Thursday, April 20, 2006

Iko Paskah di Tengah Banjir

(Catatan dari orang yang "jarang" ke Gereja)

Olkes Dadi Lado

Pagi itu cuaca tak seperti hari-hari sebelumnya yang mendung dan hujan sepanjang hari.
Jumad (14/08), cuaca di Besikama cerah, sedikit awan putih menggantung di langit bagian utara dan selatan.
Jam dinding berwarna emas yang tergantung dinding bebak rumah menunjukan angka tujuh.
Saya baru selesai menikmati segelas kopi panas dan beberapa batang rokok.
Ka’ Etha, Ka’ Paul, dan sebagian besar anggota keluarga di rumah sudah selesai mandi, semuanya sibuk mempersiapkan diri ke gereja. Saya juga bergegas mempersiapkan diri.

Hari ini adalah Jumad Agung. Bagi umat Nasrani/Kristen, hari ini adalah peringatan akan kematian Yesus Kristus di atas kayu salib di Golgota, ribuan tahun lalu.
Begitu juga dengan umat Kristen di Besikama, semuanya sibuk menyambut hari besar ini.
Besikama adalah pusat kota kecamatan Malaka Barat kabupaten Belu, berjarak 80 kilometer dari Atambua. Mayoritas penduduk di sini adalah bergama Katholik, lalu Protestan dan sisanya Muslim.

Rencana untuk merayakan paskah di Besikama berawal dari tugas peliputan untuk Lorosae lian—media tempat saya bekerja—di Belu pada tanggal 11-13 April, sehingga saya memutuskan untuk sekalian merayakan paskah bersama mama dan keluarga di kampung kelahiran saya ini.

Tepat jam setengah sembilan, kebaktian memperingati kematian Yesus Kristus dimulai. Kebaktian dipimpin oleh Pendeta Angkol Tangwal, S.Th.
Gedung gereja jemaat Imanuel Maktihan yang berjarak sekitar 150 meter dari rumah itu terkesan lengang, hampir setengah bagian kursinya tak terisi, entah kemana perginya jemaat-jemaat itu--mungkin karena banjir--.

Saya heran pada hari besar seperti ini umumnya di berbagai tempat justeru jemaatnya membludak sampai-sampai kursi yang disiapkan tidak sebanding dengan orang yang hadir karena banyak orang yang biasanya jarang ke gereja pada hari minggu---seperti saya—akan memakai momen ini untuk kembali berbakti atau mungkin juga sekedar untuk menunjukan “bahwa saya ini orang Kristen”.

Kebaktianpun mengalir mengikuti liturgi yang ada. Sekalipun keheranan masih meliputi benak, tapi saya mencoba berkonsentrasi untuk mendengarkan firman Tuhan yang pagi itu diambil dari Injil Yohanes 19 : 28-30 tentang kematian Yesus.

Pendeta Angkol, memulai renungannya dengan sebuah ilustrasi.
“Sepasang anak manusia yang sibuk mencari Tuhan Allah, setelah bertanya ke sana ke mari tak seorangpun yang mereka temui bisa menjelaskan dimana Tuahn Allah yang mereka cari itu berada, akhirnya mereka berdua menyimpulkan bahwa orang banyak yang mereka temui itu telah membunuh Tuhan Allah yang mereka cari”, diakhir ilustrasi itu dikisahkan kedua anak manusia itu diusir dari lingkungan orang banyak itu.

Dalam khotbahnya, pendeta Angkol mengatakan bahwa kematian Tuhan oleh orang Kristen dikatakan terjadi pada ribuan tahun lalu di bukit Golgota dan kematian itu ditimpakan kepada kaum yahudi, bahkan tuduhan itu terus berlanjut hingga saat ini. Dalam perspektif yang berbeda Angkol mengatakan bahwa Pembunuhan, penyaliban dan kematian Allah bukan hanya terjadi pada ribuan tahun lalu tetapi juga hingga saat ini.
“Dan siapa pelakunya?” Tanya Angkol, “Pelakunya adalah saudara dan saya” lanjut pendeta yang menamatkan studinya di Fakultas Tehologi UKAW Kupang ini lantang.
Menurutnya, secara sadar kita telah menyalibkan dan membunuh Tuhan dalam setiap aktifitas kehidupan kita.
“Ketika Tuhan mau hadir di Pasar, kita bilang,.. aduuuh sebaiknya Dia jangan hadir di sini. Karena kalo Dia ada maka kita kita tidak bisa ambil untung yang banyak. Begitu juga dengan di pemerintahan atau di perusahaan, ketika Tuhan hadir di sana, kita berusaha menyingkirkannnya karena kita tidak mau dihalangi ketika kita ingin korupsi atau menyingkirkan saingan kita secara tidak sehat”, contohnya.

Rasa kantuk yang sempat mengganggu pada awal kebaktian karena do’a yang panjang hilang seketika saat mendengarnya. Dalam hati saya membenarkan apa yang dikatakannya.

Khotbah ini menurut saya, merupakan sebuah gugatan terhadap pertumbuhan dan kondisi iman kita saat ini. Dalam setiap aspek kehidupan kita hampir tak kedengaran lagi kabar yang bisa menyejukan hati, di mana-mana ada berita pembunuhan, kekerasan dalam rumah tangga, pemboman, penipuan, peperangan, penggundulan hutan, pengrusakan lingkungan demi lembaran rupiah dan masih banyak lagi berita lainnya.
Memang terkesan pesimis, namun bagi saya ini adalah bentuk pengaduan kita sebagai anak manusia kepada Tuhan Allah Sang Bapa.
Ini menunjukan sebuah keakraban antara manusia dan Sang Pencipta.
Juga menunjukan bahwa saking akrabnya, manusia bisa berkeluh kesah, bercerita tentang hidupnya dengan Allah.
Di sisi lain khotbah ini juga merupakan otokritik terhadap diri kita. Jaman sekarang ini sulit kita dapatkan orang yang mau dan rela melakukan kritik terhadap diri sendiri, yang ada hanyalah kecenderungan untuk menyalahkan orang atau pihak lain.

Hampir setahun saya tak pernah menginjakan kaki di gedung gereja hingga hari ini tepat peringatan hari kematian Yesus di atas kayu salib. Saya beruntung masih bisa ke gereja sehingga mendapatkan kesempatan untuk mendengar dan merenung hal ini.

Saya bersyukur karena sekalipun Besikama sedang dilanda banjir namun masih diberi kesempatan beribadah kepada Allah yang saya yakini selama ini.
Khotbah ini menurut saya, menjadi sebuah refleksi bagi semua fehan oan atau ema fehan untuk memberikan kekuatan dalam menghadapi kecemasan dan kekuatiran akan bencana banjir yang hampir setiap malam terjadi di Besikama.

Di tengah genangan air dan beceknya lumpur banjir akibat keserakahan manusia, saya mengucapkan selamat PASKAH bagi semua fehan oan iha rai wewiku-wehali, rai Malaka.