Friday, September 15, 2006

Dari Manumutin, Tubaki ke Soro-Webua

Tiga kali berpindah tempat karena alam dan ulah manusia tak menyurutkan semangat mereka dalam menggapai sebuah solusi yang layak dan bertahan bagi masa depan mereka dan anak-cucu

Olkes Dadi Lado

Sebuah plang sederhana berwarna putih dari tripleks dan kayu terpampang di mulut sebuah jalan tanah sebelah kanan arah Wemasa. Di situ tertulis “Antonio Cardoso”, “RT 04/ RW 01 dusun Webua 150 m” dengan gambar anak panah warna hitam. Di ujung kanan bawah tertulis “tamu harap lapor 1 x 24 jam”. Ini tanda penunjuk ke lokasi pemukiman mandiri Soro Webua.
Dari Betun ke lokasi ini hanya membutuhkan 15 – 20 menit perjalanan menggunakan ojek maupun bemo (angkutan kota).

Kamis (10/8), sekitar jam sepuluh, saya dan Ken, staf Food security Oxfam GB memasuki jalan itu. Ini kali pertama saya mengunjunginya.
Sekitar 50 meter sebelum memasuki pemukiman, terdapat galian saluran dengan kedalaman sekitar 1-2 meter di samping kiri dan kanan jalan.
“Ini rencana saluran irigasi yang baru”, ujar Ken.
Beberapa lelaki sibuk mengangkut tanah bekas galian dari dalam saluran, sebagian lagi sibuk merapikan dinding saluran. Debu beterbangan memenuhi udara sekitarnya.

Atap seng rumah-rumah milik warga baru sudah kelihatan, sekitar seratus meter lagi.
Rumah-rumah di pemukiman baru yang dihuni 64 keluarga warga baru eks Timor Timur ini sederhana bahkan terkesan masih darurat, rata-rata atapnya dari seng bekas, ada yang masih memakai tambahan terpal , dindingnya dari bebak (pelepah gebang-red), ada juga dari belahan bambu, tak berpondasi. Namun tata letaknya cukup teratur.

Ince, staf lapangan Oxfam GB lainnya yang mendampingi kelompok ini sejak masih di kamp, sudah menunggu di depan pintu masuk, sedang berbincang-bincang dengan sekelompok pemuda. Di depan mereka, di belakang sebuah rumah, samping kanan jalan masuk kompleks itu, sekelompok lelaki dan dua orang perempuan setengah baya sibuk membangun sebuah kamar mandi.
Setelah bertegur sapa dengan mereka, Ince membawa kami memasuki kompleks lebih dalam lagi.

Di kiri kanan jalan kompleks yang berdebu itu berdiri rumah-rumah dengan bermacam-macam ukuran, tergantung kemampuan dan bahan yang dipunyai pemiliknya.
Di tengah-tengah kompleks terdapat sebuah tanah yang sengaja dibiarkan kosong, sebuah sumur permanen tepat di sebelah kiri tak jauh dari sumur itu sekitar empat meter terdapat sebuah WC, di sebelah utara berdiri sebuah pondok tanpa dinding beratap daun gebang.

Kami memasuki sebuah rumah di selatan tanah kosong itu. Rumah milik Manuel Da Silva.
Manuel demikian nama panggilannya, siang itu hanya bercelana pendek tak berbaju, tersenyum ramah menyambut kami. Rumahnya terbilang kecil untuk ditempati sebuah keluarga. Berdinding bebak seperti rata-rata rumah lainnya. Bagian depan rumahnya terdapat sebuah dipan bambu, di sampingnya dekat pintu masuk terdapat sebuah rangka lemari kayu, “Saya rencana untuk tempat taro piring ka gelas dong”, kata Manuel. Ia berusia 36 tahun, sudah mempunyai empat orang anak. “Dua orang su meninggal, sisa dua sa”, lanjutnya pelan.
Dong pung mama ada pi kebun jadi saya yang jaga dong di rumah”, sambil mengelus kepala anaknya.
Saya teringat kisah di Asuulun. Tanpa belajar teori gender, mereka mampu untuk membagi peran dalam keluarga, ketika sang isteri pergi bekerja ke kebun, sang suami akan mengambil peran "domestik" seperti menjaga rumah dan mengurus anak.

“Kami pindah ke sini itu pada September tahun 2005, waktu itu Oxfam yang bantu kasi pindah”, katanya.
Terhitung kurang sebulan lagi komunitas ini akan merayakan ulang tahun pertama mereka di lokasi baru, hampir setahun sudah pemukiman mandiri Soro Webua hadir di desa Lakekun Barat.
Sebelum pindah, menurut Manuel, mereka terlebih dahulu mempersiapkan lokasi. Persiapan lokasi yang mereka lakukan antara lain pembersihan lahan, membagi kapling untuk setiap keluarga calon penghuni dan membangun rumah-rumah sementara, “Ami halo uluk uma ho ke’e sumur, hetan be mak ami mos pindah mai”, lanjutnya dalam bahasa tetun. (Terlebih dahulu kami bangun rumah dan menggali sumur, setelah dapat air barulah kami pindah kemari--red). Ia mengatakan bahwa kebutuhan air sangat penting karena itulah mereka mendahulukan kehadiran sumur di lokasi ini sebelum pindah, “Waktu itu Romo Sipri yang bantu cari titik airnya”. Ia mengangkat sang anak ke pangkuannya untuk menenangkan anaknya yang mulai merengek.
Sekalipun baru pertama kali ke lokasi ini, namun cerita komunitas warga baru ini sudah tidak asing lagi bagi saya.

***
Pada awal Juni tahun lalu, saya pernah mengunjungi komunitas ini ditemani Frans Panthur,kepala staf lapangan Oxfam GB. Waktu itu mereka masih tinggal di kamp Tubaki-Kamanasa.
Mereka mempunyai cerita kehidupan yang panjang dan berliku, Soro Webua merupakan tempat tinggal mereka yang ketiga selama masa pengungsian mereka di Timor Barat.
Bruno de Araujo ketua kamp Tubaki B1 pada waktu itu kepada saya, saat ditemui di rumahnya pada tanggal 10 Juni setahun yang lalu, mengatakan “ Awal kami datang itu di desa Manumutin sana, nah kemudian karena banjir tepatnya 16 Mei 2000, baru pindah ke Tubaki sini ”.
Letak tempat tinggal kedua ini tepat di lereng bukit hutan Kateri sekitar satu kilometer sebelum kota Betun. Kemiringan tanah ciri khas lereng bukit dengan kandungan batuan yang tinggi membuat mereka harus bekerja keras meratakannya agar bisa dibangun rumah di atasnya. “Waktu kita datang itu baru kita guling ini batu dong ini sehingga bisa dapat tempat yang agak rata untuk bangun rumah di situ”, lanjut Bruno, saat itu di rumahnya sedang sibuk mempersiapkan acara tabur bunga buat mendiang anaknya.

Lokasi itupun tak lama mereka tempati. Jika lokasi pertama mereka tinggalkan karena faktor alam, yakni bencana banjir bandang, maka lokasi kedua mereka di Tubaki ditinggalkan karena faktor manusia. Belum lama mereka menempati kamp Tubaki B1, B2 dan B3, pada tahun 2002 bertepatan dengan momen pemilu waktu itu, mereka sudah diminta keluar oleh pemilik lahan yang baru dengan alasan lahan tersebut akan diolah.
Dari Ainaro di Timor Timur, mengungsi karena konflik akibat ulah manusia, mereka ke Manumutin, karena ulah alam, mereka pindah lagi ke Tubaki, kembali mereka harus angkat kaki dari Tubaki karena diusir.

Mariano Felix, tokoh masyarakat dari kumpulan kamp di wilayah Tubaki, saat saya dan Frans temui di rumahnya di lokasi trans Kamanasa, ia sedang menikmati segarnya hembusan angin siang sambil menatap hijaunya hamparan padi dan rumput di areal persawahan di bawah naungan pohon mangga di belakang rumahnya, mengatakan pengusiran itu bukan dilakukan oleh pemilik tanah yang lama yang menerima mereka pada tahun 2000 yang biasa dipanggil dengan sebutan Bei Mali, namun oleh pemiliknya yang baru. Rupanya tanah itu sudah dijual oleh Bei Mali.
“Termasuk saya juga diminta keluar. Saat itu saya lagi sibuk karena terlibat dalam KPPS setempat saat pemilu lalu, sehingga saya bilang ke dia bahwa kalau begitu silahkan kamu gantikan saya karena saat ini saya sedang bertugas untuk Pemilu sedangkan saya diminta untuk keluar dalam waktu seminggu, sehingga saya bilang ke dia kasi saya waktu sebulan lagi setelah selesai Pemilu saya akan keluar”, jelasnya.

Kondisi inilah kemudian mendorong mereka untuk melakukan pertemuan komunitas guna mencari jalan keluarnya. Hasilnya seluruh komunitas bersepakat untuk mencari tanah sendiri.

Proses pencarian lahan baru bukan hal yang mudah untuk dilakukan, menurut laporan yang ada, sejak inisiatif ini keluar, sudah enam lokasi yang dinegosiasikan namun selalu gagal. Entah itu karena ketidak cocokan lokasi dengan keinginan komunitas maupun karena harga lahannya.
“Akhirnya kami dapat yang satu hektar ini, pemiliknya itu bernama Simon Bere”, kata Felix Mariano.
Sesungguhnya komunitas di kamp Tubaki B1 hingga B3 berhasil mendapatkan dua bidang, selain di Soro Webua, lahan lainnya berada di Aimalae tak jauh dari lokasi pertama.

Dari lahan seluas satu hektar di Soro Webua itu, setiap keluarga mendapat lahan seluas 9x16 meter persegi.
Lahan yang didapat juga bersertifikat sehingga mempunyai status hukum yang kuat, Felix Mariano saat itu (10/6/2005) juga menunjukan kepada saya dan Frans sertifikatnya yang diterbitkan pada tahun 1982.

Setelah semua urusan legalitas lahan selesai dilakukan, tak ketinggalan persiapan lokasinya,
Pada September 2005, dengan dukungan trasportasi dari Oxfam GB, komunitas eks pengungsi di kamp Tubaki B1, B2 dan B3 pindah ke Soro Webua (64 KK) dan Aimalae (20 KK).
Di Soro Webua, mereka masuk menjadi warga baru desa Lakekun Barat kecamatan Kobalima kabupaten Belu.

***
Di lokasi baru Soro Webua inilah, Keluarga Manuel Da Silva bersama keluarga lainnya tinggal hingga saat ini.
Umumnya sebuah pemukiman, kehadiran penghuninya berakibat pada munculnya kebutuhan sarana dan pra sarana pendukung. Komunitas sudah mengupayakan secara mandiri lahannya, rumahpun dibangun menggunakan bahan bekas dari kamp, bahkan komunitas secara swadaya telah menggali sebuah sumur.

Pertanyaannya, apakah semua itu cukup untuk menghadirkan sebuah solusi yang layak bagi mereka?

64 keluarga bukan sebuah jumlah yang kecil, jumlah mereka sudah bisa menghadirkan sebuah RT baru di dusun Webua desa Lakekun Barat.
Kebutuhan akan sarana Mandi Cuci dan Kakus (MCK) sangat dibutuhkan keluarga-keluarga baru ini. Manuel mengatakan salah satu kesulitan yang dihadapi pada awal kedatangan mereka di Soro Webua adalah ketiadaan sarana MCK.
“Akhirnya ami ida-ida iha ailaran deit”, katanya tersipu malu. (ami ida-ida iha ailaran dei = masing-masing ke hutan)
Karena tak tahan melihat mimik wajahnya, sayapun tertawa, Ken yang duduk tepat di belakang saya tertawa terbahak-bahak, senyuman Manuel berubah tertawa, membayangkan masa-masa sulit saat itu, panasnya udara siang itu hilang sejenak berganti keceriaan canda kami.

Dua bulan setelah pindah, Oxfam GB, sebuah LSM Internasional asal Inggeris yang melayani di wilayah Betun dan Kobalima Kabupaten Belu dengan dukungan dana dari Uni Eropa, mulai melakukan intervensi dengan kegiatan promosi kesehatan umum dan pembangunan WC serta memperbaiki sumur yang ada.
“Ada 22 unit WC di sini dan satu sumur”, kata Manuel.
Kamar mandinya tak ada karena tak disetujui komunitas untuk dibangun karena alasan sempitnya lahan.
Menurut Manuel, sekalipun hanya satu sumur namun bisa memenuhi kebutuhan air bersih warga baru karena debitnya besar, “Kalo pas musim hujan kita timba pake tangan saja, tidak usah pake tali”.

Beberapa warga dipilih secara bersama untuk menjadi Relawan Penyuluh Kesehatan Masyarakat (RPKM) dan komite air, ini merupakan bagian dari kegiatan promosi kesehatan.
Mereka dibekali dengan pengetahuan dasar tentang penyebaran penyakit dan pencegahannya juga kegiatan-kegiatan lain yang menunjang bagi peningkatan hidup sehat masyarakat.

Manuel selain mengurus rumah tangganya, juga membantu mengawasi dan merawat sarana MCK yang ada, “Kadang kalo yang lain sibuk pi kebun dan tidak sempat kasi bersih saluran ka wc, pasti saya pi kasi bersih”.
Ia mengakui cukup merasakan perbedaan ketika masih tinggal di kamp, “Kalo dulu di kamp kami juga punya wc tapi darurat saja dan jumlahnya sedikit jadi kadang kami harus pi hutan di atas bukit. Sekarang, di sini kami bisa pake wc karena jumlahnya cukup”. Satu WC di pakai bersama oleh tiga keluarga.

Perbedaan ini juga diakui beberapa RPKM lain yang saya temui beberapa saat sesudah dari rumah Manuel.
Di bawah naungan tenda bekas bantuan UNHCR yang masih layak pakai yang oleh pemiliknya dipasang di depan rumah sebagai tempat beristirahat saat penat atau tempat bercengkerama warga -setidaknya menurut pikir saya saat itu-, kami berdiskusi.
Ada mama Flamina Fernandes (32), Rosantina Pareira Dos Santos dan Marcia Dos Reis Soares juga Daniel David Da Silva (23).
Mereka mengakui adanya perbedaan itu, namun itu saja belum cukup karena sampai saat ini meskipun telah melakukan kegiatan promosi kesehatan namun masih ada warga yang belum betul-betul sadar akan pentingnya hidup sehat.
Kami berdiskusi banyak hal, mereka juga menyinggung soal gizi anak, sekalipun setiap bulan diadakan posyandu di pemukiman ini namun belum begitu nampak perubahan pada tingkat gizi bayi maupun balita.
“Kalo pas posyandu kita timbang anak dong di situ kita isi di KMS (Kartu Menuju Sehat), nah di KMS ini kadang naik kadang turun, jadi tidak tetap begitu”. Kata mama Flamina.
“Menurut mama, kenapa jadi begitu?” Tanya saya.
“Saya juga kurang tahu e pak kenapa ko dia bulan ini baik abis bulan berikut turun lagi”, jawabnya, bingung menghadapi masalah itu.
“Jangan sampai makanannya kurang?”
“Kalo makanan biasa sa kalo tidak ada beras ya makan jagung, biar sedikit pasti ada saja”, bantahnya lagi
“Mungkin karena orang tua dong kurang perhatikan”, sambung Rosantina dari sebelahnya, sejak tadi ia hanya diam.
“Iya pak, kadang orang tua dong hanya mau perhatikan diri mereka sendiri na”, celetuk Daniel sinis.
Menurut Daniel, faktor perhatian dan pengawasan dari orang tua juga turut menyumbang bagi peningkatan gizi anak.
Mereka mengakui bahwa masa awal berada di Soro Webua, komunitas cukup kesulitan dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan. Menurut saya, cukup wajar mengingat saat itu mereka baru saja pindah dan masuk ke lokasi yang sama sekali baru.

Saat ini, untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, Manuel dan warga lainnya masih tetap menggarap lahan di kebun lama mereka semasa di kamp dulu.
Agora ami sei halo to’os iha estadu nian rain, iha perbatasan Kateri”, ujar Manuel. (Agora ami sei halo to’os iha estadu nian rain, iha = sekaranng kami masih kerja kebun di tanah pemerintah, di perbatasan Kateri).
Ia sadar bahwa lokasi itu sudah dilarang untuk dijadikan lahan pertanian, namun tuntutan kebutuhan akan pangan keluarga memaksanya untuk tetap melakukan hal itu, ”Ne’e bodik moris”. (Ne’e bodik moris = ini untuk hidup)
Tanamannya beragam, mulai dari jagung hingga sayuran seperti pare. Hasilnya, menurut Manuel hanya untuk kebutuhan makan keluarga, kecuali panennya bagus barulah dijual sebagian.
Komunitas ini juga mendapat dukungan program ketahanan pangan dari Oxfam berupa bibit pertanian dan peternakan. Daniel salah satu penerima bantuan pertanian dari 18 keluarga sasaran.
Kebunnya di sebelah barat, tak jauh dari kompleks sebanyak 22 bedeng dengan panjang sekitar dua meter setiap bedengnya, yang ia tanami dengan lombok, namun belum panen. Lahan tersebut adalah milik warga lama (asli setempat) yang dikontrak oleh kelompok pertanian selama dua tahun, ”Tapi tanpa bayar atau bagi hasil. Pemiliknya bilang pake saja dulu selama dua tahun”, kata Daniel yang semasa di kamp dulu mengaku tak mempunyai kebun. Siang itu berpakaian serba hijau ala tentara.
Mereka mulai mengerjakan lahan itu sejak April. Tiap anggota kelompok mendapat dukungan bibit yang beragam tergantung keinginan mereka, ada terung, tomat, lombok dan pare.

Sedangkan mayoritas warga lainnya, lebih memilih untuk beternak kambing. ”Kemarin (9/8) kami baru dibagikan kambing oleh Oxfam. Itu baru sebagian, katanya akan ada lagi ”, kata Manuel sebelumnya saat bertemu di rumahnya.
Seikat daun lamtoro digantungnya di tiang penyangga tanaman markisa di halaman depan. ”Kandangnya sudah kami buat tapi sudah rusak lagi, jadi rencananya hari minggu nanti baru kami gotong royong untuk perbaiki”, jelasnya lanjut saat saya tanyakan mengapa kambingnya tidak dikandangkan. Terdapat 53 keluarga yang menerima bantuan serupa Manuel.
Perjuangan komunitas ini untuk menggapai sebuah solusi yang layak dan bertahan, mulai menampakan titik cerah.
Perjuangan ini tidak bisa mereka lakukan sendiri, mereka juga membutuhkan dukungan pelengkap bagi modal dasar yang ada pada komunitas, modal tekad dan semangat kemandirian.
Titik cerah solusi layak di Soro Webua juga tak lepas dari dukungan pemerintah lokal, Flamina Fernandes dan teman-teman RPKM-nya, sudah tiga bulan terakhir menjadi kader kesehatan tingkat desa. Manuel juga mengaku bahwa bantuan beras untuk masyarakat miskin-pun telah mereka terima termasuk bantuan langsung tunai kompensasi BBM (BLT BBM).
Hubungan antara warga lama dan warga baru semakin hari semakin baik, menurut Manuel. ”Sore-sore begitu, biasanya dong datang main-main ke sin. Kalo ada main voli di sini atau di sana, kami main sama-sama.” contohnya.
Guna mendukung hubungan yang sudah terjalin ini, keluarga terseleksi dari warga lama sebanyak 25 keluarga juga menerima bantuan bibit peternakan.

Jelang perayaan kemerdekaan Republik tercinta ini, komunitas warga baru Soro Webua-pun tak mau ketinggalan. Tak ada kegiatan akbar yang disiapkan, hanya melakukan penataan pemukiman baru mereka. Sederhana, tak membutuhkan biaya banyak namun bermakna dan berarti bagi mereka. Kehadiran mereka di tempat ini merupakan bukti cinta mereka

Olkes, Frans, Ken dan Ince.