Saturday, January 28, 2006

Kursus Jurnalisme Sastrawi IX-Pantau

09-20 Januari 2006
Olkes Dadi Lado
Ini kali kedua saya ke Jakarta. Yang pertama pada tahun 2000, untuk mengikuti acara wisuda kakak.
Kali ini karena diundang Pantau -Sebuah yayasan yang bertujuan memperbarui jurnalisme di Indonesia- untuk mengikuti Kursus Jurnalisme Sastrawi selama dua minggu.


Saya termasuk angkatan ke 9. Sebelumnya yang mewakili CIS Timor adalah Winston Rondo.
Saya merasa beruntung bisa mengikuti kursus ini. Ini adalah pengalaman pertama mengikuti kursus dengan
jumlah peserta yang kecil.
Pesertanya berjumlah 15 orang, menurut Yusrianti Pontojaf, koordinator program kursus Pantau, agar lebih efektif.

Pesertanya beragam. Ada wartawan dari Jakarta seperti, Ade Siregar dari Media Indonesia, Aan Suryana dari The Jakarta Post, Andry Soekarnen dari Business Week, Mbak Eva Rahayu dari Majalah Swa, Imam Sofwan dari Syirah, dan Samiaji Bintang yang freelancer.

Juga wartawan dari daerah, ada Nur Iskandar dari Equator-Pontianak, Frans Anggal dari Flores Pos-Ende, Romi Heatubun dan Sampe Sianturi dari Radar Timika.

Dari kalangan aktifis LSM yang punya media, ada Angela Flassy dari Suara Perempuan Papua, Muhamad Syukur dari FKMM-Bogor dan saya dari Lorosae Lian-Kupang.

Yang murni aktifis juga ada seperti Fadriah Syuaib dari LSM SenBud Ternate dan yang terakhir, seorang reporter radio dari Tobelo, Febiyola Lilipory yang juga koresponden radio 68 H Jakarta.

Metode yang dipakai bagus. Lebih banyak tugas dan diskusi dibanding teori, sehingga peserta betul-betul dituntut untuk serius membaca bahan-bahan yang diberikan serta belajar langsung dari tulisannya sendiri maupun peserta lainnya.

Menurut saya pengampu kursuspun sangat berkualitas. Kali ini selain Janet Steele dan Andreas Harsono yang menggagas awal kursus jurnalisme sastrawi ini, juga ada pengajar tamu, penulis “Ngak Ngik Ngok” dalam buku Jurnalisme Sastrawi, Budi Setyono yang banyak memberikan tip dan trik memasang transisi dalam sebuah tulisan kepada peserta.

Peserta diajak mengenal karya-karya jurnalis asing yang bagus seperti In Cold Blood-nya Truman Capote, The Girl of The Year oleh Tom Wolfe dan Hiroshima karya Jhon Hersey.

Atau karya penulis dalam negeri seperti Kejarlah Daku Kau Ku Sekolahkan-nya Alfian Hamzah, Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft karya Chik Rini, Hikayat Kebo-nya Linda Christanty atau Kilometer Nol Republik Indonesia yang ditulis oleh Andreas Harsono dan tulisan Agus Sophian “Tikungan Terakhir”.

Bentuk dan struktur ala jurnalisme sastrawi ternyata bisa diterapkan pada hard news seperti tulisan Anthony Shadid “A Boy Who Like A Flower” atau dalam tulisan pendek lainnya seperti “Its An Honor” karya Jimmy Breslin.

Ada juga tulisan unik (menurut saya) Arif Zulkifli “Dua Jam bersama Hasan Tiro”. Tulisan ini sekalipun tidak sepenuhnya memakai bentuk dan struktur ala jurnalisme sastrawi tetapi mempunyai ciri khas pada pencatatan detail tempat, gerak tubuh, kebiasaan dan simbol-simbol.

Peserta juga diajak untuk membedakan antara fakta dan fiksi dengan membandingkan dua tulisan Linda Christanty, “Hikayat Kebo” dan “Kuda Terbang Maria Pinto”.

Selain memepelajari semua karya-karya itu, peserta juga mendiskusikan tentang elemen-elemen jurnalisme dalam buku Elemen-elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Thomas Rosenstiel.

Kebenaran sebagai tujuan utama, Loyalitas pada masyarakat, disiplin dalam melakukan verifikasi, independensi, memantau kekuasaan, sebagai forum public, memikat sekaligus relevan, proposional dan komprehensif dan yang terakhir adalah etika dan tanggung jawab social adalah esensi dalam jurnalisme. Kesembilan elemen ini kedudukannya sama.

Dalam “Kegusaran Tom Wolfe” yang ditulis Septiawan Kurnia, menurut Tom Wolfe, Jurnalisme sastrawi atau jurnalisme naratif (Janet Steele lebih sering memakai istilah ini), mempunyai empat hal yang membedakannya dari jurnalisme konvensional, 1. Memakai konstruksi adegan per adegan. 2. Pencatatan dialog secara utuh. 3. Pemakaian sudut pandang orang ketiga. 4. Catatan yang rinci terhadap gerak tubuh, kebiasaan, dan pelbagai symbol dari status kehidupan tokoh dalam cerita.

Genre ini, mungkin sebagian jurnalis melihatnya dengan penuh pesimisme namun bagi saya yang walaupun hanya mempelajarinya selama dua minggu, ini adalah The Real Journalism.

Satu pesan yang paling saya ingat dari kursus ini adalah pesan Janet dan Andreas, "Temukan gaya kalian sendiri dalam menulis".