Tuesday, October 16, 2007

Arti Sebuah Kesetiaan

Tulisan ini untuk mengenang “ambei koster katuas” yang telah berpulang pada awal Juni 2007 lalu. Yang mengajarkan arti sebuah kesetiaan dan totalitas melayani.

Oleh :
Olyvianus Dadi Lado


Jumad, 8 Juni 2007. Tit…tit….tit ...bunyi sms dari HP Nokia 1100 butut milik saya. Ternyata sms dari kakak tertua saya di Besikama,
“Oll, om koster tua su meninggal tadi malam”. Sontak saya terhenyak beberapa saat.

***
Tubuhnya kurus, pendek, berkulit hitam. Rambut dikepalanya sudah memutih dan jarang-jarang karena termakan usia. Sebagian besar giginya yang hitam karena sirih pinang sudah tanggal. Ia tak mengenal baca-tulis.
Terakhir saya bertemu dengannya akhir april lalu saat mengikuti kebaktian di gereja Imanuel Maktihan di Besikama, sebuah desa di kecamatan Malaka Barat bagian selatan kabupaten Belu. Gereja Imanuel Maktihan termasuk dalam wilayah Klasis Belu. Merupakan gereja induk dari 12 mata jemaat di wilayah kependetaan Maktihan. Awalnya gereja ini berlokasi di desa Maktihan kemudian pindah ke Besikama.

Ia adalah koster pertama di gereja itu. Sejak gereja Maktihan hadir pada tahun 50-an ia sudah melayani. Menurut cerita banyak orang, dulunya ia adalah seorang pencuri ulung yang ditakuti dimana-mana. Kemudian ia bertobat dan melayani sebagai koster.
Ia bersama mama Robe, sang isteri memiliki tujuh orang anak. Dua diantaranya sudah berkeluarga. Mereka tinggal tak jauh dari gedung gereja Imanuel Maktihan di kampung Makfatin, hanya sekitar dua ratusan meter jauhnya.

Sesampai saya di Besikama, pada sabtu sore sehari setelah mendapat berita duka, malamnya bersama beberapa teman pemuda gereja dan pak Pendeta Angkol Tangwal dan isterinya yang juga pendeta di wilayah Loomaten, pdt. Loni Tangwal – Ndoen, kami pergi melayat. Pendeta Angkol mulai bertugas di Besikama sekitar enam tahun lalu. Sekalipun berasal dari Alor, ia sudah bisa berbahasa fehan bahkan sangat fasih melafalkan lagu-lagu rohani dalam bahasa fehan.

Malam itu angin dingin serasa menusuk langsung ke tulang saya. Tanah yang becek dan berlumpur karena hujan yang turun selama seminggu sebelumnya turut menambah dingin malam itu.

Jenasah koster tua itu disemayamkan di rumahnya, sebuah rumah yang sederhana. Beratap rumput ilalang, berdinding bebak, namun hanya seperempat bagian rumah itu yang berdinding, hanya sebuah kamar di bagian depan berukuran kira-kira 2x3 meter tempat jenasahnya dibaringkan. Halaman rumah yang berlumpur, memaksa tenda duka digelar lebih ke depan lagi.

Sudah banyak orang hadir disana, hampir semuanya saya kenal, ada tokoh-tokoh jemaat, ada tetangga sekampung saya, ada teman-teman sepermainan semasa kecil dulu, juga ada orang-orang yang sengaja datang untuk berjudi sebuah kebiasaan buruk yang sudah berakar urat di Belu ketika ada kedukaan, bukannya mereka datang untuk menghibur keluarga yang berduka tapi datang untuk mencari untung ditengah kedukaan orang lain.
Setelah tegur sapa dengan beberapa orang tua, saya langsung menuju ke ruang kosong di rumah duka.

Di dalam kamar tepat di bagian kiri pintu masuk, Mama Robe duduk lemas di samping ranjang kayu sederhana tempat suaminya berbaring, rambutnya yang kusut diikat asal jadi. Kain hitamnya sudah bercampur lumpur coklat pada bagian bawah dan belakang, kebaya putihnya sudah hampir berganti warna menjadi kuning.
Saya menyalami tangan dinginnya, sepasang mata tua itu nanar menatap saya, “Oll, ambei ba tia’an”, ujarnya lirih hampir tenggelam dalam hiruk pikuk suara dari luar. (Oll, bapak tua sudah pergi - fehan).
Ia mengatakan, menjelang kepergiannya, koster katuas hanya menanyakan kapan anak-anaknya datang untuk menengok dia. Anak-anak yang dimaksud adalah anak-anak dari alm pendetanya dulu, yakni saya dan saudara-saudara saya yang sudah lama tak pergi melihatnya.
“Loron-loron nusu emi dei.” Lanjut mama Robe, tangannya sesekali mengelus-elus pinggiran tais berwarnah merah penuh motif khas Fehan yang menutupi sekujur tubuh suaminya. (tais : sarung tradisional-fehan)

Saya tak mampu berkata-kata, hanya tepekur dalam diam mendengarnya. Rasa bersalah perlahan menyelimuti sudut-sudut hati. Mata saya mulai berkaca-kaca, bukan karena kepergiannya tapi menyesal karena tak sempat menemuinya pada saat-saat terakhir hidupnya. Di sisi lain, saya juga bersyukur ia telah dipanggil pulang, bersyukur karena ia telah dilepaskan dari penderitaan di dunia ini.

Ia sudah lama menderita sakit “bengek”, ISPA akut. Batuk parah yang dideritanya membuat ia sering kesulitan bernafas, bahkan untuk berjalan-jalan di sekeliling rumahnya saja ia harus berulang kali berhenti sejenak mengatur nafas. Setiap melangkah hampir seluruh anggota tubuhnya gemetar, begitu juga ketika ia berbicara atau mencoba tersenyum. Sudah berulang kali diobati entah itu obat-obatan dari puskesmas maupun obat tradisional sudah dikonsumsinya namun penyakit itu tetap tak sembuh. Tubuh ringkihnya itu kian hari kian menyusut. Mukanya yang tirus kian menampakan tulang.

Satu kelebihannya yang selalu saya ingat adalah selalu tersenyum sepanjang saya bertemu dengannya baru sekali saya melihat ia bersedih dan meneteskan air mata, yakni saat ayah saya, yang biasa dia panggil dengan “Ama pendeta Dadi” meninggal pada 2001 lalu.

Malam itu ditengah suasana duka, saya mencoba merangkai kembali ingatan saya akan sosok seorang koster katuas yang terbujur kaku dihadapan saya.
Ada banyak kenangan bersamanya, bukan hanya saya namun seluruh jemaat Imanuel Maktihan tak mengingkari kalau banyak suka dan duka yang telah dilewati bersamanya hingga saat ini.

Pada masa aktifnya sebagai koster gereja sekitar akhir tahun 50-an hingga akhir 80-an, Besikama belum seramai sekarang. Belum ada angkutan kota (angkot) dan ojek. Saat itu alat transportasi yang paling banyak digunakan adalah kuda, itu bagi yang memilikinya, yang tidak ya harus berjalan kaki.
Mata jemaat dalam wilayah Maktihan saat itu meliputi daerah perbatasan Belu dan TTS di Biudukfoho hingga daerah di sebelah sungai Benenai di Kobudiin, Angkaes dan Makwar yang secara pemerintahan termasuk wilayah kecamatan Malaka Tengah. Pada masa itu sarana jalan raya dan jembatan belum sebagus sekarang, jembatan Benenai baru ada pada sekitar tahun 1983.

Persebaran jemaat GMIT di wilayah Maktihan yang begitu luas membuat komunikasi dan koordinasi antara pendeta wilayah di gereja induk Maktihan saat itu pendetanya adalah alm. Pendeta Lambertus E. Dadi Lado, dengan penanggungjawab di setiap mata jemaat, hanya mengandalkan kurir untuk menyampaikan pesan. Entah dalam bentuk surat maupun lisan.
Penyampai pesan yang paling sering melakukan itu adalah koster katuas. Kadang ia ditemani oleh beberapa pengurus gereja, namun pada saat mendesak ia harus melakukannya sendiri. Ini membuat ia tak lagi dikenal dan ditakuti sebagai seorang pencuri ulung namun dikenal dan dihormati sebagai seorang pelayan Tuhan.

Saya termenung, sering kita menganggap remeh peran seorang koster. Sering kita menganggap dia sebagai seorang pesuruh. Bayangkan betapa repot dan susahnya jika harus membagi tugas diantara jemaat atau, pemuda atau majelis gereja sekalipun hanya untuk membersihkan gedung gereja, menyiapkan peralatan dan lain-lainnya sebelum kebaktian setiap minggunya.

Tanpa disiplin koster untuk bangun setiap pagi di hari minggu mungkin kita kesulitan mendengar irama bunyi lonceng gereja, bukankah bunyi sebuah lonceng gerejapun bisa menjadi motivasi dan inspirasi bagi banyak orang Kristen?
“Lonceng gereja su babunyi gandong..e..e...”. Baris pertama dari lagu yang pernah dinyanyikan Melki Goeslaw, bukti lonceng gereja yang dibunyikan oleh seorang koster bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang.

Irama lonceng yang membahana di Besikama setiap pagi di hari minggu yang memberi motivasi, semangat hidup, panggilan bahkan inspirasi bagi jemaat itu juga yang membuat gangguan permanen pendengaran pada telinga Koster Katuas. Namun itu tak membuatnya berhitung untung – rugi. Sunggingan senyum di bibirnya justeru semakin lebar ketika melihat bangku-bangku kayu yang disusunnya itu terisi penuh oleh jemaat yang pergi beribadah.
Menurut saya, ini bentuk paling sederhana dari arti sebuah kesetiaan, totalitas dan ketulusan melayani. Setiap hari minggu, ia adalah orang pertama yang hadir di gereja, sehabis kebaktian ia juga yang paling akhir pulang.

Kesetiaannya hampir tak ada duanya di Besikama menurut saya. Dalam keadaan sakit, empat hari sebelum kepergiannya pada hari minggu pagi, 03 Juni 2007, ia masih pergi berbakti di gereja.
Dengan tertatih-tatih sambil memegang tongkat kayu kusam miliknya, ia tetap bersemangat menuju gereja. Jarak sejauh dua ratusan meter itu ditempuhnya dalam waktu yang cukup lama bahkan lebih lama dari seorang anak kecil.
Sekalipun ia harus berhenti hingga belasan kali untuk mengatur nafas dan mengumpulkan tenaga, ia tetap berjalan memenuhi panggilan Tuhannya lewat bunyi lonceng gereja yang dulu sering ia lakukan.

Pada hari kamis, 7 Juni 2007, sekitar jam delapan malam, kesunyian malam di Besikama terusik bunyi lonceng gereja. Lonceng yang dulunya sering dibunyikannya untuk memberi kabar kepada jemaat wilayah maktihan untuk pergi beribadah, berbunyi lagi memberi kabar tentang kepergian seorang koster katuas, koster pertama di gereja itu. Lonceng itu dibunyikan oleh koster muda penerusnya.

Inspirasi yang pernah ia berikan lewat bunyi lonceng, semangat melayani yang telah ia tunjukan membuat rasa duka saya dan jemaat yang malam itu hadir terobati. Kami justeru seharusnya bersyukur atas peristiwa ini. Karena kepergiannyalah kami bisa melakukan permenungan atas apa yang sudah pernah dibuatnya.
Sepanjang malam hingga pukul tiga dini hari, kami terus bernyanyi memuji Tuhan. Laki-laki, perempuan. Tua, muda semuanya ikut bernyanyi. Kecuali sekelompok orang yang masih terus bicara soal politik tanpa juntrungan di tenda yang digelar tak jauh dari rumah duka dan sekelompok lagi yang kecewa karena keinginan berjudi mereka malam itu tak bisa diwujudkan setelah ditegur oleh polisi.

***

Senin, 11 Juni 2007. Langit di atas Besikama hitam, tak setitikpun warna biru nampak. Matahari sore tak menampakan sinarnya. Tanah masih becek dan berlumpur seperti hari-hari kemarin, sekalipun hujan sudah tak turun sejak empat hari lalu.
Orang-orang mulai berkumpul di bawah tenda duka. Beberapa tokoh jemaat di kampung Makfatin sibuk mengatur kursi dan mempersiapkan keperluan kebaktian. Sore itu, empat hari sudah koster katuas berbaring kaku di ranjang kayu sederhana miliknya. Ia akan dikuburkan.
Kuburan untuknya sudah disiapkan, seratus-an meter dari rumahnya di seberang jalan kampung. Saya dan beberapa pemuda gereja juga sudah bersiap membawakan lagu dalam kebaktian itu.

Sekitar jam empat kebaktian dimulai. Kepala-kepala kami hanya menunduk sepanjang kebaktian berlangsung mendengar renungan yang disampaikan pendeta Angkol Tangwal.
“Tuhan memang Maha Kuasa. Ia memakai potensi yang ada pada ambei koster katuas, bapak Hendrikus Klau ini untuk pekerjaannya,” ujar pendeta Angkol.
Seketika saya mendongakkan kepala, nama itu baru saya ketahui. Selama ini saya hanya mengenalnya dengan nama ambei koster katuas. Nama Hendrikus Klau seakan asing bagi telinga ini. “Ah...hh, ternyata sayapun tak begitu mengenalnya” batin saya. Kepala ini kembali tertunduk, mata saya kembali basah.

Pendeta Angkol mengibaratkan koster katuas dengan cerita tentang pertobatan rasul Paulus. Koster katuas yang dulunya adalah seorang pencuri kemudian bertobat dan menjadi saksi Kristus lewat pekerjaan sebagai koster. Begitu juga dengan rasul Paulus yang dulunya bernama Saulus, adalah seseorang yang namanya membuat gentar banyak orang Kristen pada masanya. Namun lewat cara Tuhan, ia bertobat dan Tuhan memakai keahliannya dan potensinya menjadikan ia seorang penginjil yang militan, setia dan total dalam melayani Tuhan bahkan hingga ia mati.

Sekitar jam lima jelang enam sore, peti kayu sederhana berisi tubuh kaku koster katuas dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya. Kuburannya juga sederhana, tak ada keramik atau porselin dari marmer seperti kuburan pejabat gereja lainnya. Yang mengantarnyapun bukan orang-orang “besar”, hanya orang-orang kecil, jemaat yang pernah menikmati alunan irama bunyi lonceng gereja dari tangannya.

“Loro atu monu onan kroman lakon ba ti’an....” syair sebuah lagu fehan yang menjadi pembuka saat kebaktian tadi serasa seirama dengan malam yang mulai turun.
Kuburan itu kembali sunyi, hanya terdengar desiran angin mempermainkan dedaunan pohon kapuk yang menaunginya.
***

Ia memang telah meninggalkan jemaat Imanuel Maktihan namun teladannya telah ditinggalkan bagi penerus-penerusnya. Kesetiaan dan totalitas melayaninya yang tanpa pamrih adalah pelajaran berharga dari Hendrikus Klau yang lebih dikenal dengan nama Koster Katuas.

Surat dari seorang Ayah

Ini adalah sebuah surat dari sepasang orang tua yang berjuang bagi kesembuahan puteri semata wayang mereka yang baru berusia 3 bulan lebih, yang mengalami gangguan pada jantung dan infeksi paru


"Setelah 6 tahun berumah tangga, kami akhirnya diperkenankan Tuhan untuk memiliki seorang anak yang terlahir pada 20 Juni 2007, setelah sebelumya istri saya; Pdt Desiana Rondo Effendy sempat mengalami keguguran sebanyak 4 kali. kami begitu gembira dan bahagia atas anugerah terindah yang kami terima. Bayi perempuan yang cantik ini kami beri nama Liliane Gratia Imanuela Rondo, kami sangat bersukur karena penantian panjang kami diberkati Tuhan.

Gratia terlahir melalui proses bedah Cesar karena dokter Alfonsius Anapaku, Spog. mendiagnosa placenta bayi kami mulai kering padahal belum ada tanda-tanda melahirkan. Waktu itu, jantung sang bayi tidak dapat dideteksi karena sangat lemah. setelah proses Cesar yang menegangkan, Gratia terlahir dengan panjang badan 51 cm serta berat badan 3,1 kg. Gratia nampak sehat dan gemuk, walau tubuhnya memang terlihat agak kuning serta pucat. Ia juga minum susu dot dengan sangat lancar.

Pada hari kelima, Dr Simplicia Fernandes (spesialis anak) berkomentar saat kami bawa Gratia untuk diperiksa bahwa ia menduga gratia mengalami VSD (ventrikel septhal deffect) atau kebocoran pada bilik jantung, karena 'bising' jantungnya terdengar. Tetapi menurutnya perlu pemeriksaan lebih lanjut pada dokter ahli jantung anak di Surabaya atau Jakarta. Kami shock dan kaget, karena Gratia nampak sehat. karena penasaran kami bawa Gratia ke ahli anak lainnya yakni: Dr Sammy Nalley dan Dr. Frans Taolin, kedua dokter ini membuat kesimpulan sama bahwa ada indikasi VSD tetapi mungkin relatif kecil dan pada sejumlah kasus dapat sembuh sendiri karena pertumbuhan dan gizi. ia kami periksa seperti biasa dan diimunisasi.

Setelah 3 bulan kami mulai melihat kondisi Gratia semakin menurun, pertumbuhan bobot badannya kecil sekali, semakin sering sesak napas, sering menangis, sulit sekali untuk minum susu, batuknya juga tidak sembuh-sembuh, denyut napasnya juga selalu terlihat memburu walaupun dalam keadaan tidur. karena situasi tidak banyak berubah maka persis seminggu setelah Gratia dibaptis, atas desakan dan rujukan Dr simplicia, kami membawanya periksa di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita di Jakarta.

Pada tanggal 28 September setelah diperiksa marathon via EKG, ECHO, Rontgen dan pemeriksaan darah Dr. Poppy Roebiono, SpJp memastikan bahwa pada jantung kecil Gratia putri kami ada kebocoran sekat jantung di 3 tempat berbeda, ukurannya bervariasi hingga 9mm. Prof Bambang ahli jantung anak lainnya juga memastikan bahwa ada infeksi paru-paru karena dampak masalah pada jantung. Dokter merekomendasi perlunya Operasi Jantung, mereka memberikan waktu 2 mnggu bagi keluarga untuk pikir-pikir.

Kami menangis sedih sekali dan sangat terpukul, kami tak sangka, bayi cantik dan lucu ini ternyata menyimpan derita yang berat sekali. kami menelpon semua sahabat dan keluarga memohon dukungan Doa, kami masih berharap mujizat Tuhan Yesus terjadi, kami percaya Gratia milik Tuhan, semua cara dan maksud Tuhan pasti indah walaupun sering pahit dan tak terselami oleh kemanusiaan kami.

Saat ini sebagai keluarga kami bingung untuk memberi jawab pada dokter poppy pada 10 oktober mendatang soal rencana Operasi jantung Gratia, kami sangat terbebani dengan besarnya biaya yang harus ditanggung untuk operasi seperti ini. sehari-hari pekerjaan saya adalah aktifis LSM pada Perkumpulan Relawan CIS TIMOR yang bekerja untuk penanganan eks pengungsi Timor-timur di Kamp-kamp Pengungsi di Kabupaten Belu, dekat perbatasan Timor leste. Sedangkan istri saya Desy adalah Pendeta GMIT di jemaat kecil wilayah Airkom, 40 km dari kota Kupang.

Melalui surat ini, kami mohon dukungan doa dan sekiranya memungkinkan dukungan Dana yang dapat membantu kami dalam pembiayaan operasi bayi kami Gratia. Kami sungguh-sungguh mohon maaf atas kelancangan kami mengirim surat seperti ini. Kami percaya kami tak pernah sendirian dalam persoalan ini, Selalu ada cahaya terang diujung lorong paling gelap sekalipun.

Saat ini kami tinggal dirumah keluarga di Semper-plumpang- Jakarta Utara. Komunikasi lebih lanjut bisa dilakukan melalui telp (021) 4409887 atau HP: 0811383960 (Winston) atau 0811382643 (Desy)".


Kami seluruh relawan di CIS Timor mengharapkan dukungan dari semua pembaca situs ini bagi kesembuhan buah hati saudara kami Winston Rondo dan Deasy Effendy

TTD

Relawan CIS Timor

ps.
Buat yang ingin membantu biaya operasi Gratia Rondo bisa mengirimkan ke rekening,
An. Winston Rondo,
Bank Mandiri Cabang Moh. Hatta No. 145-0005186198
Yang mau bikin International Transfer, Swift Code - BEIIIDJA



Koleduki Sudah Berubah

Koleduki yang dulunya dipenuhi semak belukar dan tak terurus kini berubah wajah

Oleh : Olkes Dadi Lado

Hampir jam sepuluh pagi di hari rabu, 18 Juli 2007, dua mobil kijang mengkilap memasuki jalan berdebu kampung Koleduki, desa Manusak.
Mereka adalah rombongan dari Oxfam GB, sebuah LSM Internasional dari Inggris yang saat ini beroperasi di Timor Barat.
Ada Joseph Curtin, Area Program Manager-nya, para koordinator sektor dari proyek ATUP fase II, baik sektor Food security, AP-Shelter, PHP maupun PHE, seperti Jhon Ello, Frans Panthur, Mei, dan Toni Leik. Juga ada staff lapangan, seperti Yoris, elen, Nur, Merry dan Yaret. Saya juga turut dalam rombongan itu.
Mereka pergi untuk melihat kemajuan kegiatan di pemukiman mandiri Koleduki. Sedangkan saya pergi untuk meliput kegiatan di sana.

Dari jalan Timor raya, jalan sumbu yang menghubungkan Indonesia dengan Timor Leste, tepat di belokan yang sering dikenal dengan sebutan Asam Tiga, ada sebuah cabang jalan tanah menuju ke sana, jauhnya sekitar 2-3 kilometer, saya tak tahu persis, tak ada penunjuk jarak di sana.
Ini merupakan lokasi pemukiman baru yang tanahnya diusahakan oleh komunitas eks pengungsi dari Tuapukan dan Naibonat. Alfredo Ximenes dan kawan-kawannya.
(Cerita awal tentang mereka ada dalam LL edisi 72)

Dua kali sudah saya datang ke lokasi ini. Ketika datang pertama kali, lokasi ini masih kosong, hanya terlihat ilalang dan semak belukar yang belum selesai ditebas. Beberapa bidang lahan sudah bersihkan dan diberi tanda, sebagian lagi belum.
Pemandangan pertama itu kini berganti deretan rumah-rumah setipe yang berdiri rapi dari timur ke barat.
Rumah-rumah setengah tembok, beratap seng, berukuran 5x6 meter itu, adalah unit rumah yang dibangun dari proyek bantuan perumahan hasil kerja sama departemen Sosial RI dan TNI.
Ada 28 unit yang dibangun. Semuanya hampir rampung, “Sisa, pintu, jendela, plester tembok dengan cor lantai bagian dalam sa,” ujar Alfredo. Rumahnya tepat di ujung pemukiman dari jalan kampung. Tak jauh dari situ, di bagian belakang rumahnya terdapat sebuah sumur berair dangkal sedalam 13 meter yang belum rampung. Beberapa cincin sumur dari campuran semen dan beton tergeletak di sekitar sumur itu.
“Kami gali itu dari bulan empat lalu,” ujar Feliciano Henriques. salah satu calon penghuni.
Karena debit airnya mulai berkurang, direncanakan akan digali lagi lebih dalam. “Akan aman kalau pada bulan Oktober nanti airnya tidak kering,” ujar Yoris, sosial worker Oxfam GB yang menadampingi komunitas di lokasi itu pada protek ATUP fase II ini.
Ia mengatakan jika airnya tidak kering pada oktober nanti maka sepanjang tahun kemungkinan persediaan air sumur akan selalu ada sepanjang tahun. Ini karena, di NTT, khususnya Timor, puncak musim panas pada bulan Oktober.

Pembuatan sumur itu menurut Norberth Bere Tarak, teknisi Watsan Oxfam GB saat saya temui di kantornya pada kamis pagi, 19 juli lalu, mengatakan ini dilakukan karena mereka melihat semangat dan kemauan keras dari komunitas untuk pindah namun terhalang ketersediaan air, sehingga dengan adanya sumur ini bisa membantu percepatan pembangunan di lokasi, selain untuk kebutuhan air minum ketika bekerja juga membantu dalam pekerjaan pembangunan rumah.

Sumur tersebut belum rampung, baru dipasang tiga buah cincin dibagian dasar, sedangkan sisanya belum. “Masih harus digali lagi karena debit airnya semakin menurun sehingga kita kuatir nanti setelah selesai pasang justeru persediaan airnya sedikit dan tak mencukupi,” kata Norbert. Pagi itu ia ditemani oleh Jhon Ello, koordinator PHE atau teknisi watsan Oxfam GB.

Alfredo dan komunitasnya berencana pindah setelah pembangunan unit rumah bantuan pemerintah ini rampung. “Sehingga kami bisa mulai kerja WC, kamar mandi ka atau sumur dengan dapur,” katanya.
Bahkan niatan untuk pindah ini sudah ada sejak selesai urusan pembelian tanah pada akhir maret lalu. “Biar rumah kecil seperti inipun saya tetap mau pindah, karena sudah punya tanah sendiri to,” lanjutnya sambil menunjuk pondok sederhana dari daun gebang tempat kami beristirahat siang itu.

Awalnya rencana pindah, ditentang oleh sebagian anggota komunitasnya. “Waktu itu rame, kami sampai pertemuan tiga hari,” ujarnya.
“Mereka kuatir nanti kalau sudah pindah, tidak dapat bantuan rumah dari pemerintah lagi,” lanjut Alfredo.
Karena, sepengetahuannya, jika sudah dapat dukungan dari LSM maka, pemerintah tidak akan bantu lagi padahal mereka sudah memasukan usulan untuk mendapat bantuan perumahan dari proyek perumahan kerja sama Departemen Sosial RI dan TNI. Setelah beberapa kali pertemuan disepkatai untuk hal tersebut dikoordinasikan dengan pihak TNI sebagai pelaksana teknis proyek perumahan tersebut. Antara lain dengan Koramil di Camplong hingga tingkat Korem. Oxfam GB sebagai pendamping di wilayah itu juga intensif melakukan koordinasi hingga mendapat kepastian pembangunan 28 unit rumah di lokasi mereka, barulah anggota komunitas yang lain setuju untuk rencana pindah.

Setiap hari Alfredo dan saudara-saudaranya pulang balik Tuapukan – Koleduki untuk memantau perkembangan pembangunan disana, bahkan terkadang mereka juga ikut bekerja membantu para tukang bangunan.
“Waktu material bangunan turun di sini itu tanggal lima juni, tanggal empatnya kami sudah tidur di sini tunggu,” timpal Feliciano Henriques.
Saking bersemangatnya, mereka sampai harus membangun tenda-tenda darurat untuk menginap sementara di lokasi.

Sebulan telah terlewati, lokasi pemukiman baru di Koleduki sudah menunjukan perubahan wajahnya. Sekalipun belum selesai pembangunan rumah namun kehadiran rumah-rumah yang belum rampung, dan kesibukan calon-calon warganya memberi warna tersendiri. Selain sebidang lahan itu, juga membawa perbedaan bagi warga lokal di sekitarnya. Lokasi yang dulunya sepi, hanya dipenuhi semak belukar dan tanaman jagung serta singkong saat musim berkebun, kini sudah mulai ramai.
Salah seorang warga lokal yang menurut pendapat Alfredo dan kawan, bahkan juga diakui Yoris, senang dengan kehadiran warga baru di lokasi ini adalah bapak Meno, seorang petani yang berkebun tak jauh dari lokasi itu. Setiap pagi dan sore, selesai mengiris tuak di kebunnya, ia selalu menyampiri mereka dengan membawa, hasil kebunnya. Entah itu tuak manis, laru putih, gula air hingga singkong rebus. Yoris, Nur, Yaret, staff lapangan Oxfam GB, juga pernah menikmati hasil kebunnya saat berkunjung ke sana.
“Dia orang baik. Malam pertama kami datang gali sumur itu saja, dia sudah pikul bawa tikar dengan bantal datang tidur di sini temani kami kerja, ” ujar Feliciano sambil menunjuk ke arah sumur.

“Suatu hari, dia pung anak dua orang yang tinggal di kampung sebelah datang ke kami. Mereka bilang, tolong perhatikan kami punya bapak karena bapak tinggal di kebun di kebun sini sa. Saudara dong di sini yang paling dekat jadi tolong perhatikan dia, kalo ada apa-apa tolong kasi tahu kami,” cerita Alfredo. Ia mengatakan mereka juga bertekad untuk berusaha sebias mungkin beradaptasi dengan kebiasaan dan adat setempat. “Kami masuk di sini berarti kami harus ikut aturan di sini e,” lanjutnya.

Di lokasi ini, Oxfam GB akan membantu pembangunan shelter untuk dapur. Sesuai kesepakatan yang telah dibuat dengan komunitas shelter tersebut akan dibangun dibelakang rumah yang dibangun pemerintah.
Alfredo dan komunitasnya menargetkan pembangunan yang akan dimulai setelah pemindahan warga ke lokasi tersebut akan selesai pada akhir agustus nanti, jika materialnya sudah didistribusi pada awal bulan agustus.

Menurut Norbert dan Jhon Ello, Selain itu direncanakan akan dibangun sebuah kamar mandi umum, dan dua septic tank di dua WC yang letaknya berdekatan dengan sumur yang ada. Karena standar kesehatan yang dipakai dalam proyek ATUP fase II yakni standar sphere mengahruskan jarak antara septic tank dengan smumur itu harus 30 meter. Standar sphere adalah sebuah standar untuk proyek-proyek kesehatan yang sering dipakai oleh LSM-LSM dari tingkat lokal hingga internasional di seluruh dunia.
“Sebelumnya tentu kita harus melewati tahapan perencanaan bersama komunitas dulu,” ujar Norbert.

Untuk menata pemukiman ini, Alfredo dan komunitasnya, terutama yang berasal dari kamp Tuapukan sekitar dua puluhan keluarga, berencana untuk membuat pagar di sekeliling pemukiman dan setiap rumah, “Sehingga kelihatan rapi,” ujar Alfredo.
Untuk menghijaukan lingkungan, Yoris yang siang itu sangat senang melihat semangat yang ditunjukan Alfredo dan kawan-kawannya mengatakan telah berencana dengan mereka untuk menanam anakan Angsana di sekeliling lokasi, “Cuma saya belum tahu mau ambil dari mana anakan angsana itu,” katanya.

Kini, Alfredo dan komunitasnya sudah cukup lega karena telah memiliki tanah dan rumah sendiri. “Saya bersyukur sekali akhirnya bisa punya tanah sendiri, dapat bantuan rumah. Sekarang saya tidak perlu kuatir untuk orang usir karena ini tanah milik saya.” Tuturnya.
Senada dengan itu juga dikatakan Joao, seorang kawannya yang juga ada siang itu, “Saya senan karena su puna tanah sendiri dibanding kalo kita masih di kamp, tiap hari kita tinggal di oran puna tanah kita malu juga e”.
Mama Ana Teresa Dos Santos (30) yang siang itu sedang menimba air dari sumur baru mereka, mengaku senang dengan kondisi mereka saat ini, “Pasti senang e..mau apalagi. Sekarang kita sudah punya tanah, rumah juga sudah ada, nanti dapur lagi, sumur juga sudah ada. Saya sudah senang,” ujarnya sambil tangannya terus menarik seember berisi air dari dalam sumur.

Itu semua bukan akhir dari perjuangan panjang menuju sebuah solusi yang layak dan bertahan, sebagai sebuah syarat menuju tertatanya sebuah kehidupan baru bagi komunitas eks pengungsi Timor Timur. Alfredo, Feliciano, Joao, mama Ana dan keluarga-keluarga lain calon warga baru Koleduki, masih harus berjuang mendapatkan sebidang lahan garapan untuk bertani. “Memang itu masih jadi persoalan bagi kami. Sekarang kami sudah coba untuk minta tapi belum semuanya berhasil dapat, baru sebagian saja,” ujar Alfredo. Saat ini mereka masih konsentrasi pada penataan lokasi tinggal yang baru, “Setelah kami semua tinggal di sini baru kami mulai dekati lagi saudara-saudara di kampung sini,” lanjutnya.

Siang itu saya senang, komunitas yang dulunya pesimis bahkan menolak dimotivasi untuk mencari lahan secara mandiri, kini telah sadar dan sudah menunjukan tindakan nyata atas pilihan yang mereka putuskan bersama. Lebih dari separuh jalan menuju solusi layak telah terlewati.