Tuesday, January 18, 2011

Mama Ma’a, Dalam Kenangan

Oleh :
Olyvianus "Fehan Oan" Dadi Lado

Sosok perempuan tua berbadan besar itu terbaring tanpa sadar di atas ranjang besi berwarna putih dalam sebuah ruangan berukuran 3 x 4 di Rumah Sakit Penyangga Perbatasan Webua-Betun kabupaten Belu.

Hari sudah menjelang sore, detik demi detik terus berlalu, tak ada kemajuan berarti, sejak tiga hari lalu saat dibawa ke rumah sakit itu, perempuan tua itu tak mengeluarkan sepatah katapun, matanya terus terpejam, ia tak bereaksi sedikitpun ketika disapa.

Satu erangan perlahan yang keluar dari mulutnya saat saya tiba dan berbisik ke telinganya pagi itu, seakan jadi penghibur dan menguatkan semua saudara saya yang ada dalam ruangan sempit itu. Kembali terbesit harapan bahwa bahwa ia akan sembuh. Ya…ia adalah mama bagi enam orang anak, lima perempuan kakak saya dan seorang lelaki, saya sendiri, si bungsu. Oleh dokter, Mama dikatakan menderita Malaria Cerebral , malaria yang menyerang otak.

Hari mulai gelap, mentari sore mulai menghilang dibalik punggung bukit Kateri. Lampu dalam ruangan itu sudah menyala, pertanda sudah jam enam sore. Tiba-tiba, “Uhhh…ahhhh..uuhhh..hhhh,” terdengar jelas dari mulut mama, tubuhnya bergetar semakin lama semakin keras, ia menggigil hebat, ranjang besi itu ikut bergetar hingga mengeluarkan bunyi. Sontak, kami semua berlarian menghampiri ranjang itu, seorang kakak saya mengulurkan tanganya meraba dahi mama, “Panas skali,” kata Loni, kakak saya yang nomor tiga. “Panggil dokterrr..!” teriak saya saat melihat mama semakin payah bernafas.

Lorong rumah sakit yang belum lama dibangun pemerintah itu, ramai oleh bunyi tapak kaki yang berlarian.

Tak lama berselang, seorang perawat datang membawa tabung O2 berukuran kecil, segera dipasangnya ke hiduang dan mulut mama. Getaran tubuh mama perlahan mulai reda. Dokter jaga tiba tak lama setelah itu, ia memasang statoscope ke jantung mama, lalu memeriksa pupil mata mama, lalu meraba denyut nadi, Ia berpaling pada perawatnya memerintahkan sesuatu yang tak saya mengerti, mungkin karena sedang kalut, saya tak ingat apa yang ia perintahkan kepada perawat itu.

Dokter itu, memandangi kami satu persatu, “Ada anak-anak di sini?” tanyanya.

“Ada dokter, saya anaknya,” jawab secepat mungkin.

“Mama sudah sangat parah, kita akan coba sebisa mungkin e.. Dan sebaiknya adik-adik berdoa,” katanya perlahan.

Saya tertegun, saya mengerti benar arti dibalik kalimat itu, kepala saya tertunduk, air mata mulai menggenangi ujung pelupuk mata. Suara isak tangis tertahan mulai terdengar dari mulut saudara-saudara saya. “Saya harus kuat, harus, harus,” kata saya berulangkali dalam hati.

Sambil menunggu pengobatan oleh dokter, saya memeluk kakak-kakak saya sambil meminta mereka untuk tetap kuat dan berdoa. Lalu kami berdoa bersama memohon kekuatan dan memasrahkan keadaan mama ke tangan Tuhan Yang Maha Kuasa. Hati saya sedikit lega usai berdoa.

Detik demi detik berlalu, jarum jam sudah menunjuk angka enam, tersisa satu menit hampir setengah tujuh malam. Tiba-tiba,”Hhhuuuuhhhh,” hembusan bafas panjang dari mulut mama disertai sedikit getaran pada lengannya yang saya pegang. Dokter yang berdiri tepat di samping ranjang langsung meraba denyut nadi ditangan mama, helaan nafasnya berat, ia lalu membuka kelopak mata mama untuk melihat pupil mata mama, ia menutupnya lagi, lalu menolehkan kepalanya kepada saya, “Mama sudah pergi..,”kalimat pendek itu keluar tak tertahankan dari mulutnya. Lalu ia berpaling ke perawatnya, “Waktu kematian, jam 6.30.” si perawat mencatatkan itu pada kertas yang dipegangnya.

Tangisan yang tadi tertahan-tahan keluar sejadi-jadinya, tak terbendung lagi, kami semua menangis. Saya juga menangis, entah mengapa saya juga tak yakin benar mengapa saya menangis?. Apakah karena tak rela kepergian mama? Apakah karena saya nanti mersa kesepian dan tak bisa melihat mama lagi?, apakah karena sebuah penyesalan sebab belum membahagiakan mama? Saya tak tahu alasan sebenarnya, yang pasti saat itu saya menangis.

Saya mengambil handycam yang saya bawa dari Kupang, Sebenarnya tak biasa saya membawa handycam kemana-mana diluar tugas kantor. Anehnya ketika mendengar mama masuk rumah sakit, tanpa pikir panjang saya meminjam kamera sony milik kantor untuk dibawa. Rupanya itu pertanda bahwa mama akan pergi meninggalkan kami semua anak-anaknya.

Perginya siang berganti malam nan gelap pada hari itu, menjadi pertanda kembalinya mama tercinta ke pangkuan Sang Khalik. Ada siang ada malam, ada kelahiran adapula kematian.

****
Hari ini, tepat tiga tahun sudah mama pergi meninggalkan kami. Yah secara fisik ia meninggalkan kami anak-anaknya namun semangat dan inspirasinya tetap ada menyertai kami.

Mama saya bernama lengkap Martha Homa, biasa dipanggila Ma’a. Ia dilahirkan di Sumbawa Besar, pada 27 Maret 1936. Anak kedua dari tiga puteri pasangan Wellem Homa dan Margaretha Homa - Ke Weo.

Ia menghabiskan masa kecilnya di Sumbawa Besar-Nusa Tenggara Barat bersama kedua saudarinya, Mathelda Katrin Homa, sang kakak dan Yakoba Homa adiknya, hingga tahun 1942 karena Perang Dunia II pecah dan Jepang menyerbu ke Indonesia, mereka pindah ke Kupang dan menetap di Tarus.

Di Kupang-lah, ia mengecap dunia pendidikan, sejak dari SR pada tahun 1945 – 1951, dilanjutkannya ke SMP Kristen pada tahun 1952 – 1956, dan pada tahun 1958, ia meneruskan pendidikannya ke Sekolah Theologia di SoE-TTS. Ia tamat dan dithabiskan sebagai pendeta pada tahun 1960.

Di tahun pertamanya sebagai pendeta, Mama Ma’a ditugaskan ke wilayah Bokong –Takari-Noelmina hingga tahun 1963.

Pada tahun 1963, ia dipindahkan ke wilayah Klasis Belu, sebagai pendeta penginjil. Selama di Belu, Ia melayani hampir di seluruh wilayah klasis Belu. Mulai dari Atambua, Lakafehan, Atapupu, Motaain, Asuulun, Weluli, Kakuun hingga Maktihan. Selain di Belu ia juga melayani hingga ke Tuamese, Ponu dan Kaubele di wilayah TTU. Jika beruntung dan ada yang meminjamkan kudanya, mama pergi melayani menunggang kuda tapi kebanyakan mama pergi melayani hanya bermodalkan kedua kakinya.
Selama bertugas di Atambua, mama juga menyempatkan untuk mengabdikan diri pada dunia pendidikan dengan menjadi pengajar di TK Kristen Polycarpus Atambua bersama adiknya, Yakoba Muni – Homa.

Ia juga mengalami masa-masa kelam dalam sejarah Indonesia pada tahun 1965, ketika itu ia sering dijemput paksa pada malam hari untuk mendoakan para korban pembantaian yang dituduh sebagai antek PKI, Ia tak bisa melawan pembantaian itu, ia hanya bisa mendoakan keluarga para korban agar kuat menghadapi situasi sulit pada masa itu.

Tahun 1966 adalah masa dimana, mama Ma’a bertemu dengan tambatan hatinya, Lambertus Eduard Dadi Lado, juga seorang pendeta di bagian selatan Belu. Pada tahun 1967, keduanya sepakat menikah di Camplong. Pada tahun itu juga, Mama Ma’a dipindah-tugaskankan ke wilayah Maktihan, tempat sang suami melayani. Maka wilayah Maktihan dilayani oleh dua pendeta pada waktu itu.

Pada tahun 1968, karena kondisi perekonomian jemaat saat itu yang rendah, tentu saja jemaat sangat kesulitan untuk membiayai dua orang pendeta sekaligus, keduanya bersepakat agar salah satu mengundurkan diri dari status karyawan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), maka Mama Ma’a lah yang mengundurkan diri saat itu.

Sekalipun tak tercatat lagi sebagai karyawan GMIT, status kependetaannya tetap melekat karena itu dalam kesehariannya ia tetap bahu membahu dengan suaminya melayani sebagai pendeta bagi umat Tuhan di wilayah Maktihan.

Bencana banjir, kelaparan, ancaman perpecahan jemaat dan berbagai tantangan hidup lainnya tak membuat keduanya beranjak dari Rai Fehan (wilayah selatan Belu sering disebut sebagai Rai Fehan). Semua penderitaan yang mereka alami justeru semakin menguatkan iman dan kesetiaan mereka dalam melayani umat Tuhan di Rai Fehan – Rai Malaka.

Ketika banyak orang belum meributkan soal pelayanan yang holistik, keduanya sudah melakukannya tanpa berbicara banyak. Seingat saya, rumah kami dihuni oleh berbagai macam manusia, mulai dari anak yatim piatu, anak yang diusir oleh orang tuanya, orang yang menderita kelainan jiwa, menderita lumpuh, penyandang cacat, semuanya ditampung ada di rumah sederhana beratap daun dan berdinding pelepah gewang di desa Besikama.

Kadang timbul cemburu dalam hati kami, karena Mama dan papa kadang lebih memperhatikan mereka ketimbang kami anak-anak kandungnya. Kelak setelah kematian keduanya, baru saya sadari bahwa untuk itulah keduanya hadir di dunia ini, yaitu melayani mereka terpinggirkan.

Kematian bapak tercinta Pdt. Emr. Lambertus Eduard Dadi Lado pada 25 Januari 2001 di RSUD Atambua, tak membuat Mama Ma’a meninggalkan umat Tuhan di wilayah Maktihan, sekalipun usianya makin uzur dan kondisi fisiknya tak memungkin lagi ia naik mimbar, hingga akhir hayatnya ia tetap melayani dengan menjadi pembina Persekutuan Do’a wilayah kependetaan Maktihan. Masih tetap mengulurkan tanganya membantu mereka yang membutuhkan pertolongan sekalipun mama digolongkan sebagai keluarga miskin dalam data pemerintah desa. Ia membuktikan bahwa kata miskin tak ada dalam hidupnya.

***
Sapa mau sangka…sapa mau sangka…
Musti jadi bagini e sio mama…
Mama su pigi …mama su pigi…
Seng bale- bale lai …mama ee..

Katong su datang dar tanah orang
Asal mau dengar mama punya suara
Mar janji jua seng….Pasangpun jua seng
Sio mama sampe hati ...e

Ancor di dada…ancor di dada..
Rasa mau putus jantong e..
Sio kalo inga …sio kalo inga…
inga mama pung piara … mama …e…e

Deng kurang-kurang
deng susah-susah
sampe katong su jadi orang …e
sio mama hati tuang e..sio mama hati tuang e…
paling manis lawang..e

sio mama ..e…sio mama e…
katong sambayang…
katong sambayang par Tetemanis..e.
sio mama ..e…sio mama e…
mau bilang apalai..samua ini Tuhan pung rencana


Lantunan syair lagu ini, mengiringi prosesi ibadah pemakaman, kami menyanyikannya sebagai penghormatan terakhir sebelum mama terkasih kami dibawa ke liang lahat untuk dimakamkan pada 21 Januari 2008 lalu.

Lagu yang sedih, tapi mengajarkan tentang sebuah kepasrahan terhadap kehendak Yang Kuasa pemilik kehidupan ini. Semua orang, siapapun dia pada suatu saat, cepat atau lambat, pasti akan dipanggilnya.

Siang itu, ribuan jemaat dengan kepala tertunduk ikut menghantar kepergian mama Ma’a. ia sosok yang sederhana dan bersahaja, ia miskin harta, tak ada harta yang ia tinggalkan, tetapi kehadiran ribuan orang siang itu menjadi bukti bahwa yang ia investasikan semasa hidupnya adalah perbuatan baik pada sesama.

Bagi saya, mama adalah orang yang kaya. Ia kaya akan manusia. Apa yang sudah ia lakukan semasa hidupnya terbukti sudah pada akhir hayatnya. Benar apa yang dikatakan Steven Cofey, “Mulailah dari akhir pikiran” dalam buku Seven Habbits-nya yang terkenal itu. Hebatnya, mama Ma’a tak pernah mambaca buku ini tapi ia sudah melakukannya, ia mempelajarinya dari buku kehidupan yang ia yakini, dari Alkitab yang selama ia jadikan pegangan hidup.

Hari ini tiga tahun sudah Mama Ma’a tiada, namun sebuah makam sederhana di halaman rumah tua kami di desa Besikama menjadi saksi pernah ada seorang perempuan tangguh di wilayah selatan Belu. Kasih sayangnya bukan hanya telah membesarkan enam anaknya tapi juga fehan oan lainnya.

Mama su pi gi…mama su pi gi …son balek-balek lai tapi semangatnya dan pelajaran hidup yang sudah mama ajarkan tak akan hilang, karean akan terus menjadi inspirasi bagi saya untuk membuat hidup ini lebih berwarna. Terima kasih Tuhan karena sudah mengijinkan saya jadi anak dari Mama Ma’a dan Papa Edu.

In Memorian Mama Tercinta Pdt. Emeritus. Martha Homa