Friday, September 15, 2006

9/9/99

Renungan seorang relawan saat pagi menjelang di hari ulang tahun CIS Timor

Olkes Dadi Lado

Jarum jam sudah menunjukan angka 12 lewat, tersisa sembilan menit lagi sudah pukul satu dini hari. Pertanda sudah hampir sejam lamanya hari berganti, jumad berganti sabtu. Tanggal delapan ke sembilan.
Teman-teman sudah tertidur, tersisa saya, entah kenapa belum bisa menutup mata sejak tadi.
Hati saya gelisah. Memang ada ganjalan di hati tapi itu sangat personal dan tak layak di ceritakan di sini.
Bunyi kokok ayam jantan terdengar samar. Di luar sunyi.
Sesekali terdengar lolongan anjing di kejauhan pertanda si anjing ingin kawin.
Ditemani segelas teh panas dan sebungkus rokok LA light, saya masih terus terjaga.

Hari ini (9/9), CIS berusia tujuh tahun.
CIS Timor adalah adalah sebuah lembaga perkumpulan relawan yang bermarkas di Timor Barat.
Pada saat yang sama tujuh tahun yang lalu, di jalan pendidikan II no 2 Kota Baru, beberapa aktivis dari GMKI cabang Kupang dan GAMKI DPD I NTT berkumpul dan mendeklarasikan berdirinya sebuah organisasi dengan nama posko relawan CIS GAMKI-GMKI NTT.
Nama CIS adalah akronim dari Center for Internaly Displaced People’s Service. Nama ini diberikan oleh ibu Stien Djalil, seorang pengurus PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia).
Berganti nama menjadi CIS Timor kemudian, saat pengurusan status legalnya pada 2004 lalu.
CIS hadir karena kepedulian akan kondisi pengungsian yang terjadi akibat konflik pasca jajak pendapat di Timor Timur 1999 lalu.

Dalam kesendirian dengan iringan lagu "Ku tak Bisa Jauh" milik Slank dari winamp komputer, saya kembali mengingat kenangan bersama CIS.

Kumpulan anak-anak muda yang umumnya adalah aktivis GMKI dan GAMKI, kebanyakan mahasiswa ada juga yang sudah selesai bahkan ada yang barusan tamat SMA, pada waktu itu hanya bergerak dengan sumber daya terbatas, mereka tergerak untuk menolong pengungsi Timor Timur dengan apa yang ada pada mereka.
Hampir pasti pada saat itu, hanya tenaga dan semangat yang menjadi modal dasar.

Pada akhir 1999, dengan difasilitasi CD Bethesda Yogyakarta dan Church World Service. Mereka diberikan pelatihan bagaimana menjadi seorang relawan yang baik dalam workshop for volunteers.
Sebutan relawan-pun disandang oleh mereka. Saat itu jumlah relawan sekitar 40-an orang.
Sejak itu CIS mulai menata dirinya
Dengan donasi kecil dari CD Bethesda, juga dari CWS bahkan ada juga dari dewan Gereja Australia, mereka mulai melakukan pelayanan.
Mulai dari sekedar menjadi teman cerita para pengungsi di kamp Noelbaki, Tuapukan, Naibonat juga kamp-kamp dalam kota Kupang seperti GOR, Koni sampai ke Batakte di Kupang Barat.
Hingga membantu tim dokter CD Bethesda melakukan pelayanan kesehatan dan PMT.
Membuka sekolah tenda dan juga taman bermain anak.
Sampai hal-hal yang menyerempet bahaya, yakni mengumpulkan informasi tentang pelanggaran HAM dari para milisi.

CIS bukan hanya terlibat dalam isu pengungsi Timor Timur semata. Pada periode pertengahan 2000, CIS juga turut membantu penanganan korban bencana banjir dan longsor di seluruh kabupaten TTS, sebagian Belu dan Kupang dengan dukungan dari CWS dan Yayasan Selamat Pagi dari Yogyakarta

Kini CIS bisa dikatakan sudah cukup mapan sebagai sebuah lembaga lokal. Sejak lepas dari US Aid pada periode 2001-2002, CIS kemudian menjadi mitra kerja Oxfam GB sejak 2003 hingga sekarang. Sudah dua funding ECHO pada 2003-2004 dan Uni Eropa, 2005 hingga sekarang.

Sejalan dengan itu, model kerja CIS pun mulai berubah. Dari sekedar sebuah kerja bakti pada awal kelahirannya, sekarang sudah mengarah pada community development.
Dari sekedar memberi informasi, mendorong pengambilan keputusan hingga memfasilitasi tindakan dan realisasi atas keputusan komunitas dampingnya.
Masih tetap pada komitmen kediriannya, hingga saat ini CIS masih memberikan perhatian utama pada isu penyelesaian masalah pengungsi di Timor Barat.

Secara kelembagaanpun CIS sudah menjadi lebih baik, mulai dari pembenahan manajemen organisasi, perumusan visi, misi hingga penetapan rencana strategis.
Pengembangan jaringan kerjapun sudah semakin luas.
Bahkan dengan pemerintah sekalipun dalam perspektif pemerintah sebagai partner dengan tetap menjaga jarak kritis, CIS menjalin suatu hubungan yang sinergis.

Perjalanan CIS hingga tahap ini, juga tak lepas dari onak dan duri. Mulai dari konflik internal antara para pendirinya tentang status CIS, masalah pendanaan operasional organisasi ketika tak ada funding hingga konflik antar person di dalamnya.
Relawan CIS-pun sesuai hukum alam, tak semuanya bertahan, ada yang pergi, ada yang pula yang datang.
Saat ini relawan CIS mendekati angka 60.
CIS pernah mengalami masa sulit selama hampir setahun lamanya.
Tanpa funding pada akhir pertengahan 2000 hingga pertengahan 2001, CIS bergerak dengan dukungan dana seadanya dari para pendiri yang masih komit, ada Early Laukoli yang memberikan rumahnya dengan rela untuk dijadikan posko, ada David Radja yang selalu setia memberikan dukungan, Emy Nomleni, Alex Yakob dan masih banyak lainnya, tak kalah penting kesetiaan relawan-relawannya. Juga dukungan dari kedua lembaga pendiri.
CIS juga pernah mendapat caci maki, hujatan, cemooh, bahkan mungkin sumpah serapah dari mitra, relawannya sendiri, juga komunitas dampingannya, mungkin juga dari orang tua relawan karena anaknya lebih banyak menghabiskan waktu untuk CIS.

Suka, duka, cerita sukses dan pengalaman pahit di CIS mengajarkan banyak hal buat relawan-relawannya. CIS turut membentuk diri saya.
Hampir sejam sudah saya merenung dan menulis tentang perasaan dan ingatan akan CIS selama kurun waktu tujuh tahun ini. Serasa tak cukup menuliskan semua yang pernah saya alami bersama CIS, sekalipun baru tujuh tahun kebersamaan itu.

Tujuh tahun, bukan sebuah usia yang matang, CIS masih harus bertumbuh dan terus mengembangkan dirinya.
Masih banyak yang harus dibenahi. Masih banyak mimpi yang perlu diraih.
Ada mimpi kemandirian CIS, ada mimpi CIS untuk melayani lebih banyak orang, ada mimpi CIS juga melayani di luar Timor Barat, ada mimpi akan hadirnya sebuah keadilan dan kesetaraan gender, ada mimpi akan hadirnya sebuah komunitas yang menghargai keberagaman dan HAM dan masih banyak mimpi lainnya.
Semoga saat ini dalam tidurnya, semua relawan CIS sedang mengejar mimpi yang sama. Winston Rondo, koordinator relawan pernah mengatakan "Sebuah mimpi akan cepat menjadi kenyataan kalau impian itu diimpikan bersama".

Alunan syair lagu "Bunda" Melly Goeslaw dari winamp komputer terdengar menyejukan hati saya saat pagi menjelang di posko Atambua. Membantu saya mengingat masa-masa ketika CIS turut membentuk saya. Mata ini masih sulit terpejam.
Tiiit…..tiiit….bunyi sms masuk di hp usang bermerek nokia milik saya, mengusik lamunan.
Ternyata sms dari Frits Lake, seorang relawan CIS di Kupang, ia menulis sebuah pesan pendek,
"Satu alasan mengapa Allah menciptakan waktu adalah agar kita punya tempat untuk menguburkan kegagalan-kegagalan dan masa lalu dan menemukan kesempatan di masa sekarang untuk dapat lebih maju. Dirgahayu CIS Timor".
Ternyata bukan saya saja relawan CIS Timor yang masih terjaga menjelang pagi di hari yang spesial ini.
Hampir jam tiga subuh, suasana sekitar posko masih sepi, dengkuran-dengkuran halus teman-teman lirih terdengar.
Dalam tidur mereka, saya yakin kami semua mempunyai keinginan yang sama, keinginan akan masa depan CIS yang lebih baik dari hari kemarin dan hari ini dengan tetap menjaga semangat kerelawanan yang menjadi ciri dan identitas CIS itu sendiri.

Dalam hati, saya bersyukur dan memohon penyertaan dari Tuhan agar dalam pertumbuhannya CIS selalu menjadikan kasih sebagai dasar dalam setiap langkahnya.
Selamat Ulang Tahun CIS Timor

Terima kasih buat semua relawan CIS Timor dan semua orang yang pernah dan tetap peduli dengan CIS Timor yang tidak bisa disebutkan satu per satu
Juga buat semua komunitas dampingan yang turut membesarkan CIS Timor hingga saat ini.



Dari Manumutin, Tubaki ke Soro-Webua

Tiga kali berpindah tempat karena alam dan ulah manusia tak menyurutkan semangat mereka dalam menggapai sebuah solusi yang layak dan bertahan bagi masa depan mereka dan anak-cucu

Olkes Dadi Lado

Sebuah plang sederhana berwarna putih dari tripleks dan kayu terpampang di mulut sebuah jalan tanah sebelah kanan arah Wemasa. Di situ tertulis “Antonio Cardoso”, “RT 04/ RW 01 dusun Webua 150 m” dengan gambar anak panah warna hitam. Di ujung kanan bawah tertulis “tamu harap lapor 1 x 24 jam”. Ini tanda penunjuk ke lokasi pemukiman mandiri Soro Webua.
Dari Betun ke lokasi ini hanya membutuhkan 15 – 20 menit perjalanan menggunakan ojek maupun bemo (angkutan kota).

Kamis (10/8), sekitar jam sepuluh, saya dan Ken, staf Food security Oxfam GB memasuki jalan itu. Ini kali pertama saya mengunjunginya.
Sekitar 50 meter sebelum memasuki pemukiman, terdapat galian saluran dengan kedalaman sekitar 1-2 meter di samping kiri dan kanan jalan.
“Ini rencana saluran irigasi yang baru”, ujar Ken.
Beberapa lelaki sibuk mengangkut tanah bekas galian dari dalam saluran, sebagian lagi sibuk merapikan dinding saluran. Debu beterbangan memenuhi udara sekitarnya.

Atap seng rumah-rumah milik warga baru sudah kelihatan, sekitar seratus meter lagi.
Rumah-rumah di pemukiman baru yang dihuni 64 keluarga warga baru eks Timor Timur ini sederhana bahkan terkesan masih darurat, rata-rata atapnya dari seng bekas, ada yang masih memakai tambahan terpal , dindingnya dari bebak (pelepah gebang-red), ada juga dari belahan bambu, tak berpondasi. Namun tata letaknya cukup teratur.

Ince, staf lapangan Oxfam GB lainnya yang mendampingi kelompok ini sejak masih di kamp, sudah menunggu di depan pintu masuk, sedang berbincang-bincang dengan sekelompok pemuda. Di depan mereka, di belakang sebuah rumah, samping kanan jalan masuk kompleks itu, sekelompok lelaki dan dua orang perempuan setengah baya sibuk membangun sebuah kamar mandi.
Setelah bertegur sapa dengan mereka, Ince membawa kami memasuki kompleks lebih dalam lagi.

Di kiri kanan jalan kompleks yang berdebu itu berdiri rumah-rumah dengan bermacam-macam ukuran, tergantung kemampuan dan bahan yang dipunyai pemiliknya.
Di tengah-tengah kompleks terdapat sebuah tanah yang sengaja dibiarkan kosong, sebuah sumur permanen tepat di sebelah kiri tak jauh dari sumur itu sekitar empat meter terdapat sebuah WC, di sebelah utara berdiri sebuah pondok tanpa dinding beratap daun gebang.

Kami memasuki sebuah rumah di selatan tanah kosong itu. Rumah milik Manuel Da Silva.
Manuel demikian nama panggilannya, siang itu hanya bercelana pendek tak berbaju, tersenyum ramah menyambut kami. Rumahnya terbilang kecil untuk ditempati sebuah keluarga. Berdinding bebak seperti rata-rata rumah lainnya. Bagian depan rumahnya terdapat sebuah dipan bambu, di sampingnya dekat pintu masuk terdapat sebuah rangka lemari kayu, “Saya rencana untuk tempat taro piring ka gelas dong”, kata Manuel. Ia berusia 36 tahun, sudah mempunyai empat orang anak. “Dua orang su meninggal, sisa dua sa”, lanjutnya pelan.
Dong pung mama ada pi kebun jadi saya yang jaga dong di rumah”, sambil mengelus kepala anaknya.
Saya teringat kisah di Asuulun. Tanpa belajar teori gender, mereka mampu untuk membagi peran dalam keluarga, ketika sang isteri pergi bekerja ke kebun, sang suami akan mengambil peran "domestik" seperti menjaga rumah dan mengurus anak.

“Kami pindah ke sini itu pada September tahun 2005, waktu itu Oxfam yang bantu kasi pindah”, katanya.
Terhitung kurang sebulan lagi komunitas ini akan merayakan ulang tahun pertama mereka di lokasi baru, hampir setahun sudah pemukiman mandiri Soro Webua hadir di desa Lakekun Barat.
Sebelum pindah, menurut Manuel, mereka terlebih dahulu mempersiapkan lokasi. Persiapan lokasi yang mereka lakukan antara lain pembersihan lahan, membagi kapling untuk setiap keluarga calon penghuni dan membangun rumah-rumah sementara, “Ami halo uluk uma ho ke’e sumur, hetan be mak ami mos pindah mai”, lanjutnya dalam bahasa tetun. (Terlebih dahulu kami bangun rumah dan menggali sumur, setelah dapat air barulah kami pindah kemari--red). Ia mengatakan bahwa kebutuhan air sangat penting karena itulah mereka mendahulukan kehadiran sumur di lokasi ini sebelum pindah, “Waktu itu Romo Sipri yang bantu cari titik airnya”. Ia mengangkat sang anak ke pangkuannya untuk menenangkan anaknya yang mulai merengek.
Sekalipun baru pertama kali ke lokasi ini, namun cerita komunitas warga baru ini sudah tidak asing lagi bagi saya.

***
Pada awal Juni tahun lalu, saya pernah mengunjungi komunitas ini ditemani Frans Panthur,kepala staf lapangan Oxfam GB. Waktu itu mereka masih tinggal di kamp Tubaki-Kamanasa.
Mereka mempunyai cerita kehidupan yang panjang dan berliku, Soro Webua merupakan tempat tinggal mereka yang ketiga selama masa pengungsian mereka di Timor Barat.
Bruno de Araujo ketua kamp Tubaki B1 pada waktu itu kepada saya, saat ditemui di rumahnya pada tanggal 10 Juni setahun yang lalu, mengatakan “ Awal kami datang itu di desa Manumutin sana, nah kemudian karena banjir tepatnya 16 Mei 2000, baru pindah ke Tubaki sini ”.
Letak tempat tinggal kedua ini tepat di lereng bukit hutan Kateri sekitar satu kilometer sebelum kota Betun. Kemiringan tanah ciri khas lereng bukit dengan kandungan batuan yang tinggi membuat mereka harus bekerja keras meratakannya agar bisa dibangun rumah di atasnya. “Waktu kita datang itu baru kita guling ini batu dong ini sehingga bisa dapat tempat yang agak rata untuk bangun rumah di situ”, lanjut Bruno, saat itu di rumahnya sedang sibuk mempersiapkan acara tabur bunga buat mendiang anaknya.

Lokasi itupun tak lama mereka tempati. Jika lokasi pertama mereka tinggalkan karena faktor alam, yakni bencana banjir bandang, maka lokasi kedua mereka di Tubaki ditinggalkan karena faktor manusia. Belum lama mereka menempati kamp Tubaki B1, B2 dan B3, pada tahun 2002 bertepatan dengan momen pemilu waktu itu, mereka sudah diminta keluar oleh pemilik lahan yang baru dengan alasan lahan tersebut akan diolah.
Dari Ainaro di Timor Timur, mengungsi karena konflik akibat ulah manusia, mereka ke Manumutin, karena ulah alam, mereka pindah lagi ke Tubaki, kembali mereka harus angkat kaki dari Tubaki karena diusir.

Mariano Felix, tokoh masyarakat dari kumpulan kamp di wilayah Tubaki, saat saya dan Frans temui di rumahnya di lokasi trans Kamanasa, ia sedang menikmati segarnya hembusan angin siang sambil menatap hijaunya hamparan padi dan rumput di areal persawahan di bawah naungan pohon mangga di belakang rumahnya, mengatakan pengusiran itu bukan dilakukan oleh pemilik tanah yang lama yang menerima mereka pada tahun 2000 yang biasa dipanggil dengan sebutan Bei Mali, namun oleh pemiliknya yang baru. Rupanya tanah itu sudah dijual oleh Bei Mali.
“Termasuk saya juga diminta keluar. Saat itu saya lagi sibuk karena terlibat dalam KPPS setempat saat pemilu lalu, sehingga saya bilang ke dia bahwa kalau begitu silahkan kamu gantikan saya karena saat ini saya sedang bertugas untuk Pemilu sedangkan saya diminta untuk keluar dalam waktu seminggu, sehingga saya bilang ke dia kasi saya waktu sebulan lagi setelah selesai Pemilu saya akan keluar”, jelasnya.

Kondisi inilah kemudian mendorong mereka untuk melakukan pertemuan komunitas guna mencari jalan keluarnya. Hasilnya seluruh komunitas bersepakat untuk mencari tanah sendiri.

Proses pencarian lahan baru bukan hal yang mudah untuk dilakukan, menurut laporan yang ada, sejak inisiatif ini keluar, sudah enam lokasi yang dinegosiasikan namun selalu gagal. Entah itu karena ketidak cocokan lokasi dengan keinginan komunitas maupun karena harga lahannya.
“Akhirnya kami dapat yang satu hektar ini, pemiliknya itu bernama Simon Bere”, kata Felix Mariano.
Sesungguhnya komunitas di kamp Tubaki B1 hingga B3 berhasil mendapatkan dua bidang, selain di Soro Webua, lahan lainnya berada di Aimalae tak jauh dari lokasi pertama.

Dari lahan seluas satu hektar di Soro Webua itu, setiap keluarga mendapat lahan seluas 9x16 meter persegi.
Lahan yang didapat juga bersertifikat sehingga mempunyai status hukum yang kuat, Felix Mariano saat itu (10/6/2005) juga menunjukan kepada saya dan Frans sertifikatnya yang diterbitkan pada tahun 1982.

Setelah semua urusan legalitas lahan selesai dilakukan, tak ketinggalan persiapan lokasinya,
Pada September 2005, dengan dukungan trasportasi dari Oxfam GB, komunitas eks pengungsi di kamp Tubaki B1, B2 dan B3 pindah ke Soro Webua (64 KK) dan Aimalae (20 KK).
Di Soro Webua, mereka masuk menjadi warga baru desa Lakekun Barat kecamatan Kobalima kabupaten Belu.

***
Di lokasi baru Soro Webua inilah, Keluarga Manuel Da Silva bersama keluarga lainnya tinggal hingga saat ini.
Umumnya sebuah pemukiman, kehadiran penghuninya berakibat pada munculnya kebutuhan sarana dan pra sarana pendukung. Komunitas sudah mengupayakan secara mandiri lahannya, rumahpun dibangun menggunakan bahan bekas dari kamp, bahkan komunitas secara swadaya telah menggali sebuah sumur.

Pertanyaannya, apakah semua itu cukup untuk menghadirkan sebuah solusi yang layak bagi mereka?

64 keluarga bukan sebuah jumlah yang kecil, jumlah mereka sudah bisa menghadirkan sebuah RT baru di dusun Webua desa Lakekun Barat.
Kebutuhan akan sarana Mandi Cuci dan Kakus (MCK) sangat dibutuhkan keluarga-keluarga baru ini. Manuel mengatakan salah satu kesulitan yang dihadapi pada awal kedatangan mereka di Soro Webua adalah ketiadaan sarana MCK.
“Akhirnya ami ida-ida iha ailaran deit”, katanya tersipu malu. (ami ida-ida iha ailaran dei = masing-masing ke hutan)
Karena tak tahan melihat mimik wajahnya, sayapun tertawa, Ken yang duduk tepat di belakang saya tertawa terbahak-bahak, senyuman Manuel berubah tertawa, membayangkan masa-masa sulit saat itu, panasnya udara siang itu hilang sejenak berganti keceriaan canda kami.

Dua bulan setelah pindah, Oxfam GB, sebuah LSM Internasional asal Inggeris yang melayani di wilayah Betun dan Kobalima Kabupaten Belu dengan dukungan dana dari Uni Eropa, mulai melakukan intervensi dengan kegiatan promosi kesehatan umum dan pembangunan WC serta memperbaiki sumur yang ada.
“Ada 22 unit WC di sini dan satu sumur”, kata Manuel.
Kamar mandinya tak ada karena tak disetujui komunitas untuk dibangun karena alasan sempitnya lahan.
Menurut Manuel, sekalipun hanya satu sumur namun bisa memenuhi kebutuhan air bersih warga baru karena debitnya besar, “Kalo pas musim hujan kita timba pake tangan saja, tidak usah pake tali”.

Beberapa warga dipilih secara bersama untuk menjadi Relawan Penyuluh Kesehatan Masyarakat (RPKM) dan komite air, ini merupakan bagian dari kegiatan promosi kesehatan.
Mereka dibekali dengan pengetahuan dasar tentang penyebaran penyakit dan pencegahannya juga kegiatan-kegiatan lain yang menunjang bagi peningkatan hidup sehat masyarakat.

Manuel selain mengurus rumah tangganya, juga membantu mengawasi dan merawat sarana MCK yang ada, “Kadang kalo yang lain sibuk pi kebun dan tidak sempat kasi bersih saluran ka wc, pasti saya pi kasi bersih”.
Ia mengakui cukup merasakan perbedaan ketika masih tinggal di kamp, “Kalo dulu di kamp kami juga punya wc tapi darurat saja dan jumlahnya sedikit jadi kadang kami harus pi hutan di atas bukit. Sekarang, di sini kami bisa pake wc karena jumlahnya cukup”. Satu WC di pakai bersama oleh tiga keluarga.

Perbedaan ini juga diakui beberapa RPKM lain yang saya temui beberapa saat sesudah dari rumah Manuel.
Di bawah naungan tenda bekas bantuan UNHCR yang masih layak pakai yang oleh pemiliknya dipasang di depan rumah sebagai tempat beristirahat saat penat atau tempat bercengkerama warga -setidaknya menurut pikir saya saat itu-, kami berdiskusi.
Ada mama Flamina Fernandes (32), Rosantina Pareira Dos Santos dan Marcia Dos Reis Soares juga Daniel David Da Silva (23).
Mereka mengakui adanya perbedaan itu, namun itu saja belum cukup karena sampai saat ini meskipun telah melakukan kegiatan promosi kesehatan namun masih ada warga yang belum betul-betul sadar akan pentingnya hidup sehat.
Kami berdiskusi banyak hal, mereka juga menyinggung soal gizi anak, sekalipun setiap bulan diadakan posyandu di pemukiman ini namun belum begitu nampak perubahan pada tingkat gizi bayi maupun balita.
“Kalo pas posyandu kita timbang anak dong di situ kita isi di KMS (Kartu Menuju Sehat), nah di KMS ini kadang naik kadang turun, jadi tidak tetap begitu”. Kata mama Flamina.
“Menurut mama, kenapa jadi begitu?” Tanya saya.
“Saya juga kurang tahu e pak kenapa ko dia bulan ini baik abis bulan berikut turun lagi”, jawabnya, bingung menghadapi masalah itu.
“Jangan sampai makanannya kurang?”
“Kalo makanan biasa sa kalo tidak ada beras ya makan jagung, biar sedikit pasti ada saja”, bantahnya lagi
“Mungkin karena orang tua dong kurang perhatikan”, sambung Rosantina dari sebelahnya, sejak tadi ia hanya diam.
“Iya pak, kadang orang tua dong hanya mau perhatikan diri mereka sendiri na”, celetuk Daniel sinis.
Menurut Daniel, faktor perhatian dan pengawasan dari orang tua juga turut menyumbang bagi peningkatan gizi anak.
Mereka mengakui bahwa masa awal berada di Soro Webua, komunitas cukup kesulitan dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan. Menurut saya, cukup wajar mengingat saat itu mereka baru saja pindah dan masuk ke lokasi yang sama sekali baru.

Saat ini, untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, Manuel dan warga lainnya masih tetap menggarap lahan di kebun lama mereka semasa di kamp dulu.
Agora ami sei halo to’os iha estadu nian rain, iha perbatasan Kateri”, ujar Manuel. (Agora ami sei halo to’os iha estadu nian rain, iha = sekaranng kami masih kerja kebun di tanah pemerintah, di perbatasan Kateri).
Ia sadar bahwa lokasi itu sudah dilarang untuk dijadikan lahan pertanian, namun tuntutan kebutuhan akan pangan keluarga memaksanya untuk tetap melakukan hal itu, ”Ne’e bodik moris”. (Ne’e bodik moris = ini untuk hidup)
Tanamannya beragam, mulai dari jagung hingga sayuran seperti pare. Hasilnya, menurut Manuel hanya untuk kebutuhan makan keluarga, kecuali panennya bagus barulah dijual sebagian.
Komunitas ini juga mendapat dukungan program ketahanan pangan dari Oxfam berupa bibit pertanian dan peternakan. Daniel salah satu penerima bantuan pertanian dari 18 keluarga sasaran.
Kebunnya di sebelah barat, tak jauh dari kompleks sebanyak 22 bedeng dengan panjang sekitar dua meter setiap bedengnya, yang ia tanami dengan lombok, namun belum panen. Lahan tersebut adalah milik warga lama (asli setempat) yang dikontrak oleh kelompok pertanian selama dua tahun, ”Tapi tanpa bayar atau bagi hasil. Pemiliknya bilang pake saja dulu selama dua tahun”, kata Daniel yang semasa di kamp dulu mengaku tak mempunyai kebun. Siang itu berpakaian serba hijau ala tentara.
Mereka mulai mengerjakan lahan itu sejak April. Tiap anggota kelompok mendapat dukungan bibit yang beragam tergantung keinginan mereka, ada terung, tomat, lombok dan pare.

Sedangkan mayoritas warga lainnya, lebih memilih untuk beternak kambing. ”Kemarin (9/8) kami baru dibagikan kambing oleh Oxfam. Itu baru sebagian, katanya akan ada lagi ”, kata Manuel sebelumnya saat bertemu di rumahnya.
Seikat daun lamtoro digantungnya di tiang penyangga tanaman markisa di halaman depan. ”Kandangnya sudah kami buat tapi sudah rusak lagi, jadi rencananya hari minggu nanti baru kami gotong royong untuk perbaiki”, jelasnya lanjut saat saya tanyakan mengapa kambingnya tidak dikandangkan. Terdapat 53 keluarga yang menerima bantuan serupa Manuel.
Perjuangan komunitas ini untuk menggapai sebuah solusi yang layak dan bertahan, mulai menampakan titik cerah.
Perjuangan ini tidak bisa mereka lakukan sendiri, mereka juga membutuhkan dukungan pelengkap bagi modal dasar yang ada pada komunitas, modal tekad dan semangat kemandirian.
Titik cerah solusi layak di Soro Webua juga tak lepas dari dukungan pemerintah lokal, Flamina Fernandes dan teman-teman RPKM-nya, sudah tiga bulan terakhir menjadi kader kesehatan tingkat desa. Manuel juga mengaku bahwa bantuan beras untuk masyarakat miskin-pun telah mereka terima termasuk bantuan langsung tunai kompensasi BBM (BLT BBM).
Hubungan antara warga lama dan warga baru semakin hari semakin baik, menurut Manuel. ”Sore-sore begitu, biasanya dong datang main-main ke sin. Kalo ada main voli di sini atau di sana, kami main sama-sama.” contohnya.
Guna mendukung hubungan yang sudah terjalin ini, keluarga terseleksi dari warga lama sebanyak 25 keluarga juga menerima bantuan bibit peternakan.

Jelang perayaan kemerdekaan Republik tercinta ini, komunitas warga baru Soro Webua-pun tak mau ketinggalan. Tak ada kegiatan akbar yang disiapkan, hanya melakukan penataan pemukiman baru mereka. Sederhana, tak membutuhkan biaya banyak namun bermakna dan berarti bagi mereka. Kehadiran mereka di tempat ini merupakan bukti cinta mereka

Olkes, Frans, Ken dan Ince.

Nikmatnya Kerapu Bakar di Tulakaboak

Jalan-jalan ke Tulakaboak

Olkes Dadi Lado

Cuaca panas mulai terasa menyengat, hembusan angin laut seakan tak mampu mengusirnya.
Dalam sebuah ruangan berukuran 4x2 meter persegi, di rumah milik Agus, berkumpul belasan lelaki dan tiga orang perempuan. Mereka serius menyimak materi yang disampaikan seorang pemuda yang duduk di hadapan mereka.
Mereka adalah anggota kelompok perikanan, kelompok sasaran program food security Oxfam GB dan CIS Timor di UPT Tulakaboak.
Hari ini (13/7), mereka mendapat pelatihan tentang manajemen pembukuan kelompok oleh Lodowyk Huna Koreh, seorang sarjana Perikanan lulusan Undana. Ken nama panggilannya, adalah salah seorang staf Food Security-nya Oxfam GB.

UPT Tulakaboak terletak di utara Teluk Kupang. Perjalanan ke sana selain dengan perahu motor, juga bisa menggunakan alat transportasi darat. Kupang ke Tulakaboak bisa ditempuh selama empat hingga lima jam perjalanan. Jalannya rusak parah, sejak dari cabang Oelmasi. Tak ketinggalan, beberapa jembatan di jalur ini masih terbuat dari kombinasi beton dan kayu, entah sudah berapa usianya.

Di Tulakaboak, terdapat enam kelompok penerima bantuan perikanan dari Oxfam GB dan CIS Timor dengan dukungan dana dari Uni Eropa. Yang hadir dalam pelatihan hari itu adalah para ketua dan bendahara kelompok. Pelatihan kali ini merupakan kelanjutan dari pelatihan manajemen kelompok pada akhir april lalu.
Dalam pengantarnya, Ken mengatakan pelatihan ini diadakan sebagai bentuk penguatan terhadap kelompok yang sudah terbentuk, "Sehingga ke depannya nanti kelompok-kelompok ini bisa lebih mandiri", kata Ken.
Secara khusus, Ken mengharapkan pengetahuan yang didapat bisa membantu kelompok untuk melakukan monitoring terhadap tingkat pendapatan mereka sendiri.

Pasca pendistribusian enam unit motor perahu pada awal April lalu, lima kelompok diantaranya sudah mulai melakukan kegiatan penangkapan di perairan sekitar Tulakboak dan Barate. Kecuali kelompok "Mata mea", karena perahunya masih dalam tahap pengerjaan.

"Rata-rata kami bisa dapat sampai seratusan ekor ikan, satu kali turun", ujar Ande Lusi, ketua kelompok "Angsa"
Sayangnya, menurut mereka, daya beli di Tulakaboak sangat rendah sehingga keuntungan yang didapatpun kecil."Kalo kita pergi jual ke Sulamu bisa lebih baik", kata Steven Therik.
"
Jadi, kalo hasilnya banyak baru kami ke Sulamu, kalo tidak, jual di sini saja", sambungnya .

"Kenapa tidak jual ke Kupang?" Tanya saya.
"Kalo laut tenang kita jual ke sana, karena di sana harganya bagus, tapi sekarang laut begini ini kita paksa ke sana, boros bensin", sambung Alberto Da Costa, ketua kelompok "Ikan Di’ak" menjawab.
Kendati demikian dari penghasilan yang telah diperoleh, beberapa kelompok telah menyepakati secara internal agar sebagian penghasilan mereka disisihkan untuk cadangan biaya perawatan perahu, motor dan alat tangkap.

Selama ini mereka hanya menjual ikan segar, belum ada upaya untuk melakukan pengawetan ikan atau mengolahnya menjadi produk yang lebih tahan lama.
David Natun, pendamping lapangan food security di wilayah ini, kepada saya seusai pelatihan manajemen kelompok pada april lalu, mengatakan, kemungkinan agenda penguatan kapasitas kelompok berikut adalah teknologi pengolahan hasil.
“Sehingga ikan-ikan yang tidak terjual bisa diolah menjadi produk lain yang juga punya nilai jual dan tahan lama”.

Selain masalah pemasaran kelompok-kelompok ini juga mengalami kendala cuaca di laut, “Musim pancaroba begini, kita sulit hitung (prediksi) dia pung cuaca”, ujar Ronald anggota kelompok “Angsa”.
Siang itu, sebelum mulai pelatihan, badan perahu kelompok Angsa baru saja mengalami kerusakan karena hantaman gelombang pasang, saat mencoba mendarat.
Di sepanjang pantai Tulakaboak, hampir tak ada tempat yang layak atau cukup aman untuk digunakan sebagai tempat pendaratan perahu. Sepanjang wilayah pantai di UPT Tulakboak, 80 % terdiri dari karang-karang terjal, hanya 20% yang berpasir, dekat muara sekitar 200 meter bagian selatan pemukiman. Itupun diakui, harus pandai-pandai menghitung pukulan gelombang, karena dasarnya berupa karang dan lidah ombaknya dalam keadaan normal mencapai satu meter.
"Kalo di Panfolok sana pantainya berpasir. Dasarnya juga, jadi kita bisa mendarat di sana", ujar Yus Banoet. Panfolok terletak di sebelah utara, berjarak sekitar dua kilometer.

Pelatihan berakhir sekitar jam dua. Siang itu kami disuguhi ikan hasil tangkapan kelompok Angsa. Panasnya udara laut Tulakaboak seakan hilang diganti nikmatnya kuah asam ikan "Kamerak" dan Kerapu bakar siang itu.




Perempuan Tangguh

Kisah kemandirian perempuan pengungsi di Timor Barat, berjuang melawan kerasnya kehidupan di kamp penampungan.

Olkes Dadi Lado

Elisabeth Namok, belum genap 30 tahun. Tidak terlalu tinggi sekitar 150-an sentimeter, gemuk, berambut ikal. Oleh anak-anak asuhnya akrab dipanggil ma Elis.
Ini kali kedua saya bertemu dia. Pertama saat pelatihan Relawan Informasi Komunitas (RIK)di Emaus-Nenuk, akhir Nopember setahun yang lalu. Ia bersedia menjadi RIK di kamp Weraihenek hingga saat ini. Orangnya cerewet, supel, enak diajak diskusi.

Hari Minggu, (13/08). Saya, Ape dan Jacko berkunjung ke kiosnya di Haliwen, samping stadion olah raga setengah jadi milik kabupaten Belu.
Sebuah kios sederhana, berdinding bebak, beratap seng. Tepat di pertigaan jalan Haliwen-Silawan dan Weraihenek. Di sebelahnya ada lapak billiard yang selalu ramai dikunjungi orang.
“Masuk dulu, saya baru pulang misa ini”, ajak Elis.
Di ruangan berukuran 4x2 meter yang bersebelahan dengan kios kecil miliknya, ada beberapa pemuda tanggung sedang asyik menonton pertandingan tinju Rahman vs Maskaev lewat layar sebuah tv 14 inch dekat pintu masuk pintu. Juga ada beberapa anak kecil duduk lesehan di bawah beralaskan selembar tikar lusuh.

“Sekarang ini, ada sembilan anak yang kami asuh”, kata Elis menunjuk kumpulan anak kecil di hadapan kami.
Dari kesembilan anak yang diasuhnya itu, cuman dua anak yang belum sekolah, masih kecil. Sedang tujuh lainnya sudah, dua di SMU, satu di SMP dan empat lainya masih di bangku Sekolah Dasar.
“Kami ada tiga orang yang urus ini anak dong. Saya, ma Eny dengan ma Ela”, sambungnya.
Elis Namok, berasal dari Dafala-Wedomu. Eny Mooy dari Rote, ia berambut lurus, kulit putih sedangkan Ela atau Angelina Bui adalah sepupu Elis.
Ketiganya sama-sama bekerja di Dili dan mengungsi ke Atambua setelah konflik pasca jajak pendapat di Timor Timur pada 1999 lalu.
“Ceritanya cukup panjang e..sampai kami tiga orang ini bisa jadi begini”, kata Ma Elis.

***
Elisabeth Namok dan kakak perempuannya, telah kehilangan kedua orang tuanya sejak masih duduk di bangku SD. “Kami hanya dua bersaudara”.
Kemudian ia diangkat dan diasuh oleh om-nya, hingga tamat SD.
“Masuk SMP saya ikut dengan seorang pater orang Amerika, namanya, Romo Robert Riise. SVD di Noemuti sana sampai tamat”.
Lalu melanjutkan sekolahnya ke SMEA di Oekusi-Ambeno (sekarang district Oecusee-RDTL).
“Waktu itu, saya pilih SMEA dengan pikiran supaya tamat bisa jadi PNS, tapi sampai sekarang tidak pernah jadi”. Cerita perempuan yang juga pernah punya keinginan untuk menjadi suster ini.

Sepulangnya dari Oekusi, setelah tamat SMEA, ia hendak dijodohkan orang tua angkatnya dengan salah seorang kerabatnya, “Masih pangkat om”, katanya.
Pertemuan antara kedua keluarga sudah digelar. Tapi hatinya berontak, kebebasan masa muda akan hilang dalam sekejap. “Saya tidak setuju waktu itu”, kenangnya.
“Tapi saya pung orang tua bilang, kamu ini perempuan. Biar sekolah tinggi ju, pulang tetap masuk dapur”, ceritanya lanjut.
Ia kurang setuju dengan pandangan itu, menurutnya, “Saya sadari bahwa urusan dapur itu mau tidak mau, sedikit atau banyak pasti akan kita urus. Tapi bukan begitu caranya. Saya juga kepingin untuk kerja e.., masa sekolah cape-cape abis langsung kawin”.
Pertentangan dengan kedua orang tua angkatnya dirasakan tak menemui jalan keluar terbaik baginya. Iapun memutuskan untuk pergi dari rumahnya.
Akibat pertentangan itu pula ia menuai kemarahan kedua orang tua angkatnya. Semua pakaian hingga ijasahnya dibakar. “Saya lari dengan pakaian di badan sa. Pertama saya lari ke Weraihenek”.
Di Weraihenek, ia menumpang pada rumah salah seorang temannya. Namun tak lama. Ia kemudian menuju Dili, berniat mencari pekerjaan di sana.

Dengan bermodalkan ongkos bis seadanya, ia berangkat mengejar impiannya. Di Dili ia ditolong oleh seorang saudaranya, “Saya pung sepupu laki-laki”.
“Dia pung gaji selama dua bulan itu hanya dipakai untuk beli kasi saya pakaian, karena saya pi hanya dengan yang ada di badan sa to…”.
Tiga bulan pertama, ia masih menggantungkan harapan pada pertolongan sepupunya. “Masuk bulan keempat, saya su mulai kerja di toko Bintang Dili di Kuluhun. Waktu itu tahun 93”.
Selama itu ia tak pernah berhubungan dengan kedua orang tua angkatnya.
Hingga suatu saat di tahun 1996, ia terkejut saat Yanto, anak pertama kakaknya datang menemuinya di toko tempat ia bekerja dan memintanya untuk menemui kedua orang tua angkatnya yang sudah berada di kosnya di kawasan Becora.
“Mereka datang langsung turun di kos, suruh Yanto datang panggil saya di toko, karena Yanto ini makanya saya mau terima mereka”, kenangnya, raut mukanya berubah muram.
Namun menurut dia, hatinya masih belum melupakan semua kejadian yang dialaminya pada masa lalu.
“Saya betul-betul terima mereka pas tahun 2003 itu, setelah acara adat di kampung”.

Berbekal ilmu ekonomi yang diperoleh semasa di SMEA dulu, sambil bekerja di toko, ia juga membuka sebuah kios kecil di Becora-Dili.
“Ma Ela yang bantu-bantu”.
“Dia juga punya cerita yang mirip dengan saya”, tambahnya.
Angelina Bui yang biasa dipanggil Ela ini juga hampir dinikahkan setelah tamat SMP di Lahurus. “Saya dengar itu, jadi saya suruh dia datang ikut saya di Dili”, ujar ma Elis. “Bahkan sampai sekarang kami masih sama-sama e”, lanjutnya sambil tertawa kecil.

“Nah kalo ma Eny ini, kami bakawan itu mulai tahun 96. Dia kerjanya di tempat lain, tapi kosnya di depan toko tempat saya kerja”.
Karena Eny Mooy, sering belanja di toko Bintang Dili, keduanya kemudian berkenalan dan jalinan persahabatanpun dimulai sejak saat itu.
“Sore-sore begitu kalo pas ada hari libur, kami biasa pesiar-pesiar”.
Karena semakin akrab dan merasakan susahnya hidup terpisah dari keluarga, keduanya memutuskan untuk indekos bersama.
Persahabatan mereka terus terjalin hingga mengungsi ke Timor Barat.

***
Impian dan hasil kerja keras Elisabeth Namok selama di Dili, hilang tak berbekas saat kerusuhan pasca jajak pendapat 1999 di Timor Timur.
“Kami lari datang hanya bawa pakaian satu lemari, VCD, dengan sepeda motor supra fit satu”, ujarnya.
Semua barang dagangan di kiosnya ditinggalkan, tidak bisa dibawa karena kesulitan kendaraan.
“Karena agak stress waktu datang, kami langsung ke Surabaya, sekalian refreshing”, kata Elis.
“Wah beruntung juga mereka masih punya sedikit simpanan sehingga sempat refreshing menghilangkan stress akibat konflik, tak tanggung-tanggung refreshingnya ke Surabaya”, batin saya.

“Bulan Oktober itu baru kami mulai tinggal di kamp Weraihenek”, ungkap Elis.
Sejak itulah, Elis, Eny dan Ela memulai usaha kios kecil mereka.
“Modal awalnya itu 250 ribu sa”. Kata Elis.
“Itu uang yang masih tersisa setelah kami pulang dari Surabaya”, sambung Eny.
Dari waktu ke waktu, modal awal 250 ribu rupiah ditambah sedikit pengalaman dan ilmu wira usaha Elis dan Eny, usaha mereka kian berkembang. Hingga bisa menyewa tanah untuk membangun rumah mereka. Eny juga tamatan dari SMEA negeri Kupang.
Sebuah rumah sudah mereka miliki, sekalipun di atas tanah orang, namun bangunan rumahnya adalah buah dari usaha keras mereka.
“Rumah itu juga kami hanya beli bahan sa, ais ada kaka dong dari kampung datang bantu kerja dia pung rangka dengan atap, sedangkan dindingnya itu, kami tiga yang bikin sendiri. Bebaknya kami beli baru kami buat dindingnya”, ujar Eny.
“Lebih murah dibanding beli dinding jadi”, timpal Elis.
“Ternyata lumayan berat juga kerjanya, tapi saya senang karena saya jadi tau cara buat dinding dari bebak”,kata Eny yang sebelumnya semasa di Kupang tak punya pengalaman itu.

Kini mereka telah mempunyai dua kios kecil di Weraihenek dan di samping stadion Haliwen.
Setiap harinya, mendapatkan penghasilan kotor sebesar 50 ribu rupiah per kios.
“Tapi sekarang ini su berkurang jauh, kalo dulu, waktu masih tahun 99-2000 itu, banyak orang yang beli. Abis dapat bantuan macam uang lauk begitu pasti mereka datang belanja”, jelas Elis mencoba membandingkannya.
Penghasilan yang didapat selain disisihkan untuk menjaga keberlanjutan kedua kios mereka, juga dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan kebutuhan biaya pendidikan anak-anak asuh mereka.

***
Dalam keterbatasan mereka saat tiba di Weraihenek- Atambua 1999 lalu, hati mereka tersentuh melihat kondisi anak-anak saudara mereka yang tak terurus, khususnya masalah pendidikan.
Dalam sebuah perbincangan antara dua sahabat yang boleh dikatakan sudah seperti saudara sekandung, Elis dan Eny, terbesit keinginan untuk membantu anak-anak yang putus maupun tidak bersekolah karena kesulitan biaya.
“Kami mulai asuh anak ini tahun 1999 itu. Kami mulai dari anak saudara”, ungkap Elis.
Mereka mulai dari empat orang anak kakak perempuan Elis. Bahkan ada anak yang diasuh sejak berumur 3 bulan.

Hingga kini sudah sembilan anak yang berada dalam asuhan mereka. Semuanya masih mempunyai pertalian saudara dengan tiga perempuan tangguh ini.
“Kami ini maunya bukan hanya anak saudara saja yang kami tolong tapi anak orang lain juga”, kata Elis.
“Masalahnya orang belum percaya kita e…,orang kira kita mau rampas dong pung anak, jadi ya kami mulai dulu dengan saudara pung anak”, timpal Eny menjelaskan. Padahal menurut Elis, tujuan mereka murni ingin membantu anak-anak untuk bisa bersekolah.
“Kami paling bisa bantu itu sampai SMA, itu juga kalo banyak orang mungkin agak berat. Paling tamat SMP-lah”, ujar Elis.
“Rasanya tidak tega kalo lihat ada anak yang putus sekolah”, sambung Eny.
“Kami bilang ke orang tua mereka, kalo kesulitan biaya sekolah anak, mari ko kita duduk sama-sama pikir jalan keluarnya”, lagi kata Elis.
Oleh karena itu, mereka hanya mau menampung dan mengasuh anak-anak yang sudah mendapat persetujuan dari para orang tua.
Syarat utamanya sangat sederhana, “Yang penting itu anak mau sekolah”, ujar Eny.
Kalo tidak mau sekolah, kami tolak”, tegas Elis.

Dari sembilan anak yang ada sebagian adalah keluarga dari Elis dan Ela, sisanya adalah keluarga Eny.
Orang tua kandung anak-anak ini, semuanya masih lengkap. “Ada yang pi jadi TKI di Malaysia sana. Yang lain, orang tuanya di Kupang”, jelas Elis.
“Itu ada satu dari Baumata sana. Elsa tu, sekarang dia su kelas dua SMA”, celetuk Eny, sambil menunjuk seorang gadis remaja yang tersenyum malu, duduk di sebelah kanan tak jauh dari Elis dan Eny.
Baumata, terletak di kelurahan Penfui-Kupang, terkenal dengan sumber airnya yang melimpah ini dimanfaatkan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kupang dan perusahaan air minum swasta Aguamor.
Hubungan antara anak-anak ini dengan orang tua kandung mereka tetap terjalin, lewat kunjungan langsung maupun surat.
“Idus ini”, kata Eny, sambil menunjuk seorang anak lelaki kecil yang duduk di tikar tepat di depan kami, nama lengkapnya Alfridus Nahak, masih duduk di bangku SD. “Dia baru saja menerima surat dari mamanya yang kerja di Malaysia sana kemarin sore (Sabtu, 12/08)”.

Kehadiran anak-anak, seperti Edny yang masih balita hingga Elsa yang sudah remaja dengan berbagai tingkah dan polah laku mereka menjadi hiburan tersendiri bagi, Elis, Eny dan Ela.
“Yang paling nakal itu Idus dengan Maxi”, kata Elis, lanjutnya, “Kadang kita musti marah-marah bahkan hukum dengan rotan”.
Perhatian dan kasih sayang yang harus diberikan sama kepada ke sembilan anak ini, terkadang mendatangkan kecemburuan di antara anak-anak.
Dorang yang su besar ini kadang bilang, ma dong ni hanya sayang Edny sa”, cerita Eny.
Edny Permata nama lengkapnya, seorang bocah yang baru berumur sekitar dua tahun. Sudah diasuh sejak masih bayi. “Karena kita ambil dia ini dari masih belum bisa omong, belum bisa jalan jadi, mau tidak mau perhatian lebih banyak ke dia e..”, jelas Eny. Hal itu yang coba dijelaskan kepada anak lainnya.
Nama Edny-pun dicarikan oleh Elis dan Eny, “Sampai satu hari pikir dia pung nama ini”, aku Elis, sambil mengelus kepala Edny yang duduk santai di pangkuannya. Edny Permata berarti Permatanya Elis dan Eny.
Kalo sakit dong semua manja, seperti minta kita kasi perhatian lebih begitu”, ujar Eny, “Satu itu, Melda. Dia kalo sakit, kita harus peluk dulu baru tenang”, sambungnya. Melda, gadis cilik yang duduk dekat pintu samping Idus hanya tersenyum malu sambil memainkan rambutnya yang pendek sebahu.

Selain membantu membiayai kebutuhan hidup dan sekolah anak-anak seperti biaya buku-buku hingga uang jajan dan transport, Elis, Eny dan Ela juga mendorong minat belajar anak sebisa mungkin.
“Misalnya ada PR yang tidak bisa mereka kerja, kalo kami tahu kami bantu kasi tunjuk caranya, kalo tidak tahu juga kami usaha cari orang yang mungkin lebih tahu untuk bimbing ini anak dong”, cerita Eny.
Dari tujuh anak yang sudah bersekolah, menurut Elis ada tiga yang prestasinya di sekolah bagus.
Elsa Haumeni, saat ujian kenaikan kelas yang baru lewat, mendapat rangking dua. Yanto, kakak pertama, Melda, Maxi dan Idus juga selalu dalam sepuluh besar terbaik di kelasnya di SMP N I. Begitu juga dengan Melda di SD Katholik I Atambua, saat naik ke kelas enam belum lama ini mendapat juara II mengungguli teman-temannya yang kebanyakan anak keluarga mampu.
Hal ini tentunya membawa kebahagiaan tersendiri bagi ketiga mama angkat mereka.

Tak banyak yang diharapkan ketiga perempuan tangguh ini selain harapan akan masa depan yang baik bagi kesembilan anak asuhan mereka.
“Kami hanya bantu kasi sekolah sa, soal masa depan, ada di dong pung tangan sendiri e..” ujar Eny.
“Kami hanya harap supaya suatu saat, apapun yang dong pilih entah sekolah lanjut ka atau buka usaha, jangan bikin malu kami sebagai orang tua ini”, harap Elis. Ela yang baru tiba dari kios satunya dan bergabung bersama kami siang itu, hanya menganggukan kepala mengiyakan.

***
Sekarang, keluarga besar ini sedang menanti waktu yang tepat untuk pindah ke lokasi baru, ke tanah mereka sendiri yang dibeli secara bersama dengan 82 keluarga lainnya dari kamp Haliwen, Weraihenek dan Karantina II di dusun Haliwen desa Kabuna.
Elisabeth Namok termasuk salah satu yang mewakili kelompok perempuan dalam negosiasi lahan tersebut.
“Di sana nanti, saya tidak pusing lagi dengan masalah tanah, kami bisa lebih tenang untuk tinggal”, ujar Elis.
Menurutnya persoalan rumah di sana juga bukan prioritas, sekalipun rumah yang telah dibangun dengan susah payah di Weraihenek harus dibongkar ulang, “Paling penting itu, kami pung anak dong ini bisa sekolah dengan tenang” ujarnya mengakhiri wawancara kami siang itu.
Elsa dan adik-adiknya termasuk anak-anak yang beruntung dibanding jutaan anak lain di Republik Tercinta ini yang kurang beruntung hingga ulang tahun ke 61 negeri ini, kehilangan kasih sayang orang tua akibat konflik, bencana alam bahkan menjadi korban perdagangan anak. Setidaknya, menurut saya, Elsa dan kedelapan adiknya masih bisa menikmati hak-hak mereka sebagai seorang anak manusia.

Obrigado barak buat Ape, Jacko, Ma Elis, Ma Eny dan Ma Ela

Tuesday, July 18, 2006

Kisah Penikmat BBM di Tanah Sandelwood

Melihat rantai ketergantungan BBM di Sumba Timur

Oleh
Olkes Dadi Lado

Jumad (7/7) siang. Pasar Inpres Waingapu, penuh sesak dengan pengunjung. Para penjual sibuk menawarkan dagangannya dengan beragam cara. Di sebelah jalan depan pasar, di sebuah pangkalan ojek, Oktav juga sibuk menawarkan jasa ojeknya.

Kurus, tinggi, berkulit hitam akibat terbakar panasnya terik matahari kota Waingapu.

Oktavianus Riwu (21), pemuda asal Padadita. Siang itu memakai baju kaos putih, jeans hitam pudar. Ia bersedia mengantar saya pulang ke Kambaniru.

Orangnya ramah, selalu tersenyum. Sudah menggeluti pekerjaan ini selama setahun, menggunakan sepeda motor omnya. Setiap hari ia harus menyetor 25 ribu rupiah kepada pemilik sepeda motor.

”Tapi waktu minyak lagi susah itu, dia mengerti. Kalo jalan setengah hari kasi masuk berapa saja dia terima”, lanjutnya.

Jajaran pertokoan sudah kami lewati, perbincangan di atas sepeda motor terus berlanjut.

Saat tiba di pompa bensin Matawai, serempak kami menolehkan kepala, ”Baru kemarin sama hari ini tidak lagi antrian, mungkin sudah normal”, celetuk Oktav, demikian nama panggilannya.

”Kalau tidak,... padat sekali orang yang antri”. Sambungnya.

”Hampir tiga minggu setiap hari kita harus antri dari subuh supaya bisa dapat bensin, itu juga mujur kalo bisa terisi”, lanjutnya.

Selama itu, aktifitas ojek tidak pernah dilakukan sehari penuh, karena setengah harinya dihabiskan untuk mengantri bensin.

Sejak subuh sekitar jam empat pagi, Oktav dan semua penikmat BBM sudah berlomba menuju ke SPBU yang ada di Waingapu, ibukota kabupaten Sumba Timur yakni SPBU Hambala dan Matawai. SPBU Hambala terletak di Km 2 sedang SPBU Matawai tepat di jantung kota.

”Beruntung ada siaran piala dunia jadi kita ada hiburan sedikit”.

Selain menyalurkan hobi menonton sepak bola, ia mengatakan, siaran piala dunia ini juga membantu mereka tetap terjaga sehingga bisa pergi meng-antri bensin.

”Bahkan ada yang sudah pergi tidur memang di pompa bensin sejak tengah malam”.

Selain itu ada juga yang hanya menitipkan sepeda motornya di SPBU. ”Di kilo dua sana itu ada yang ban motornya dipotong orang”, ujar Oktav.

Berbagai keresahan sosial mulai bermunculan. Minggu pertama terjadi konflik antara anggota kepolisian dengan anggota Brimob di SPBU Matawai, pertengkaran-pertengkaran bahkan sampai pada pemukulan terhadap sesama terjadi. Semuanya demi seliter bensin. Hubungan antara sesama manusia seakan tak ada artinya, bisa ditukar dengan seliter bensin—energi fosil, energi yang tak terbarukan.

Kesulitan-kesulitan inilah menurut Oktav, kemudian membuat ia dan juga tukang ojek sepeda motor lain di Waingapu menaikan tarif ojek hingga 5000 rupiah untuk wilayah dalam kota dari normalnya antara 2000-3000 rupiah.

Kenaikan tarif itu tidak serta merta memberi keuntungan bagi mereka, menurutnya walaupun tarifnya besar tapi tak sebanding dengan hasil yang mereka dapat, karena sepinya penumpang.

”Minyak susah ini, saya pemalas keluar rumah, kalo tidak ada yang terlalu penting”, ujar Ferry Daniel, salah seorang teman semasa kuliah dulu saat bertemu di pasar inpres Waingapu.

”Biasanya, satu hari dalam keadaan normal itu, saya bisa dapat 40 ribu bersih diluar minyak”, ujar Oktav.

Hembusan angin dingin di sekitar daerah persawahan Ana Dara, seolah berusaha mengusir panasnya terik matahari siang itu (7/7), sepeda motor bebek yang kami pakai terus melaju pelan mendekati wilayah kelurahan Kambaniru.

”Selama tiga minggu sulit bensin ini, saya hanya bisa dapat 30 ribu rupiah, itu juga belum termasuk bensin”. Sehingga menurutnya lagi terkadang ia harus merogoh koceknya sendiri untuk membeli bensin.

Terkadang Oktav membeli bensin pada pengecer, jika dalam keadaan terdesak. Harganya bisa dua sampai tiga kali lipat harga pasar.

Harga bensin di tingkat pengecer bervariasi tergantung jarak dan waktu. Dalam kota 10 ribu rupiah per botol pada siang hari. Malam harinya menjadi 15-20 ribu per botol.

Di Melolo, sekitar 40-an kilometer dari Waingapu, selama masa sulit ini terjadi, harga bensin per botolnya mencapai 30 ribu rupiah.

Di kabupaten tentangga, Sumba Barat yang hanya mengandalkan jatah dari depot di Sumba Timur, harganya melonjak hingga 50 ribu rupiah per botol.

Dalam keadaan normal, ia biasanya mendapatkan 15 ribu per hari sisa dari uang yang harus disetor ke pemilik motor, namun sudah tiga minggu sejak ketersediaan BBM di Sumba menipis, hampir pasti tak ada yang masuk ke kantongnya ”Untung kalo bisa dapat kembali uang bensin”.

”Beruntung juga saya ini belum berkeluarga”, ujarnya, sesaat sebelum tiba di Kambaniru.

Di sudut lain kota Waingapu, di bagian belakang pasar tak jauh dari menara milik Telkomsel, tepat di simpang jalan Palapa dan Pemuda, Mama Marselina sibuk menjajakan sayur putih miliknya.

Apa yang dialami oleh Oktav, juga dialami oleh perempuan setengah baya penjual sayur asal Mauliru itu.

Naiknya tarif ojek oleh Oktav dan teman-teman seprofesinya, selama tiga minggu terakhir di Waingapu juga membawa dampak bagi ibu ini.

”Biasanya hanya bayar tiga ribu saja. Mulai ada antri minyak ini kami harus bayar lima ribu untuk datang ke pasar, pulang juga begitu”. Ujarnya.

Ia biasanya berjualan di pasar sejak pagi hingga siang hari, ”Siang-siang begini sudah habis”.

Namun hari itu tak seperti biasanya, sebagian besar sayur masih menumpuk di atas karung plastik putih kusam, tergeletak begitu saja di pinggir jalan, tanpa pelindung.

Tangannya sibuk membuka ikatan-ikatan sayur yang ada, ”Ini musti ikat ulang lagi terlalu sedikit. Orang tidak mau beli, bilang terlalu mahal”.

Sayur-sayur itu tidak ditanamnya sendiri, ia membelinya langsung dari petani sayur di Mauliru.

”Kami beli dengan lima ratus satu ikat, kadang juga dapat dengan tiga ikat dua ribu”.

”Lalu dijual berapa di sini?” Tanya saya.

“Kami jual dengan tiga ikat 2500”.

”Hanya untung lima ratus rupiah per tiga ikatnya” pikir saya.

”Setiap hari kami dapat untung seratus sampai duaratus ribu”, lanjutnya.

Mulutnya tak henti mengunyah sirih pinang, tangannya tetap sibuk menata ulang jualannya.

”Tapi mulai orang antri minyak ini, harga ojek mereka kasi naik, satu hari kami hanya untung enam puluh ribu”. Keluhnya.

Mama Marselina, tidak bersentuhan langsung dengan urusan BBM. Dalam mata rantai ketergantungan terhadap BBM, entah ibu paruh baya ini dan masih banyak sesamanya menempati mata rantai yang mana.

Yang terjadi adalah, langsung tidak langsung mereka juga turut merasakan akibatnya. Berkurangnya pendapatan harian mereka, berarti ada sekian kebutuhan dalam rumah tangga mereka yang tak terpenuhi.

Hari menjelang malam, sekitar sembilan sepeda motor nampak antri mengisi bensin di SPBU Hambala, di sebelahnya lebih dekat ke jalan besar, terdapat dua truk sedang mengisi solar.

SPBU yang mulai beroperasi sejak tahun 2003 ini, mempunyai tiga mesin pengisian. Pada mesin kedua yang terletak di bagian tengah, duduk seorang petugas, tak ada yang dikerjakannya.

Suasana kali ini nampak sepi, berbeda dengan suasana tiga minggu lalu.

Selama tiga minggu, halaman SPBU Hambala tumpah ruah pengunjung dengan berbagai merek kendaraan bermotor, bahkan meluber hingga ke jalan besar di depannya.

Menipisnya persediaan BBM di Sumba Timur, terjadi sejak 20 Juni 2006, cerita Markus Behi, petugas SPBU Hambala. Saat ditemui di ruangan kantor SPBU, sedang siap-siap untuk menutup SPBU yang telah dikelolanya sejak tiga tahun lalu itu.

Di sebelah etalase kaca, samping kiri tak jauh dari tempat duduk saya, ada tiga orang bawahannya sedang menghitung pemasukan hari itu. Jam dinding di ruangan itu menunjukan hampir pukul delapan malam.

”Biasanya Pertamina kasi kita 10 ribu liter setiap harinya, tapi mulai 20 juni itu turun jadi 5000 liter saja”, katanya. Tangannya sibuk mengikat gepokan-gepokan uang kertas yang sudah dihitungnya.

”Menurut Pertamina, karena keterlambatan kapal dari Kupang”, lanjutnya.

Kondisi itu berlangsung selama empat hari, ”Pas 24 Juni itu kapal masuk, besoknya stok dari pertamina kembali naik jadi 10 ribu liter”.

Namun keadaan tetap tidak pulih, ”Karena masyarakat panik to jadi rame-rame datang antri takut tidak kebagian. Ditambah lagi dengan ada orang-orang yang melakukan aksi borongan”. Kata Markus.

Mendengar kata ”Aksi borongan”, saya teringat percakapan saya dengan Gerus, salah seorang petugas beberapa saat sebelumnya.

”Ada yang datang ulang-ulang untuk isi, pulang ke rumah, dia salin lalu balik lagi untuk antri”, kata Gerus.

Sebagian orang memanfaatkan kondisi ini untuk mencari keuntungan. Berbagai trik digunakan untuk mendapatkan bahan bakar lebih.

Menurut Gerus, sekalipun mereka mengetahui hal itu, tak ada yang bisa mereka lakukan, ” A..a kita sebagai operator ini kan sulit e..kalau dorang sudah datang dua kali, kita mau batasi juga takut kena pukul. Baru tidak ada aturan yang jelas tentang itu”.

Persediaan BBM kembali menipis, seperti empat hari sebelumnya. ”Akhirnya suplai BBM untuk kami turun kembali jadi 5000 liter per hari”. Kata Markus Behi.

SPBU yang bisanya beroperasi hingga malam hari pukul delapan hingga sembilan itu, terpaksa ditutup pada pukul 12 atau satu siang.

”Bahkan hari minggu kemarin (2/7), kami terpaksa tidak buka karena tidak ada stok sama sekali”. Lanjutnya.

Akibatnya menurut Markus, sekalipun pada hari senin (3/7), suplai BBM yang diterima dari Pertamina melebihi kuota normal, tetap tidak mencukupi permintaan konsumen.

”Senin itu kami dapat 25 ribu liter bensin dan 20 ribu liter solar. Tapi tetap kurang karena orang yang antri sejak sabtu itukan banyak yang tidak dapat, apalagi hari minggunya tidak buka. Jadi tetap saja kurang”. Jelasnya.

Kondisi kembali normal pada hari selasa (4/7) dari sisi ketersediaan stok di SPBU. Namun kepanikan masyarakat masih saja terlihat. Kondisi betul-betul normal pada hari Rabu (5/7), saat saya berkeliling ke ke dua SPBU yang ada di Waingapu, nampak sepi, tidak terlihat antrian seheboh tiga minggu terakhir.

Pada kesempatan lain, Kepala Pertamina Waingapu, Supilen. Saat ditemui di ruang kerjanya, ia ditemani Ndoy Hamanay, salah seorang stafnya, mengatakan, menipisnya persediaan BBM di pulau Sumba, lebih dikarenakan keterlambatan pasokan BBM dari depot Kupang.

”Mungkin karena cuaca di laut yang buruk menyebabkan kapal itu terlambat tiba di sini”, katanya.

Selain itu sependapat dengan Markus Behi dan Gerus, ia mengatakan, kepanikan warga yang berujung pada aksi sebagian orang yang menimbun BBM juga menyumbang terhadap kondisi tiga minggu terakhir di Sumba.

Sepanjang percakapan kami hampir pasti tak ada kalimat yang memberikan jaminan kondisi tiga mingggu terakhir di Sumba tidak akan terjadi lagi dikemudian hari, masih mengambang.

Sumba sebagai salah satu pulau terbesar di NTT, hanya mengandalkan satu depot, yakni depot Waingapu di Kabupaten Sumba Timur. Sumba juga bukan daerah penghasil minyak laiknya Jawa Timur dengan Blok Cepu-nya, maka hampir pasti para penikmat BBM di pulau Sumba sangat bergantung pada pasokan BBM dari luar. Jika aliran distribusi BBMnya tidak terjamin lancar maka tidak heran kondisi ”kelangkaan” BBM bisa kembali terjadi, termasuk di seluruh wilayah NTT.

Terima kasih kepada :
Jalinan Energi Indonesia Timur (JEIT), Teman-teman GMKI Cab Waingapu dan Elthon, Ma'e, Ren, Jacki, Ako dan semua kawan di Kambaniru.

Thursday, April 20, 2006

Iko Paskah di Tengah Banjir

(Catatan dari orang yang "jarang" ke Gereja)

Olkes Dadi Lado

Pagi itu cuaca tak seperti hari-hari sebelumnya yang mendung dan hujan sepanjang hari.
Jumad (14/08), cuaca di Besikama cerah, sedikit awan putih menggantung di langit bagian utara dan selatan.
Jam dinding berwarna emas yang tergantung dinding bebak rumah menunjukan angka tujuh.
Saya baru selesai menikmati segelas kopi panas dan beberapa batang rokok.
Ka’ Etha, Ka’ Paul, dan sebagian besar anggota keluarga di rumah sudah selesai mandi, semuanya sibuk mempersiapkan diri ke gereja. Saya juga bergegas mempersiapkan diri.

Hari ini adalah Jumad Agung. Bagi umat Nasrani/Kristen, hari ini adalah peringatan akan kematian Yesus Kristus di atas kayu salib di Golgota, ribuan tahun lalu.
Begitu juga dengan umat Kristen di Besikama, semuanya sibuk menyambut hari besar ini.
Besikama adalah pusat kota kecamatan Malaka Barat kabupaten Belu, berjarak 80 kilometer dari Atambua. Mayoritas penduduk di sini adalah bergama Katholik, lalu Protestan dan sisanya Muslim.

Rencana untuk merayakan paskah di Besikama berawal dari tugas peliputan untuk Lorosae lian—media tempat saya bekerja—di Belu pada tanggal 11-13 April, sehingga saya memutuskan untuk sekalian merayakan paskah bersama mama dan keluarga di kampung kelahiran saya ini.

Tepat jam setengah sembilan, kebaktian memperingati kematian Yesus Kristus dimulai. Kebaktian dipimpin oleh Pendeta Angkol Tangwal, S.Th.
Gedung gereja jemaat Imanuel Maktihan yang berjarak sekitar 150 meter dari rumah itu terkesan lengang, hampir setengah bagian kursinya tak terisi, entah kemana perginya jemaat-jemaat itu--mungkin karena banjir--.

Saya heran pada hari besar seperti ini umumnya di berbagai tempat justeru jemaatnya membludak sampai-sampai kursi yang disiapkan tidak sebanding dengan orang yang hadir karena banyak orang yang biasanya jarang ke gereja pada hari minggu---seperti saya—akan memakai momen ini untuk kembali berbakti atau mungkin juga sekedar untuk menunjukan “bahwa saya ini orang Kristen”.

Kebaktianpun mengalir mengikuti liturgi yang ada. Sekalipun keheranan masih meliputi benak, tapi saya mencoba berkonsentrasi untuk mendengarkan firman Tuhan yang pagi itu diambil dari Injil Yohanes 19 : 28-30 tentang kematian Yesus.

Pendeta Angkol, memulai renungannya dengan sebuah ilustrasi.
“Sepasang anak manusia yang sibuk mencari Tuhan Allah, setelah bertanya ke sana ke mari tak seorangpun yang mereka temui bisa menjelaskan dimana Tuahn Allah yang mereka cari itu berada, akhirnya mereka berdua menyimpulkan bahwa orang banyak yang mereka temui itu telah membunuh Tuhan Allah yang mereka cari”, diakhir ilustrasi itu dikisahkan kedua anak manusia itu diusir dari lingkungan orang banyak itu.

Dalam khotbahnya, pendeta Angkol mengatakan bahwa kematian Tuhan oleh orang Kristen dikatakan terjadi pada ribuan tahun lalu di bukit Golgota dan kematian itu ditimpakan kepada kaum yahudi, bahkan tuduhan itu terus berlanjut hingga saat ini. Dalam perspektif yang berbeda Angkol mengatakan bahwa Pembunuhan, penyaliban dan kematian Allah bukan hanya terjadi pada ribuan tahun lalu tetapi juga hingga saat ini.
“Dan siapa pelakunya?” Tanya Angkol, “Pelakunya adalah saudara dan saya” lanjut pendeta yang menamatkan studinya di Fakultas Tehologi UKAW Kupang ini lantang.
Menurutnya, secara sadar kita telah menyalibkan dan membunuh Tuhan dalam setiap aktifitas kehidupan kita.
“Ketika Tuhan mau hadir di Pasar, kita bilang,.. aduuuh sebaiknya Dia jangan hadir di sini. Karena kalo Dia ada maka kita kita tidak bisa ambil untung yang banyak. Begitu juga dengan di pemerintahan atau di perusahaan, ketika Tuhan hadir di sana, kita berusaha menyingkirkannnya karena kita tidak mau dihalangi ketika kita ingin korupsi atau menyingkirkan saingan kita secara tidak sehat”, contohnya.

Rasa kantuk yang sempat mengganggu pada awal kebaktian karena do’a yang panjang hilang seketika saat mendengarnya. Dalam hati saya membenarkan apa yang dikatakannya.

Khotbah ini menurut saya, merupakan sebuah gugatan terhadap pertumbuhan dan kondisi iman kita saat ini. Dalam setiap aspek kehidupan kita hampir tak kedengaran lagi kabar yang bisa menyejukan hati, di mana-mana ada berita pembunuhan, kekerasan dalam rumah tangga, pemboman, penipuan, peperangan, penggundulan hutan, pengrusakan lingkungan demi lembaran rupiah dan masih banyak lagi berita lainnya.
Memang terkesan pesimis, namun bagi saya ini adalah bentuk pengaduan kita sebagai anak manusia kepada Tuhan Allah Sang Bapa.
Ini menunjukan sebuah keakraban antara manusia dan Sang Pencipta.
Juga menunjukan bahwa saking akrabnya, manusia bisa berkeluh kesah, bercerita tentang hidupnya dengan Allah.
Di sisi lain khotbah ini juga merupakan otokritik terhadap diri kita. Jaman sekarang ini sulit kita dapatkan orang yang mau dan rela melakukan kritik terhadap diri sendiri, yang ada hanyalah kecenderungan untuk menyalahkan orang atau pihak lain.

Hampir setahun saya tak pernah menginjakan kaki di gedung gereja hingga hari ini tepat peringatan hari kematian Yesus di atas kayu salib. Saya beruntung masih bisa ke gereja sehingga mendapatkan kesempatan untuk mendengar dan merenung hal ini.

Saya bersyukur karena sekalipun Besikama sedang dilanda banjir namun masih diberi kesempatan beribadah kepada Allah yang saya yakini selama ini.
Khotbah ini menurut saya, menjadi sebuah refleksi bagi semua fehan oan atau ema fehan untuk memberikan kekuatan dalam menghadapi kecemasan dan kekuatiran akan bencana banjir yang hampir setiap malam terjadi di Besikama.

Di tengah genangan air dan beceknya lumpur banjir akibat keserakahan manusia, saya mengucapkan selamat PASKAH bagi semua fehan oan iha rai wewiku-wehali, rai Malaka.

Saturday, March 11, 2006

Sebuah Cerita dari Kamp Pengungsi

Olkes Dadi Lado

17 Desember 2004, Kamp Tuapukan lengang. Kamp Tuapukan adalah sebuah kamp pengungsi terbesar di kabupaten Kupang, saat ini masih dihuni 500-an keluarga pengungsi asal Timor Timur.

Jalan berbatu yang membelahnya menuju Olio kampung tetanggapun sepi.
Rumah-rumah darurat beratap gebang, berdinding bebak (pelepah gebang) kosong tak kelihatan penghuninya, kecuali sebuah rumah dekat pabrik garam yang sudah tidak berfungsi lagi sejak 1998, seorang ibu hanya bersarung tais (kain khas Timor) sedang mencari kutu di kepala anak perempuannya, sebagian besar berada di kebun di kampung Olio, sebagian lagi sedang tidur siang.

Cuaca siang itu panas sekali, ciri khas Kupang walaupun sudah memasuki minggu kedua Desember.
Dominggos Soares, biasa dipanggil Ameu baru saja selesai makan.
Pemuda berambut panjang sebahu, tanpa baju hanya bercelana loreng seragam tentara yang dipotong pendek itu, kembali meraih pahat dan sebuah martil kecil, mulai membuat ukiran pada sebilah papan jati mengikuti motif yang sudah digambarnya.
Ia berasal dari Los Palos-Timor Timur, mengungsi ke Timor Barat pada September 1999 akibat konflik pasca Referndum di sana. Semenjak 2002, ia mulai berprofesi sebagai tukang kayu, hasil pelatihan ketrampilan pertukangan yang dilakukan CWS (Curch World Service).

Sesekali ia menyeka keringat di keningnya dengan selembar handuk yang tak jelas lagi warnanya.
Angin kencang yang bertiup dari arah laut siang itu tak banyak membantu mengusir panas.
Seratus meter dari tempatnya, terdapat sekumpulan rumah darurat lebih tepat dikatakan gubuk milik pengungsi asal Dillor kabupaten Viqueque juga kosong tak kelihatan penghuninya.
Sebagian besar penghuninya pergi melayat ke kamp Noelbaki-kamp lainnya yang berjarak 10 km dari Tuapukan- ada anggota keluarga mereka yang meninggal di sana. Yang lainnya sedang berada di kebun.
Tempat tinggal mereka berbatasan dengan kampung Olio.

Belum lama Ameu asyik dengan pekerjaannya, sekitar pukul 12.15.
Ia mendengar suara teriakan, “ Hoooi… ada kebakaran..hooi”, berulang-ulang.
Ia melepas peralatan kerjanya, menoleh ke asal suara itu.
Asap tebal membumbung di atas lingkungan orang-orang Dillor.Ia segera berlari ke sana.
Penghuni kamp yang lainpun ikut ke sana. Api menjalar dengan cepat, rumah dari daun gebang dan dinding bebak serta tiupan angin yang kencang mempercepatnya.

“Rumah-rumah orang Dillor terbakar, tidak tau apinya dari mana” kata Delio, adiknya yang lebih dahulu tiba.
Siang itu ia sedang berada di rumah paling ujung lingkungan Los Palos dekat lingkungan Dillor.
Di sebelah utara ke arah laut, orang-orang lokal dari kampung Olio sudah banyak berkumpul, asal teriakan itu dari sana.

Kaum lelakinya sibuk mengangkut barang dari rumah-rumah yang belum sempat terbakar. Berbeda dengan ituDi sebelah selatan tempat Ameu dan orang-orang Los Palos berkumpul tepat di batas antara lingkungan mereka dan lingkungan orang Dillor. Tak ada gerakan untuk membantu.

Sekelompok orang berlarian dari arah kebun, di seberang jalan dekat kali kecil pinggir kampung Olio, melewati lahan milik RRI Kupang. Marcelino koordinator kamp Viqueque berada paling depan, tanpa mempedulikan panas api dan asap yang menyesakan dada, ia menerjang masuk ke rumahnya yang terletak di bagian Timur. Tak ada barang lain yang dibawanya kecuali sebuah motor bermerk Honda Win yang didorongnya keluar.

Di sebelah timur, sekelompok mama-mama berusaha memadamkan api dengan air dalam ember, tapi tak berhasil. Nyala api makin besar. Rumah-rumah darurat itu roboh satu demi satu.
Ameu dan lima temannya berusaha merobohkan sebuah rumah di lingkaran luar lingkungan itu untuk mencegah api menjalar rumah-rumah lainnya di lingkungan mereka.

Tangisan, teriakan komando, makian, bunyi daun dan dinding yang terbakar bercampur menjadi satu.Orang makin banyak berkumpul tapi tak banyak yang bisa dibuat, api menjalar sangat cepat. 39 rumah yang ditinggali penghuninya siang itu habis terbakar.
Semuanya rata dengan tanah.

Tak sampai sejam kemudian api mulai padam. Suasana berangsur tenang, teriakan komando tak lagi terdengar, hanya isakan tangis dua janda sambil memandangi kotak tempat uang tabungan mereka sudah menjadi arang, gambaran uang-uang kertas 10 ribuan masih terlihat. Sesekali terdengar letupan-letupan kecil bara api sisa pembakaran.

Tangisan histeris terdengar saat sebuah angkot berhenti di situ. Mereka yang pergi melayat kembali mengeluarkan air matanya karena melihat rumah mereka yang berubah bentuk menjadi seonggok arang.Dari jauh terdengar sirene mobil pemadam kebakaran perlahan mendekat.


Beri Hambamu Uang

Olkes Dadi Lado

“Waktu kau lewat.., aku sedang mainkan gitar…”teriak Iwan Fals dilayar TV 24 inch milik kang Ujang, penjaga kos tempat saya nginap, dalam acara 1 jam bersama Iwan Fals yang disiarkan langsung oleh Indosiar.

Diatas pesawat TV merek Toshiba yang diletakan diatas rak kayu berwarna hitam, terdapat sebuah kotak tissue berwarna merah dari beludru, pinggirnya dilapisi kuningan dengan motif bunga, disampingnya kotak itu sebuah bingkai kayu coklat berisi foto Agus dan Novi, anak kang Ujang.
Selembar kain bercorak kotak-kotak warna biru dan putih menutupi bagian atas TV itu, disebelahnya tergeletak dua lembar koran bekas.
Dibawahnya, terdapat sebuah DVD player yang juga ditutupi kain dengan corak yang sama tapi lebih dominan warna birunya. Ke bawahnya lagi setumpuk majalah dan buku-buku bekas tertata rapih. Bagian belakang rak TV itu terdapat dus-dus dan galon bekas.
Diluar rumah berlantai dua itu sepi, hanya kedengaran deruman mesin mobil dari kejauhan, letak rumah itu sekitar 70 meter dari jalan besar.
Nyanyian Iwan masih terdengar, sebagian penghuni kos sudah masuk kamar masing-masing, kecuali saya, kang Ujang dan empat temannya yang masih terjaga.
Saya duduk diatas sofa coklat sudah agak kusam di depan TV agak ke kiri rapat tembok putih sebelah dalam, di sebelah saya duduk seorang pemuda tetangga sebelah, bercelana panjang hitam, matanya sudah setengah tertutup menahan kantuk terus menatap layar TV, bajunya tak dipakai hanya disampirkan dibahu kirinya.
Di depan dekat tangga ke lantai II, terdapat sebuah meja kayu berwarna kelabu, dengan tatakan gelas merah muda di atasnya, di sebelah kiri kanan meja terdapat dua kursi plastik warna merah. Jendela dibelakangnya sudah tertutup rapat gordinnya berwarna hijau lumut.
Pintu rumahpun sudah ditutup kang Ujang sejak jam 9 tadi.
Tak jauh dari tempat saya duduk, diatas lantai keramik putih, dengan corak wajik berwarna hijau dibagian tengah duduk kang Ujang dan tiga temannya.
“Bagi yang benar dong…”,kata pemuda yang berkaos merah duduk membelakangi TV, berhadapan dengan kang Ujang.
Sudah hampir sejam mereka bermain kartu, namanya “kartu sambung” kata kang Ujang.
Lembar demi lembar kartu berjatuhan dihadapan masing-masing mereka hingga berjumlah empat kartu tiap orang, sisa kartunya di taruh di tengah lingkaran itu.
4 lembar uang seribu-an diletakan di samping tumpukan kartu itu.
“Plaaak…” kartu dibanting kang Ujang di lantai tak lama setelah kartu dibagikan, “Masuk”, teriaknya dengan senyum lebar dibibirnya yang kehitaman akibat kebanyakan rokok.
Tiga temannya hanya bisa geleng kepala sembari menghela nafas panjang sambilo menatap gerakan tangan kang Ujang cekatan meraup lembaran seribu-an dihadapan mereka.
Dengkuran halus terdengar disamping saya, rupanya pemuda tadi suda tertidur pulas.
Kang Ujang mengumpulkan kembali kartu-kartu yang berserakan tadi, permainan akan kembali dilanjutkan. Dari layar TV masih terdengar nyanyian “ Penguasa…penguasa beri hambamu uang…beri hamba uang…” Iwan mengakhiri lagu pesawat tempurnya disambut teriakan histeris ratusan penggemarnya.

(Tulisan ini adalah tugas saya ketika mengikuti kursus JS IX Pantau di Jakarta)