Saturday, August 30, 2008

'Tamu Kehormatan' di Jatilaran

'Tamu Kehormatan' di Jatilaran

“Kami terima kamu sebagai seorang perempuan cantik di rumah kami...”

Oleh : Olkes Dadi Lado


Suatu sore pada awal Mei lalu di permukiman mandiri Jati Laran, sinar matahari sudah mulai pudar menyisakan semburat jingga di ufuk barat langit.
Tujuh orang perempuan
tua berpakaian adat lengkap dengan segala aksesorisnya duduk di atas sebuah tikar yang digelar di tengah-tengah permukiman, di belakang mereka ada sekelompok bapak-bapak yang juga duduk dengan penuh khidmat, seolah menanti kedatangan tamu terhormat . Suasana hening, degup jantung serasa makin cepat.

Di antara
mereka bertujuh yang tertua adalah Martina Da Costa dan Francelina Baros. Kedua nenek inilah yang duduk dibarisan depan. Mereka menghadap ke moncong sebuah pipa besi berukuran satu dime. Sebuah tempat sirih terbuat dari anyaman daun tuak yang bermotif dan berwarna-warni diletakan tak jauh dari moncong pipa itu.

Detik demi detik...mereka terus menunggu, degup jantung serasa sem
akin kencang berdetak, hingga pada suatu saat dari moncong pipa itu keluar aliran air yang mengucur kian lama kian keras.
Dari mulut lima perempuan tua itu keluarlah ungkapan-ungkapan dalam bahasa Mambai, “Kami terima kamu sebagai seorang perempuan cantik di rumah kami. Kami minta
supaya kamu tinggal bersama-sama dengan kami sampai selama-lamanya dan beri kami makan dan minum, beri kami hidup, rawat kami dan beri kami hidup baik.”
Mereka lalu menyodo
rkan tempat sirih yang sudah diisi dengan sirih, pinang dan kapur sebagai tanda penghormatan dan selamat datang bagi tamu kehormatan yang telah ditunggu-tunggu itu.

Tamu kehormatan itu adalah air.
“Be ne mak bele halo ami moris*,” kata Lemos De Jesus, ia seorang lelaki peru
h baya, bertubuh pendek. Nama sebenarnya adalah Lemos De Deus entah mengapa nama di KTP-nya berubah menjadi De Jesus. Ia biasa dipanggil bapak Lemos, ia adalah koordinator 18 warga baru penghuni permukiman Jati Laran. Ia mengatakan kepada saya kemudian dalam suatu wawancara pada minggu kedua Juni lalu, Air bagi mereka berarti Hidup, “Be la iha, ita mate e**,” tegasnya. (*Air ini yang bisa membuat kami bisa hidup, **Air tak ada, kita mati : bahasa tetum) “Maka itu kita harus terima dengan adat,” ujarnya.

Lima perempuan tua yang dipilih untuk menyambut masuknya air ke lokasi itu juga adalah yang sudah berusia lanjut, “Karena perempuan itu adalah tuan rumah jadi mereka yang harus menerima e,” jelasnya soal acara adat penyambutan saat air mengalir masuk ke lokasi mereka.
Pergumulannya sejak pertama kali melihat lokasi itu terjawab sudah.

Lemos de Jesus mengaku satu hal yang menja
di beban pikiran bagi dia dan komunitasnya ketika memutuskan untuk pindah ke Jati Laran adalah masalah ketersediaan air bersih. “Waktu saya datang di sini, saya duduk-duduk, -lalu-saya pikir bagaimana supaya bisa dapat air di sini,” kata Lemos.
Memang sangat sulit karena letaknya yang berada di punggung bukit yang lumayan curam dan berbatu makanya sangat sukar jika harus dibikinkan sebuah sumur di situ.


***

Permukiman Jati Laran adalah sebuah permukiman warga baru yang sudah ada sejak tahun 2005-2006. Lemos De Jesus dan komunitasnya pindah ke sana pada tahun lalu. Mereka berhasil membeli lahan di lereng bukit yang penuh dengan pohon jati itu seharga enam juta rupiah.

Permukiman ini secara administratif masuk dalam wilayah dusun IV Rt 09 desa Lakekun Barat. Terletak di sebelah kiri jalan menuju Metamauk. Dari tepi jalan permukiman ini sudah bisa terlihat jelas karena letaknya yang berada di ketinggian. Jalan masuk ke sana sekitar seratusan meter jauhnya namun cukup curam sehingga bisa dipastikan jika berjalan kaki maka nafas kita akan tersengal dan sudah pasti berkeringat.


Kelompok ini merupakan salah satu kelompok penerima bantuan bahan bangunan rumah dalam kegiatan Shelter proyek ATUP II yang dibiayai Uni Eropa dan Oxfam GB. Mereka didampingi oleh CIS Timor sebagai mitra lokal Oxfam GB Timor Barat.

Selain rumah sebanyak 18
unit, mereka juga mendapatkan dukungan bibit ternak kambing dari kegiatan peningkatan ketahanan pangan serta pembangunan sarana air bersih dan sanitasi lingkungan juga dilakukan kegiatan penyuluhan kesehatan umum bagi para warga.

Awalnya lokasi ini tidak masuk dalam lokasi target kegiatan pembangunan sarana air bersih karena dari rencana awal berupa sumur ternyata sulit maka lokasi ini kemudian dicoret.
Tapi Lemos De Jesus dan komunitasnya tidak berputus asa, setiap hari saat bertemu dengan staf lapangan CIS Timor, mereka selalu mengajak disk
usi untuk memecahkan masalah air. Tak segan-segan mereka juga pergi ke kantor program CIS Timor di Betun.

Mereka lalu teringat akan sebuah sumber air yang mereka temukan tak sengaja setahun yang lalu, “Kami dulu kan masih pergi pulang untuk urus tanah di sini. Nah kalo tidak ada uang kami jalan kaki saja ikut belakang ini. Jalan potong, waktu itu kami ada lihat mata air” kata Lemos. Rupanya di hutan Jati di belakang bukit itu terdapat jalan pintas menuju Numponi. Lemos dan komunitasnya dulu tinggal di sebuah kamp darurat di desa Numponi, tepatnya di cabang Koloweuk.
Sumber air itu kemudian diinformasikan ke tim Watsan CIS Timor. Bersama-sama dengan Lemos dan beberapa bapak-bapak dari kelompok ini, Adi Tuaty, ko
ordinator teknisi CIS Timor di Betun pergi melihat sumber air itu. Setelah melihat sumber air dan topografi sekitar serta memperkirakan jaraknya ke lokasi, Adi menemukan bahwa yang bisa dilakukan untuk menjawab kebutuhan akan air bersih bagi 18 keluarga itu adalah dengan membangun jaringan pipa. Masalah barupun muncul, apakah debit air itu cukup untuk dialirkan sampai ke permukiman?

Pertanyaan itu mengemuka dalam pikiran Adi, ia lalu meminta Lemos dan kawan-kawannya untuk mencoba membendung air itu secara sederhana menggunakan lumpur. Setelah dilihat hasilnya, berdasarkan pengalamannya selama ini, ia menaksir
debit air itu cukup besar. Selesai masalah itu, muncul pula masalah lainnya lagi. Jati Laran bukan lagi target intervensi Watsan, kalaupun belum dicoret ia bukan lokasi yang dintervensi dengan pembangunan jaringan pipa, hanya tiga lokasi saja yakni Molosoan I, II dan Namfalus.

Beta ke Atambua ketemu dengan Nona Lina, katong dua mulai diskusi dan cari cara supaya bisa dapat celah untuk bantu di Jati Laran, karena setelah kita usulkan ke Oxfam, sudah tidak ada lagi budget untuk itu,” kata Adi Tuaty kepada saya. Nona Lina adalah koordinator teknisi Watsan CIS Timor dalam proyek ATUP II.


Akhirnya jalan keluar itupun mereka dapatkan, dengan mengguna
kan sisa-sisa material watsan dan pipa-pipa sisa dari proyek ATUP I, maka jaringan pipa air bersih sepanjang 500 meter di Jati Laran bisa dimungkinkan.
Salah satu alasan kuat yang membuat Adi Tuaty dan timnya membantu memperjuangkan hadirnya sarana air bersih di Jati Laran adalah di lokasi itu hanya terdapat sebuah sumur yang terletak di permukiman sebelah bawah tepat di pinggir jalan besar.
Sumur itu yang menjadi sumber air bagi 60 keluarga termasuk 18 keluarga Lemos dan komunitasnya, juga letak sumur yang berada di bawah sekalipun jaraknya masih ada dalam toleransi standar sphere tapi sangat menyulitkan bagi kelompok rentan seperti ibu-ibu dan anak-anak yang pergi mengambil air karena harus berjalan mendaki dengan
membawa beban berat.

Namun tantangan belum selesai, sumber air terletak di luar lahan yang dibeli lemos dan kawan-kawan. Ia berada di dalam kawasan hutan jati milik desa Lakekun Barat, maka ijin dari pemerintah desa dan tokoh adat-pun harus mereka kantongi sebelum pembangunan jaringan pipa itu dilakukan.
Lemos dan tetua dalam komunitas itu kemudian berkonsultasi dengan pemerintah desa, mereka menemui kepala desa dan tokoh adat desa Lakekun Barat untuk meminta ijin, “Kami pergi ketemu dan minta juga di tuan air itu,” kata Lemos.

Tuan air yang dimaksud adalah orang yang pertama kali menemukan sumber air itu dan merawatnya. “Waktu kami ketemu mata air itu kami lihat ada pagar, juga ada pohon tempat orang buat adat di situ jadi pasti ada orang yang lebih dulu ketemu dan jaga itu air e..,” jelasny
a lanjut.

Ternyata tak ada keberatan dari pihak-pihak itu. Bahkan mereka menyambut baik jika ada yang hendak membangun jaringan pipa dari sumber air itu ke permukiman dengan syarat harus diadakan upacara adat di sumber air itu sebelum mulai melakukan pekerjaan dan setiap tahun secara rutin mereka harus mengundang ‘Tuan Air’ untuk memimpin upacara adat di situ.


Setelah beres semua perijinan, pada 04 Mei 2008 dilakukanlah upacara adat di sumber air yang terletak di tengah –tengah hutan di atas bukit itu. Darah seekor kambing dan seekor babi mengucur membasahi tanah di sekitar sumber air sebagai tanda penghargaan dan penghormatan kepada alam maka mulailah pekerjaan pembangunan jaringan pipa itu dilakuk
an.

Hal pertama yang mereka lakukan adalah membangun lebih dahulu bak penampungan utama karena sumber air itu ada dua. Satunya terletak di ujung bak, satunya lagi dekat sebatang pohon kesambi yang jadi tempat dilangsungkannya ritus adat. Dari kedua sumber air yang berbentuk sumur kecil itulah air meresap ke dalam tanah dan mengalir ke bak yang dibangun agak ke bawah. Setelah itu barulah jaringan pipa siap untuk dipasang.

Jaringan pipa sepanjang 500 meter itu bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan apalagi jaringan pipa itu harus melalui lekukan-lekukan tanah di sepanjang bukit Jati Laran.


Pemasangan jaringan pipa sendiri memakan waktu tiga hari. Hari pertama, dengan penuh percaya diri dibawah bimbingan Adi, mereka memasang pipa dari dari bak penampung utama.

Saat mencoba aliran air dengan memasang pipa kecil airnya langsung mengalir maka giranglah hati semua orang yang ada saat itu.
Mereka kemudian
mencoba mengganti dengan pipa yang lebih besar diameternya, “Waktu ganti pipa besar, air sonde jalan,” kata Adi pada saya di rumah Lemos De Jesus, pada suatu siang di minggu kedua Juni lalu. Lemos dan beberapa bapak yang ada saat itu ikut menganggukan kepala mengiyakan.
“Semua heran. Periksa sana-sini sonde ada yang tasumbat. Dudukan –pipa- juga sonde berubah. Su coba kasi turun ju sama sa,” kata Adi.
Semuanya bingung. Hampir seharian mereka hanya duduk dan bingung memikirkan hal itu.
Hari sudah sore barulah mereka menemukan sumber masalahnya. “Ternyata ada anak-anak dong yang mandi di mata air,” kata Lemos menyambung penjelasan Adi.

Setelah ditimbang-timbang mereka meyakini bahwa telah terj
adi pelanggaran terhadap upacara adat yang sudah di buat maka diutuslah Martino Pereira, salah seorang tetua di situ untuk melakukan acara adat, ia meminta maaf dalam bahasa Mambai di sumber air itu. Barulah air mulai mengalir memasuki pipa tadi.

Hari kedua, ketika jalur pipa itu mulai terpasang hampir setengahnya, timbul-lah percekcokan antara Adi dan Lemos. Keduanya bertengkar hebat mengenai jalur mana yang harus dilalui oleh pipa itu.

Lemos menginginkan agar jalur pipa itu langsung lurus saja menuju ke lokasi, Adi mengusulkan agar digeser sedikit ke bawah agak melingkari gundukan melalui arah bawah barulah dibelokan ke lokasi.
“Saya tidak mau e..saya pikir nanti pipa itu masuk di lokasi bawah. Saya mau langsung di kami pung lokasi,” ujar Lemos menjelaskan alasannya saat itu.

Pertengkaran itu semakin memanas hingga akhirnya Adi mulai mengalah ketika mendengar perkataan terakhir Lemos De Jesus, “Kalo begitu biar batal saja. Kita tidak usah kerja lagi,” kata Lemos tak mau kalah.


Lemos dan kawan-kawanya melanjutkan pemasangan pipa mengikuti jalur yang ia usulkan. Jalur itu memang
sedikit lebih pendek namun ia harus melewati sebuah gundukan yang lumayan tinggi sebelum sampai ke permukiman.
Alhasil pipa yang sudah dipasang itu tak mengeluarkan air sedikitpun.
Lemos lemas melihat itu, ia tersentak.
“Wah ternyata pak Adi pung -pendapat- yan
g benar. Memang dasar kita orang bodoh ini maunya ikut kita pung padahal air tidak keluar,” ujarnya saat itu.

Sementara itu, Adi yang sudah pulang, sepanjang malam terus gelisah. Ia gelisah karena ia sangat yakin jika mengikuti usulan Lemos maka air tak akan bisa mengalir sampai ke lokasi. “Sepanjang malam beta tidur sonde tenang. Beta kuatir sekali kalo air di Jati Laran sonde jadi maka beta pung pengalaman selama ini sonde ada artinya dan beta akan malu sekali. Beta hanya bisa berdoa sa harap supaya air bisa sampai ke lokasi” cerita Adi pada saya diatas motor dalam perjalanan pulang dari lokasi.


Pada hari ketiga, Lemos yang sudah menyadari kesalahannya kembali mengubah jalur pipa sesuai anjuran Adi. Sepanjang pagi
hingga siang mereka habiskan dengan bongkar pasang pipa sepanjang 500 meter itu. Menjelang sore pipa itu mulai memasuki lokasi permukiman membawa tamu kehormatan yang telah dinanti-nantikan dan disambut dengan upacara adat. Hari itu tepat pada tanggal 08 Mei 2008. Lemos De Jesus yang selalu gelisah soal ketersediaan air bersih akhirnya bisa bernapas lega saat melihat percikan air yang mengalir keluar dari moncong pipa sore itu.

“Saya bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa akhirnya kami bisa dapat air. Kami terima kasih juga kepada Tuh
an karena bisa bantu kami lewat Uni Eropa, Oxfam dan CIS yang turun langsung ke sini,” kata Lemos, matanya berkaca-kaca mengenang saat pertama kali air yang dianggap sebagai seorang perempuan yang cantik, sebagai seorang ibu, sebagai seorang tamu kehormatan itu tiba di lokasi mereka.

***
Kini ‘tamu kehormatan’ itu menempati sebuah bak air berkapasitas 2500 liter dan terus mengalir tak henti-hentinya. Hingga saat wawancara saya dengan-nya pada 12 Juni 2008 lalu, “Kami sudah pake air ini selama satu bulan,” kata Lemos De Jesus tersenyum lebar.



catatan :
Foto 1, oleh Buce Ga : Seorang anak gadis warga baru eks Timor Timur penghuni permukiman baru Jatilaran sedang mengambil air untuk kebutuhan keluarganya dari jaringan pipa yang belum selesai dikerjakan.
Foto 2, oleh Olkes : permukiman baru Jatilaran dilihat dari tepi jalan raya.
Beta : Saya (bahasa Kupang)
Katong : Kami
Dong : dorang atau mereka
Kalo : Kalau
Kasi : beri
Sa : saja
Ju : Juga
Tasumbat : tersumbat
Pung : punya