutan barang itu, saya dikejutkan oleh kehadiran sesosok lelaki muda, dengan hanya bercelana jeans agak belel di bagian lutut, berwarna hitam dan tanpa baju, ia mengambil tempat duduk persis di samping saya, tanpa suara namun tersenyum ramah. “ Maun, rokok ini” tawar saya, sambil mengulurkan sebungkus rokok gudang garam filter kegemaran saya, Ia mengambil sebatang dan mengucapkan kalimat pertamanya “Terima kasih”. Selanjutnya kami berdua hanyut dalam kebisuan hanya asap rokok dari dua mulut yang terus mengepul. “ Saya tidak ikut”, ucapnya pelan tanpa ditanya. “Kenapa” Tanya saya, “ Biar kami di sini sa, kami belum beli tanah” jawabnya pelan seakan enggan melanjutkan pembicaraan soal hal itu, raut mukanya sedikit murung. Saya terdiam dan tidak bertanya lanjut lagi perihal pemidahan itu. Selang beberapa menit pandangan mata saya terhenti pada sebuah motor bebek yang diparkir di depan agak ke samping kiri rumah itu. Motor berwarna dasar hitam dengan les kuning yang sudah mulai pudar, di atas sadel motor itu ditaruh sebuah helm masker berwarna hitam agak kusam karena catnya yang terkelupas, “ Maun ojek ka” Tanya saya mencoba memulai percakapan dengan topik yang lain, “ Iya saya ojek, pake motor sendiri. Itu motor saya” jawabnya sambil menunjuk ke arah motor bebek merek smashnya itu, raut mukanya berubah penuh semangat seketika.
Lelaki muda berkulit gelap ini berusia 21 tahun, sedikit berkumis dan janggut, namanya Evaristo Cardoso, “ Tapi orang biasa panggil saya dengan nama Aris”, akunya saat kami berkenalan. ia telah berkeluarga, isterinya bernama Helmina Bria, usianya lebih muda setahun, mereka telah dikaruniai seorang anak lelaki yang montok dan lincah, bernama Rendy “Tanggal 24 Nopember ini baru umur 9 bulan” kata Helmina sambil menggendong buah hatinya itu.
Setiap pagi jam tujuh, Evaristo keluar mengais rejeki dengan motor bebeknya, “ Motor ini saya kredit. Sekarang sudah punya dua motor yang satu itu warna merah, smash juga. Itu sudah lunas, waktu kredit saya bayar uang muka sebesar lima juta”, ceritanya. Waktu yang diperlukan Aris untuk melunasi kredit motor pertamanya itu selama setahun. “ Setelah itu saya ambil lagi yang satu ini, waktu itu, uang mukanya enam juta lebih. Motor yang lama saya kasi adik yang pake ojek”. Motor keduanyapun menurutnya sudah hampir lunas “ Sisa delapan bulan lagi”. Setiap bulannya Aris menyetor Rp. 240 000 ke dealer motor itu.
Setiap harinya, ia mengaku tidak harus mengojek sehari penuh, “ Kadang keluar pagi jam tujuh, siang itu kalo sudah dapat 40 ribu tambah tanki ful, saya istirahat nanti sore sekitar jam tiga atau empat begitu baru keluar lagi” aku Aris. Ia mengaku tanki motornya membutuhkan bensin seharga 20 ribu rupiah agar bisa penuh, sehingga menurutnya dalam sehari rata-rata ia bisa mendapat 60-80 ribu di luar biaya bensin. “Kalo muku (berusaha sekuat tenaga dan serajin mungkin-red) kita bisa dapat sampai 100 ribu”. Namun menurutnya lagi, “ Itu tergantung penumpang juga e..kalo pas hari raya itu bagus, juga kalo kita punya kenalan banyak itu kita bisa dapat banyak juga, karena sekarang ini orang mau naik ojek itu kalo dia punya kawan atau keluarga sa,”. Dari penghasilan bersihnya selama sehari sebagian ia pake untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya, sebagiannya lagi, “Saya simpan” katanya.
Ia biasanya mangkal di pangkalan ojek Haliwen, jalurnya pun tidak tentu, tergantung tujuan pemakai jasa ojek, “ Kalo pi Atambua tarifnya tiga ribu rupiah, tapi kalo anak sekolah seribu, kadang ada yang kasi lima ratus, tapi ada juga yang kasi dua ribu”, jelasnya soal tarif. Ia mengaku cukup mengerti jika yang menumpang adalah pelajar, “Kan dong belum bisa cari uang e..jadi kita mengerti sa…” sambungnya sambil tertawa pendek. Tak terasa perbincangan kami terus memanas ditengah keramaian siang itu, seakan tak peduli dengan aktifitas mereka yang akan pindah.
“Saya kepingin dari hasil ojek ini nanti setelah ditabung dan cukup nanti saya pake beli motor , bukan kredit tapi kontan”, akunya soal rencananya ke depan. “ Bagaimana dengan tempat tinggal, apakah maun akan tetap di kamp ini”, Tanya saya mencoba untuk mengetahui pikirannya tentang rencana masa depan keluarganya, namun tak ada jawaban pasti yang bisa didapat dari mulutnya. Bagi Aris dan mungkin masih banyak sesamanya lagi rencana masa depan mereka sederhana saja dan tidak perlu memikirkan sesuatu yang sangat jauh, cukup bagaimana mereka bisa hidup di hari esok. @volkz