Monday, November 30, 2009

Berita atau Iklan antara Bisnis dan Profesionalisme Media *

Bagaimana pelaku media lokal di Kupang bekerja?.


Oleh : Olyvianus Dadi Lado

Kalo menurut beta... Timor Express lebih utamakan iklan,” kata Paul Sinlaeloe, ia seorang pria berbadan tegap, bekerja di sebuah organisasi non pemerintah yang bernama Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR) di kota Kupang. Kantor tempat ia bekerja berlangganan harian pagi Timor Express (Timex). Saya mewawancarainya di posko relawan CIS Timor pada suatu malam di awal Maret lalu. Ia biasa dipanggil Ompol oleh kawan-kawannya.
“Kenapa begitu?”
Srrrruuuuuutt... ia menyeruput kopi hitam dari segelas plastik warna biru, “Bisa katong lihat sendiri to, di halaman pertama tu hampir-hampir tulisan Timor Express sa tatutup iklan,” katanya. “Sementara beritanya hanya sepotong-sepotong.”

***

Harian pagi Timor Express berada di jalan RA Kartini no 1A kelapa lima , mudah ditemui. Sejajar dengan pintu gerbang ke area wisata Gua Monyet dan Hotel Sasando, sebuah hotel berbintang tiga.

Kantornya sederhana, sebuah gedung satu lantai yang dicat biru. Memiliki halaman yang cukup luas semuanya disemen, berpagar terali besi di bagian depan dan tembok setinggi pinggang pada kiri dan kanannya. Bagian belakang langsung berbatasan dengan area wisata Gua Monyet.

Gedung itu selain menjadi kantor redaksinya, sekaligus kantor perusahaan PT Timor Express Intermedia. Harian ini juga dicetak di situ. Ruangan percetakan ada di bagian kiri. Ruang redaksi dan manajemen perusahaan di tengahnya. Di bagian kanan terdapat sebuah ruang yang cukup lega sebagai tempat pertemuan.

Ruang manajemen disekat menjadi tiga bagian, begitu pula dengan ruang redaksinya. Pemimpin redaksi menempati ruang kecil yang dibatasi oleh meja telepon dan lemari arsip dari kayu yang juga berfungsi sebagai meja komputer, ukuran ruang miliknya sempit sekitar satu meter persegi luasnya. Dekat pintu masuk ruang redaksi terdapat satu unit komputer yang dipakai Ronald Dio uantuk mendesain. Ruang lainnya adalah tempat para wartawan Timor Express bekerja. Ini ruangan paling ramai, ada sepuluh unit komputer di sana, dua lemari kayu untuk arsip di pojok. Meja-meja disusun menyusur tembok ruangan.
Satu ruangan lagi berisi tiga unit komputer dan satu unit printer, tempat kerja desainer grafis.

Harian ini hadir sejak tahun 2003. Kini sudah hampir enam tahun usianya. Awalnya hanya sepuluh orang, delapan wartawan, pemimpin redaksi dan redaktur pelaksana.

“Kami pakai nama harian pagi karena terbit sejak pagi. Periksa saja jam empat atau lima pagi pasti sudah didistribusi. Sekalipun isinya umum juga,” kata Simon Petrus Nilli, pemimpin redaksinya kepada saya saat pertama bertemu dua hari setelah saya menyampaikan surat permohonan dan pemberitahuan peliputan di harian tempat ia bekerja (25/02). Siang itu saya juga bertemu dengan direktur perusahaan PT Timor Intermedia Ekspres, Yusak Riwu Rohi dan Marthen Bana, salah satu redaktur pelaksana. Kami berbincang-bincang di ruang pertemuan mereka. Ruangan itu juga sering dipakai untuk keperluan rapat redaksi atau kegiatan-kegiatan lainnya. Bisa menampung sekitar 20-an orang. Mejanya ditaruh ditengah ruangan, kursi-kursi disusun mengelilinginya. Di depannya terdapat sebuah papan tulis putih. Tempat mereka menuangkan ide-ide peliputan saat rapat redaksi.

Awalnya, saya dikira mahasiswa yang hendak penelitian oleh Yusak Riwu Rohi, saya lalu menjelaskan isi surat kepadanya. Ia juga menanyakan alasan saya memilih Timor Express sebagai objek peliputan, “Karena Timor Express adalah koran besar di Kupang selain Pos Kupang, selain itu beberapa wartawan Timor Express sudah saya kenal,” kata saya.
“Wah berarti nanti lu bisa nepotisme lagi,” katanya. Saya hanya tersenyum mendengarnya.
Setelah ia jelas soal rencana peliputan saya, “Okelah kalau kamu mau tulis tentang Timex.” Akhirnya ia mengijinkan. Timor Express oleh publik Kupang lebih sering dikenal dengan nama Timex
“Bagaimana Simon? Kalo saya sih tidak ada persoalan ada orang yang mau tulis tentang kita,” tanyanya kepada Simon, lalu ia kembali sibuk menekan tombol pada pesawat telepone selularnya.
“Bolehlah, kapan mau mulai dan sampai kapan?” tanya Simon pada saya.
“Kalau bisa hari ini. Waktu saya hanya sampai 16 maret nanti.”

Hati saya lega, kesan saya dengan begitu akan lebih leluasa mendapat informasi dan data. Kemudian baru saya sadari kesan itu ternyata tak sepenuhnya benar. Saya memang leluasa berkunjung ke sana, bisa masuk ke ruang redaksi yang bagi orang luar dilarang keras, juga melihat langsung kerja mereka. Namun kesibukan mereka yang tinggi membuat mereka hampir tak punya waktu luang untuk diganggu dengan wawancara saya, maklum deadlinenya sangat ketat.

Sejak pagi jam sepuluh setelah rapat redaksi sampai jam sepuluh atau sebelas malam hampir-hampir tak ada waktu luang untuk mereka bersantai yang bisa bisa dimanfaatkan untuk wawancara. Ijin yang sudah saya dapatkan secara lisan dari para pimpinan itu juga tak berarti saya bisa mendapatkan dokumen-dokumen pendukung, untuk informasi oplah saja saya harus menunjukan surat tugas peliputan baru diberi tahu, itupun hanya oplah saat ini, tingkat perkembangan oplah per tahunnya tak saya dapatkan.

Orang pertama yang saya wawancarai adalah Simon Petrus Nilli, karena pemimpin redaksi, ia cenderung punya sedikit waktu luang ketimbang wartawan lainnya.

Simon belum lama menjadi pemimpin redaksi ia menggantikan Yusak Riwu Rohi, pemimpin redaksi sebelumnya. Ia tamatan fakultas pertanian Universitas Nusa Cendana. Rambutnya dipotong pendek, penampilannya sederhana, bicaranya cepat, siang itu ia berbusana serba cokelat. Simon biasa ia dipanggil mengawali karirnya sebagai wartawan di harian umum NTT Ekspres, harian yang sudah tidak terbit lagi. “Tahun 1999, setelah tamat kuliah.” Setelah NTT Ekspres bubar, ia bergabung dengan Timor Express, “Waktu itu diajak pak Yusak,” katanya.

Sabtu 21 Juni 2003. sejak pagi-pagi sekali Harian Pagi Timor Express mulai beredar di Kupang. “Waktu pertama terbit, oplahnya...kalau tidak salah, a..a..500 eksemplar,” kata Stenly Boimau kepada saya suatu malam di ruang pertemuan. Ia termasuk satu dari delapan wartawan pertama itu. Selama tiga hari, Timor Express dibagi gratis kepada pembaca di Kota Kupang, “Ya itu bagian dari promosi,” kata Stenly. Ia seorang anak muda yang selalu tampil necis. Malam itu ia mengenakan jaket jeans biru.

Awal mula ketertarikannya akan wartawan sudah sejak lama, “Saat itu saya masih kecil. Masih kelas enam SD”. Pada suatu sore di kampungnya di Oinlasi, ia serius mendengar siaran langsung pertandingan sepak bola di luar negeri dari stasiun Radio Republik Indonesia , suara reporter yang menceritakan jalannya pertandingan, jadi perhatian utamanya.
“Saya pikir-pikir, ini orang siapa dia? koq bisa ada di mana-mana. Bisa sampai ke luar negeri, bisa ada di mana saja,” ceritanya. Diam-diam itu menjadi obsesi Stenly kecil.
“Sempat hilang keinginan itu ketika kuliah dulu.”

Pada tahun 2000 ketika menunggu diwisuda sarjananya, ia mendengar ada lowongan jadi wartawan di harian Suara Timor, pimpinan Wens Rumung. “Tapi syarat utamanya harus sudah sarjana,” ia tak putus akal, setelah membuat lamaran, ia menemui sendiri pemimpin redaksi Suara Timor, “Saya sampaikan ke pak Wens, saya hanya menunggu wisuda saja.” Ia-pun diterima.
Di Suara Timor ia mengabdi setahun lebih, pada akhir 2002 ia bergabung ke harian Radar Timor. Di Radar Timor tak sampai setahun, pada pertengahan 2003 ia bergabung dalam pasukan Yusak Riwu Rohi di Timor Express.

Koran ini kemudian berkembang menjadi satu dari tiga koran besar di Kota Kupang, dua lainnya adalah Harian Umum Pos Kupang sekelompok dengan Kompas Gramedia Group dan Harian Umum Kursor sebuah harian lokal yang tak memiliki backing jaringan media besar. Timor Express sendiri berada dibawah Fajar Group bagian dari jaringan berita Jawa Pos Group, salah satu jaringan berita besar di Indonesia.

Dari oplah awalnya 500, memasuki hampir enam tahun usianya oplah Timor Express meningkat tajam. “Saat ini oplahnya 25.000,” kata Haeruddin, manajer iklannya kepada saya suatu siang di ruang kerjanya. Haeruddin seorang pria asal Ujung Pandang, etnis Bugis.

Perusahaan penerbit PT Timor Express Intermedia yang menerbitkan harian ini dikomandani oleh Sultan Eka Putra sebagai direktur utamanya, posisi kunci yang dipegang oleh orang dari luar Fajar hanya satu, direkturnya yaitu Yusak Riwu Rohi.
Pembina perusahaan ini adalah HM Alwi Hamu, ia salah satu pemain lama dalam bisnis ini, ia juga pendiri harian Fajar, koran besar di luar Jawa bersama Aksa Mahmud dan HM Jusuf Kalla. Saat ini menjabat sebagai Direktur Utama PT Media Fajar.
Sedang komisaris utama PT Timor Express Intermedia adalah Syamsu Nur, juga menjabat sebagai wakil direktur di PT Media Fajar. Di jajaran komisaris ada Suwardi Thahir yang juga direktur Fajar TV, Ridwan Arif direktur keuangan PT Media Fajar dan ada Agus Salim Alwi yang juga direktur pemasaran di PT Media Fajar.

Timor Express memiliki 20-an wartawan, mulai dari pemimpin redaksi hingga yang baru magang. “Jumlah pastinya saya tidak tidak tahu, tapi sampai duapulhan lah,” kata Simon. Marthen Bana, salah satu redaktur pelaksananya-pun tak memberikan jawaban ketika saya tanyakan lewat SMS. Begitu juga dengan Stenly, redaktur Kota juga tak memberi jawaban angka pasti.

Perekrutan wartawan di Timor Express-pun bertahap, “Syarat utamanya harus yang sudah sarjana,” kata Simon. Menurutnya mereka yang melamar menjadi wartawan di Timor Express harus mengikuti serangkaian tes, seperti menulis khususnya jenis straight news.
“Awal diterima magang dulu,” kata Christo Embu menceritakan pengalamannya ketika masuk ke Timor Express. Ia termasuk angkatan pertama yang perekrutannya dilakukan secara resmi, “Saya masuk pada tiga agustus 2004,” katanya.

Christo berasal dari Maumere, ia seorang pria bertubuh kurus, berambut ikal, sebagian sudah memutih sekalipun usianya baru mau 30 tahun. Mengenal dunia menulis sejak kuliah di Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana, “Waktu itu saya aktif di organisasi PMKRI. Di situ saya mulai belajar menulis karena organisasi kami punya buletin. ” PMKRI adalah kependekan dari Perkumpulan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia, sebuah organisasi ekstra universiter bagi mahasiswa Katholik. Pada tahun 2002 setelah tamat kuliah, ia diajak seorang seniornya yang sudah menjadi wartawan di harian Cendana Pos untuk kerja di situ sebagai wartawan.

Mulailah ia menekuni profesi wartawan, “Awalnya hanya coba-coba. Tapi karena ada minat dan kemauan, saya terus belajar, akhirnya bisa.”
Hanya enam bulan di Cendana Pos, ia lalu bergabung ke Suara Masyarakat. Masa itu di Kupang banyak sekali muncul media yang usianya seumuran jagung. Hanya setahun, ia kemudian bekerja pada tabloid Solusi, itu pun tak lama hanya enam bulan, “Jadi genap dua tahun saya kenal dunia wartawan baru saya bergabung ke Timor Express.”

Dari 20-an orang yang melamar jadi wartawan di Timor Express pada waktu itu, hanya tiga orang yang lolos seleksi, Christo termasuk salah satunya.
Ia magang selama tiga bulan,”Di Timor Express itu, masuk pertama magang dulu, setelah itu kalau dilihat kinerja kita bagus baru statusnya jadi reporter. Tapi masih kontrak,” jelasnya. Ia hanya membutuhkan tiga bulan untuk magang, karena dinilai cukup produktif, ia diangkat jadi reporter pada desk kota, “Kawan lain masih magang. Ada yang sampai enam bulan,” katanya.

Status karyawan di Timor Express dibagi dua bagian, “Organik dan non organik,” kata Simon. Ini mengingatkan saya akan istilah-istilah yang akrab dengan dunia militer. Kalau non organik, ia hanya terikat kontrak berdasarkan waktu tertentu, upahnya pun berbasis kinerja, “Kalau untuk wartawan upah tergantung jumlah berita yang dihasilkan,” kata Christo. Sedang yang organik, upahnya sudah tetap tiap bulannya. Biasanya yang organik namanya dicantumkan dalam kolom profil perusahaan di bagian bawah rubrik opini Timor Express.

Mengenai upah wartawannya, “Ohhhoo kalau saya mau bilang jauh di atas UMP. Gaji untuk karyawan paling rendah di sini saja jauh di atas,” kata Simon. Sayangnya ia tak menyebut berapa jumlahnya, mungkin ini rahasia perusahaan. Upah Minimum Provinsi (UMP) di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun 2007 adalah Rp. 650.000,-

Untuk pengembangan kapasitas wartawannya, secara regular, manajemen Timor Express selalu mengirimkan wartawannya mengikuti pelatihan jurnalistik yang diadakan oleh jaringannya maupun pihak lain. “Dalam setahun bisa empat sampai lima kali. Baik yang dibuat oleh grup maupun undangan dari luar,” kata Simon.

Christo mengaku kepada saya, sejak ia bekerja di Timor Express, belum sekalipun ia dikirimkan mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh grup Jawa Pos maupun Fajar, “Tapi saya pernah ikut pelatihan jurnalistik yang dibuat oleh BII dan pelatihan jurnalistik bagaimana media meliput dan menulis tentang UKM di Ende oleh Pantau.”

Pantau adalah sebuah lembaga yang konsern pada pengembangan jurnalisme di Indonesia, pusatnya di Jakarta memiliki kantor sindikasi di Acheh dan Ende. Dulunya ia menerbitkan majalah Pantau, setelah majalah itu tak terbit lagi, tulisan dari puluhan kontributornya dimuat secara on line di www.pantau.or.id.

“Minimal sekali setahun itu ada pelatihan bagi wartawan grup Jawa Pos dan Fajar. Sampai satu bulan lamanya. Biasa di Surabaya atau di Makasar,” kata Christo. Menurut Simon, pelatihan untuk peningkatan kapasitas wartawan-wartawan Jawa Pos Group macam-macam, termasuk tentang hukum.

Saat ini Timor Express memiliki enam tenaga desainer atau layouter yang di Timor Express disebut sebagai bagian pra cetak. Masing-masing mendapat jatah libur sehari dalam seminggu, “Kadang dipanggil juga kalau ada kebutuhan mendesak,” kata Simon suatu malam pada saya di ruang redaksi. Jadual tugas mereka ditempel pada papan putih di tembok ruangan itu.

Setiap hari mereka masuk kerja pada malam hari mulai sekitar jam delapan terutama yang bertugas mendisain iklan harus masuk lebih awal.
“Kadang beta sering terlambat karena biasa datang, berita belum beres, lama tunggu. Jadi beta biasa masuk tu jam-jam sembilan begitu,” kata Ronald Dio, ia sudah tiga tahun bekerja sebagai desainer di Timor Express. Biasa ia dipanggil teman-temannya Rolex. (beta : saya dalam bahasa Kupang)

Yang bertugas mendesain halaman enam sampai sembilan belas lebih dulu bertugas karena bagian ini yang harus dicetak lebih dulu, ”Biasanya itu dicetak sekitar jam 11. tapi tergantung juga, kadang bisa mundur atau maju,” kata Rolex kepada saya lewat telepon pada suatu malam di akhir Februari lalu.

Harian pagi Timor Express terdiri dari tiga bagian. Pertama halaman satu sampai delapan sebagai halaman utamanya, halaman sembilan sampai enam belas adalah bagian yang berisi informasi dari daerah, sedang bagian terakhir halaman 17 sampai 20 berisi informasi hiburan dan olah raga. Setelah bagian yang berisi informasi daerah, barulah dicetak bagian utamanya halaman satu sampai delapan. Yang paling akhir adalah olah raga dan hiburan.

Bagian percetakan sebanyak enam orang sudah mulai beroperasi sejak jam sepuluh, mulai dengan memanaskan mesin cetak bermerk King press. Mereka baru berhenti setelah halaman terakhir selesai dicetak. Selanjutnya bagian sirkulasi mulai beraksi.

Untuk distribusi di kota, Timor Express memiliki sebuah sepeda motor yang memiliki gandengan bak di belakangnya. Sejak pagi-pagi sekali, koran ini sudah tiba di tangan pelanggannya. Menurut Yan T Tandi, manajer keuangannya, pelanggan Timor Express saat ini mencapai angka 8000.

Selain kepada para pelanggan Timor Express juga mengandalkan para agen dan pengecernya. “Tiap daerah ada satu sampai dua agen. Kalau di kota ada 15 agen,” kata Yan kepada saya saat bertemu dalam sebuah pesta syukuran wisuda di sebuah RSS di daerah Baumata di luar kota Kupang. Ia berasal dari Toraja, sudah bekerja di PT Timor Express Intermedia sejak awal berdirinya perusahaan ini.

Berita di Timor Express laiknya media mainstream lainnya, kebanyakan ditulis dengan gaya straight. “Ada juga yang jenis tulisan byline,” kata Simon. Yang dimaksud tulisan byline oleh Simon, menurut saya adalah jenis berita soft news atau feature. Di Timor Express, ia biasa ditempatkan di halaman pertama di bagian bawah. Ia disebut byline karena pada tulisan ini juga dicantumkan nama penulisnya. Menurut Simon, pencantuman nama penulis pada bagian atas tulisan itu bermakna penghargaan karena tulisan itu adalah murni hasil kerja si wartawan sendiri, “Itu menandakan bahwa si wartawan memiliki kemampuan di atas rata-rata.” Menurutnya hal ini sudah menjadi ciri di lingkungan Jawa Pos Group. “Kita sangat menghargai karya jurnalistik seseorang”.

Kata byline dalam bahasa Inggris berasal dari kata ‘by’ artinya oleh dan ‘line’ artinya baris. Ia merujuk pada sebuah baris dekat judul berita yang berisi nama orang yang menulis berita itu. Menurut kamus Merriam-Webster's Collegiate Dictionary, kata ini masuk ke dalam perbendaharaan bahasa Inggris, artinya terekam pertama kalinya dalam perbendaharaan bahasa Inggris pada 1938 .

Sejarah penggunaan byline sendiri mulai diperkenalkan oleh Charles S. Taylor, seorang jendral yang lantas jadi "publisher" harian The Boston Globe, sesudah perang saudara Amerika, pada tahun 1850-an. Taylor sering jengkel karena selama perang ada saja wartawan yang menulis dengan judul, "Berita Penting Jika Terbukti Benar." Ia memutuskan menaruh nama para wartawannya pada berita-berita yang diterbitkan The Boston Globe. Ini membuat wartawan the Boston Globe menjadi lebih berhati-hati dengan berita yang mereka laporkan.

Di Indonesia, masih sangat sedikit media yang menggunakan byline dalam setiap beritanya. Di tingkat nasional saya pernah membaca Harian Sinar Harapan, yang sudah menggunakannya pada semua beritanya, saya membacanya dalam penerbangan dari Jakarta ke Kupang pada pertengahan Februari lalu. Juga ada The Djakarta Post yang sudah menerapkannya sejak 2001. Di Nusa Tenggara Timur, setahu saya baru Flores Pos yang mencantumkan nama wartawan pada beritanya, tak tanggung-tanggung nomor telepon si wartawan juga dicantumkan.

Menurut Bill Kovach dalam tulisan Andreas Harsono pada website pantau, esensi penggunaan byline adalah akuntabilitas wartawan kepada publik. Sehingga publik bisa tahu dan menilai kualitas tulisan dan liputan si wartawan, dengan sendirinya wartawan akan terpacu untuk menaikan kualitas tulisan dan liputannya.

Simon mengatakan bahwa pada straight news hanya dicantumkan kode wartawan dengan beberapa alasan. “Untuk keamanan si wartawan,” katanya. Selain itu straight news juga merupakan hasil kerja tim, ”Itu kenapa pada straight news kita hanya pakai kode.”

Secara umum, menurut Simon yang membedakan Timor Express dengan koran lain adalah, “Timex bercirikan investigasi, makanya kita bilang Timor Express itu cerdas dan konsisten.” Ia mencontohkan berita tentang kasus dugaan keterlibatan Agus Talan, ketua DPRD kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dalam pembunuhan Paulus Usnaat. “Timor Express ikuti terus perkembangan kasusnya. Segala sisi kita telusuri, siapa itu Agus Talan, bagaimana keluarganya, kehidupan mereka, hubungan dengan korban, apakah benar dia terlibat? Jadi semuanya kita investigasi.” Jelasnya. Namun ia mengakui bahwa secara tertulis Timor Express tidak punya standar atau panduan tersendiri tentang peliputan investigatif, “Seperti tahapan yang umum dipakai. Hanya kita selalu menekankan agar semua sisi dilihat.”

Paulus Usnaat pada Juni 2008 lalu ditemukan tewas dalam sel polisi sektor Numpene. Di tubuhnya ditemukan dua sobekan luka akibat benda tajam dan kerusakan pada kemaluannya. Kematiannya mengundang reaksi masyarakat luas. Pihak kepolisian mulai dari tingkat resort di TTU, Kepolisian Daerah (Polda) NTT hingga Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) ikut turun tangan. Sampai sekarang kasus ini masih dalam penyidikan.

Timor Express konsisten memberitakan kasus ini sejak awal sampai sekarang. Penelusuran saya di situs online www.timorexpress.com menunjukan konsistensi pemberitaan itu. Mulai dari reaksi masyarakat, perkembangan penyidikan, hingga sisi lain korban dan para tersangka ikut diberitakan.
Pemberitaannya makin intens pada bulan januari hingga maret 2009.

Berita ini jika dilihat dari nilainya, relevan dan perlu diketahui publik karena ada keterlibatan pejabat publik di sana (polisi dan DPRD) ini mengindikasikan terjadinya pelanggaran HAM dan yang terutama ada nyawa manusia yang dihilangkan secara paksa.

Pada sisi lain, kecenderungan minat baca masyarakat di NTT lebih tinggi kepada berita-berita kriminal dan politik ikut menyumbang pada kontinuitas pemberitaan di media lokal terkait kriminalitas dan politik. Dalam sebuah diskusi yang pernah saya ikuti bertajuk “Kermana Memajukan Katong Pung Jurnalisme” di Studio I RRI pada 2005 lalu, hal ini menjadi bahan diskusi para pelaku media yang berkumpul saat itu, mayoritas peserta mengatakan bahwa media di Kupang lebih sering mengangkat isu kriminalitas dan politik karena tuntutan pembaca yang dalam bahasa Dion DB Putra saat diskusi itu, “Ini provinsi PNS bung”. Dion DB Putra adalah pemimpin redaksi Harian Umum Pos Kupang. Ia menjadi salah satu pembicara dalam diskusi itu.

Dari penelusuran terhadap arsip pemberitaan di Timor Express melalui situs on line-nya, ada kecenderungan yang dimaksud dengan liputan investigatif ala Timor Express lebih pada berita kriminal sedang berita-berita politik jarang sekali diliput secara mendalam. Sebagai contoh, pemberitaan mengenai Setya Novanto calon legislatif DPR RI Daerah Pemilihan (Dapil) NTT II hanya berkisar tentang kegiatan-kegiatan sosialnya yang bernuansa kampanye dan penolakan terhadap pencalonan kembali dirinya oleh Forum Komunikasi dan Silahturahmi Pemuda NTT Bersaudara (Forsatu) yang mengaku mewakili masyarakat NTT di empat kabupaten di pulau Sumba. Pulau Sumba masuk dalam Dapil II NTT.

Setya Novanto adalah politisi partai Golongan Karya yang menjadi wakli rakyat NTT di DPR RI periode 2004-2009, saat ini ia kembali dicalonkan lewat partai yang sama. Ia kelahiran Bandung dan dibeasrkan di Surabaya.

Pada Februari 2005 dan Juli 2006 di beberapa media nasional ia pernah diberitakan memiliki kaitan dengan dugaan penyelundupan 60 ribu ton beras asal Vietnam . Lainnya yang juga sempat heboh adalah soal kunjungannya bersama Allen Marbun ke gedung KPK pada Oktober 2008 lalu terkait usulan anggaran pembangunan gedung kantor KPK sebesar 90 miliar, sempat menjadi pemberitaan di beberapa media nasional hingga februari 2009.

Sisi lain Setya Novanto ini tak disinggung dalam setiap pemberitaan tentang dirinya di media lokal Kupang termasuk Timor Express sekalipun dalam arsip berita di JPNN, jaringan berita milik Jawa Pos Group, terdapat dua berita tentang kunjungan Setya Novanto ke KPK. Dari sisi relevansi berita, ini menjadi penting diketahui oleh publik NTT karena ia adalah calon wakil rakyat NTT di senayan nanti.

Jemris Foentuna, ketua AJI kota Kupang dalam sebuah wawancara, kepada saya mengatakan, dalam mengelola sebuah media, urusan bisnis dan redaksi jalan sama-sama, yang kemudian menjadi soal adalah ketika ada berita yang yang memiliki dampak luas bagi masyarakat dan saat yang bersamaan pihak yang terkait berita itu memasang iklan dengan harga tinggi, “Di situlah independensi media di pertaruhkan.”

Konsistensi Timor Express dalam observasi saya lebih mengarah kepada berita. Bagaimana dengan tampilannya?

Hampir setiap terbitan berubah tata letaknya, mulai dari halaman depan hingga belakang. “Di depan itu, yang tetap hanya kolom kiri dengan kolom bawah atau banner,” kata Rolex. Perubahan tata letak itu dipengaruhi oleh jumlah iklan.
Tata letak di tiap halamannya oleh tim pra cetak dimulai dengan penempatan iklan, setelah itu baru penempatan beritanya. Ini memberi peluang kepada para desainernya untuk memotong berita -umumnya ini adalah tugas editor- agar bisa muat pada ruang yang tersisa. Untungnya struktur penulisan yang dipakai adalah piramida terbalik sehingga pemotongan yang dilakukan oleh para desainer tidak mengurangi substansi pemberitaan.

Mungkin ini yang dimaksudkan Stenly, ketika saya tanyakan tentang ciri khas Timor Express yang membedakannya dari koran lain di Kupang, ia mengatakan Timor Express itu memberikan sesuatu sesuai selera pembaca di daerah itu, “Orang Kupang khan sukanya yang pedis dan rame. Jadi kita juga menyesuaikan dengan itu,” katanya. Kata yang tepat untuk itu mungkin dinamis bukan konsisten.

“Timex itu fleksibel, jika iklan banyak kita tambah halaman. Intinya iklan jangan mempengaruhi berita,” kata Simon ketika saya tanyakan apakah ada standar jumlah iklan pada setiap halaman Timor Express. Pada terbitan Jumad tanggal 06 Maret 2009, karena banyaknya iklan yang masuk, Timor Express menambah empat halaman dari biasanya hanya 20 halaman menjadi 24 halaman. Iklan yang menyebabkan penambahan halaman pada edisi saat itu adalah ucapan selamat atas pelantikan Bupati dan Wakil Bupati kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) periode 2009-2014 memakan tiga halaman penuh. TTS adalah sebuah kabupaten di sebelah timur yang berkarak sekitar 100-an kilometer dari Kupang.

Batasan antara iklan dan berita di Timor Express masih kabur, hampir setiap halaman Timor Express ada iklannya, selain itu garis pembatas antara iklan dan beritapun tak ada, mungkin ini kebijakan internal Timor Express. Pada media-media besar di luar negeri yang budaya jurnalismenya sudah maju, garis batas antara iklan dan berita dibuat tegas. Garis batas itu disebut Firewall (pagar api).

Kehadiran pagar api ini menjelaskan kepada publik bahwa iklan terpisah dari editorial. Ini juga bagian dari pertanggungjawaban kepada publik. Banyak media sekarang mencampuradukan iklan dan berita, ini kemudian memunculkan istilah advertorial. Advertorial berasal dari dua kata, advertising dan editorial. Ini dua hal yang berbeda. Parahnya lagi advertorial yang dimuat tidak dijelaskan secara jujur kepada publik, sehingga terkadang publik menganggapnya sebagai berita.

Di Timor Express menurut Simon, setiap advertorial ada penjelasan atau tulisan advertorial di atasnya sebagai tanda. “Atau kita beri kode adv di bagian bawahnya.”

Dalam sebuah kesempatan pada akhir Februari lalu, saya menunjukan sebuah tulisan yang dimuat di Timor Express pada Selasa 3 Februari 2009 kepada Paul Sinlaeloe, ia aktifis yang bekerja di PIAR NTT. Lembaga tempat ia bekerja termasuk pelanggan Timor Express.

Tulisan itu berada di halaman pertama bagian bawah. Judulnya “Berjuang Untuk Orang Timor”. Di situ ada gambar tokoh dalam tulisan itu, Eurico Guterres. Ia terkenal ketika pecah konlik setelah referendum di Timor Timur pada 1999 lalu, saat itu ia dikenal sebagai wakil pejuang pro integrasi. Sempat diadili di Jakarta dan dipenjara tapi kemudian dibebaskan karena terbukti tak bersalah di pengadilan. Ia juga ketua Partai Amanat Nasional di NTT, saat ini ia dicalonkan untuk mewakili rakyat NTT di senayan pada pemilu legislatif 2009 nanti. Tulisan itu menceritakan tentang visi dan misinya. Panjang tulisan itu 17 alinea, empat kolom. Dua alinea di halaman pertama, sisanya bersambung ke halaman tujuh. Pada akhir tulisan terdapat kode (*/vit/adv). Itu tanda bahwa tulisan ini adalah sebuah advertorial.

Saya lantas menanyakannya kepada Paul SinlaELoe, yang oleh sesama aktivis sering dipanggil dengan nama Ompol.
“Ompol, menurut lu tulisan ini apa?”
“Itu berita, tapi terkesan penuh promosi,” katanya.
Saya tak heran, karena sebelumnyapun ketika pertama membaca tulisan ini, sangka saya berita, kemudian baru saya ketahui sebagai advertorial setelah mendengar cerita beberapa kawan wartawan tentang arti kode adv pada akhir tulisan itu. Ini menimbulkan tanya dalam hati, mungkinkah pembaca atau masyarakat lain juga tahu akan hal ini?

Berkaitan dengan penegakan profesionalisme wartawan, Simon mengatakan bahwa rujukan Timor Express ada pada Undang Undang Pers No 40 tahun 1999 dan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Timor Express sangat tegas, jika ada wartawannya yang melanggar kode etik,”Apalagi berkaitan dengan “Amplop”. Bisa langsung dipecat.”

Yang dikategorikan sebagai “Amplop” menurut Timor Express, ”Pemberian uang oleh seseorang dengan tujuan untuk kepentingan dimuat atau tidak berita tentang dirinya.” Kata Simon, lebih mengarah kepada sogokan. Sedang pemberian uang transport atau uang duduk oleh nara sumber untuk peliputan kegiatan pejabat atau perusahaan yang mengundang wartawan atau saat konferensi pers, “Itu bagian dari sponsorship. Ada MoU-nya,” kata Simon. Sangka saya yang dimaksud dengan sponsorhip itu adalah yang sering diistilahkan dengan advertorial, ternyata oleh Simon, yang dikatakan advertorial beda dengan sponsorship.

Menurut Haeruddin, manajer iklan Timor Express, dulu istilahnya advertorial, “Sekarang kita di media memakai istilah iklan layanan masyarakat atau sponsorhip,” katanya. Sementara itu menurut Yan Tandi, manajer keuangan Timor Express, advertorial memiliki kontrak atau MoU sedang undangan peliputan atau konferensi pers, “Tidak ada MoU-nya. Kalau ada pemberian dari nara sumber itu langsung pada wartawan yang liput, perusahaan tidak minta.”

Christo Embu, kepada saya suatu pagi di minggu kedua Maret belum lama ini mengatakan pemberian “Amplop” oleh nara sumber sangat sering terjadi dan itu tantangan tersendiri bagi wartawan karena kadang pemberian itu dengan kompensasi tertentu, “Saya jujur saja, kalau pemberian uang atau fasilitas oleh nara sumber pernah saya terima. Tapi itu memang karena diberi, saya tidak pernah minta.” Ia mengatakan sangat pantang baginya untuk meminta sesuatu dari nara sumber.

Pengalamannya, jika peliputan yang dilakukan karena undangan oleh nara sumber atau pihak yang menginginkan publikasi, perusahaan tidak menanggung ongkos peliputan seperti transportasi dan akomodasi, “Itu tanggungjawab yang mengundang,” katanya. “Dan tidak ada MoU-nya, kecuali yang memang advertorial baru ada MoU,” lanjut Christo ketika saya tanyakan apakah peliputan seperti itu ada kontrak dengan perusahaan?

Ia mengatakan, biasanya kalau diundang untuk ikut konferensi pers itu ada alokasi anggaran untuk uang duduk atau pengganti transport wartawan, “Kalau yang begitu, dikasih saya terima. Tapi saya bilang ke nara sumber, isi berita saya tidak akan dipengaruhi oleh pememberian ini. Berita saya tidak pernah di luar dari fakta yang ada atau menyerang pribadi seseorang”.

Selama menjadi wartawan ia baru dua kali mendapat komplain dari pembaca, “Itu ketika saya sudah pegang desk kriminal. Tapi waktu masih reporter lapangan atau di daerah dulu tidak pernah ada komplain pembaca,” katanya. Ia pernah tiga tahun menjadi wartawan di Maumere kabupaten Sikka di pulau Flores.

Simon mengatakan pada prinsipnya, jangan pernah ada wartawan yang minta atau melakukan pemerasan terhadap nara sumber, “Ketahuan bisa langsung di eksekusi.” Ia menceritakan baru beberapa bulan lalu ada seorang wartawannya yang ketahuan mencoba memeras seorang pejabat dipecat, “Tidak ada ampun.” Katanya.

Defenisi “Amplop” yang beragam di kalangan wartawan bukan hal yang baru, dalam survey media dan jurnalis Indonesia oleh AJI di 17 kota pada tahun 2005, ditemukan bahwa penilaian responden (wartawan) tentang pemberian narasumber yang dikategorikan sebagai “Amplop” paling banyak masih menilai “Amplop” sebatas pemberian sejumlah uang (85,5%), barang bernilai seperti tape recorder, handphone dsb sebanyak 65,0%, pemberian akomodasi peliputan seperti narasumber menanggung biaya penginapan dan keperluan wartawan selama liputan bersama narasumber sebanyak 36,8%, perjalanan liputan seperti pemberian fasilitas transportasi gratis kepada wartawan yang menyertai narasumber sebanyak 33,0%, pemberian souvenir seperti kalender, stiker dan kaos 26 %, fasilitas gratis untuk liputan seperti tiket pertandingan olah raga atau pertunjukan musik, hiburan dan film sebanyak 24,0% dan hanya 18,8% yang menilai bahwa jamuan makan malam oleh narasumber sebagai “Amplop”.

Keragaman pemahaman wartawan atas defenisi “amplop” seperti yang ditemukan AJI dalam surveynya itu juga terjadi di Timor Express sekalipun menurut Simon Petrus Nilli, pemimpin Redaksinya, kerja wartawan Timor Express selalu merujuk pada UU Pers No 40 thn 1999 dan KEWI. Timor Express sendiri menurutnya tak punya standar tertulis bagi wartawannya terkait amplop kecuali SOP perusahaan yang berlaku bagi semua karyawan. “Tapi setiap wartawan kita selalu briefing,” kata Simon.

Dalam KEWI, tentang “Amplop” ada pada pasal 5, berbunyi “Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi”, penjelasan atas pasal itu berbunyi, “Wartawan Indonesia selalu menjaga kehormatan profesi dengan tidak menerima imbalan dalam bentuk apapun dari sumber berita/nara sumber berita, yang berkaitan dengan tugas-tugas kewartawanannya, dan tidak menyalahgunakan profesi untuk kepentingan pribadi atau kelompok.”


***

Malam itu, saya dan Ompol berdiskusi hingga jelang subuh tentang media lokal di Kupang. Menurutnya Timor Express termasuk koran yang cukup berani, “Kalau berita tentang korupsi cukup vulgar. Ini sangat membantu untuk kerja-kerja advokasi kasus korupsi.”
Saat membaca koran ia selalu mencari berita tentang kasus korupsi. Itu yang akan ia baca lebih dulu, “Baru yang lain,” katanya.
“Cuman yang beta jengkel, katong baca berita musti basambung pi halaman lain tu yang bikin malas.”

(Katong : kita, basambung : bersambung, pi : ke)

Keterangan :
* Tulisan ini adalah bagian dari keikutertaan saya dalam program fellowship yang diselenggarakan AJI Indonesia. Tulisan ini sudah dipublikasikan bersama tulisan peserta lainnya dalam buku Wajah Retak Media yang diproduksi AJI bersama Tifa Foundation setelah melewati tahap editing dengan judul Menjala Iklan Ala Timex.

Referensi :
1.www.pantau.or.id
2.www.pantau.or.id
3.Arsip berita SELASA, 30 SEP 2008, | 143 www.timorExpress.com.
4.www.kompas.com, www.detiknews.com, dan www.tempointeraktif.com.
5.www.sinarharapan.co.id, www.fajar.co.id, www.jawapos.com, dan www.gatra.com
6.Baca halaman 1 Harian Pagi Timor Express edisi Selasa 3 Februari 2009.
7.Potret Jurnalis Indonesia, suvey AJI tahun 2005 tentang Media dan Jurnalis Indonesia di 17 Kota
8.Menggugat Pratek Amplop Wartawan Indonesia, 2003

Dari Kebun ke Dapur dulu baru ke Pasar (Pengkajian tingkat kesejahteraan petani di lima desa di kabupaten Belu 2009)

Oleh : Olyvianus Dadi Lado

Pada Juni 2009 lalu, NTT Policy Forum (NTT PF) bersama Oxfam GB melakukan studi lapangan mengenai Ketahanan Pangan Berkelanjutan di desa Mandeu Raimanus, Teun, Baudaok, Tukuneno dan Naekasa di Belu. Respondennya berasal dari rumah tangga petani yang ditentukan berdasarkan tingkat kesejahteraan. Total respondennya 10% dari populasi penduduk desa. Keterwakilan setiap kategori kesejahteraan didasarkan pada
proporsi kategori kesejahteraan dalam populasi. Keempat kategori kesejahteraan itu adalah : Rumah tangga kategori Mampu, kategori Sedang, kategori Kurang dan Rumah tangga kategori Perempuan kepala keluarga. Metode pengambilan datanya dilakukan melalui FGD, Survey Pasar dan Testimoni perwakilan setiap kategori kesejahteraan.

Hasil studi lapangan juga sudah dipresentasikan di Atambua dalam kegiatan NTT PF III yang diselenggarakan oleh NTT PF, Bappeda Belu, Oxfam GB dan CIS Timor pada akhir Oktober lalu.

Berikut ada beberapa pertanyaan kunci untuk membawa kita masuk ke cerita dibalik hasil studi lapangan ini.

Apa yang dimiliki rumah tangga petani di desa untuk memproduksi pangan?
Lebih dari 80% penduduk di lima desa lokasi studi lapangan ini bermata pencaharian sebagai petani. Musim hujan yang pendek hanya 3-4 bulan saja dalam setahun membuat mereka hanya mampu mengolah kebun atau sawah sekali setahun, hanya beberapa keluarga yang beruntung yang memiliki lahan pertanian dekat sumber air yang bisa menanam dua kali dalam setahun dan menanam lebih dari satu jenis tanaman pangan.

Dalam studi lapangan ini juga ditemukan bahwa sekalipun rata-rata setiap rumah tangga memiliki lahan pertanian sendiri namun mereka hanya mampu mengerjakan 25-40% dari keseluruhan potensi lahan yang mereka miliki (rerata luas lahan yang digarap < 1 Ha). Kategori rumah tangga yang mengolah lahan paling sempit dibanding kategori rumah tangga lainnya adalah Rumah Tangga Perempuan Kepala Keluarga.

Akses akan sarana produksi yang terbatas menjadi salah satu penyebabnya. Rata-rata rumah tangga petani hanya memiliki 3-4 jenis alat pertanian yakni cangkul, tajak, linggis dan parang. Hanya 1-2 rumah tangga kategori Mampu yang memiliki akses yang cukup akan peralatan pertanian yang lebih modern seperti traktor tangan dan perontok padi.

Sebab lainnya adalah terbatasnya tenaga kerja produktif, rata-rata dalam sebuah keluarga hanya ada 1-2 tenaga kerja yang produktif dengan tingkat pendidikan formal kepala keluarga rata-rata pada tingkat SD bahkan sebagian besar di antara mereka terutama dari rumah tangga kategori Sedang, Kurang dan Perempuan, tidak tamat SD. Selain itu, berdasarkan hasil FGD dan verifikasi saat workshop ditemukan bahwa penyuluhan pertanian di desa-pun masih rendah dan belum merata.

Temuan ini dalam workshop di Atambua pada akhir Oktober lalu juga dibenarkan oleh peserta workshop dari unsur perwakilan petani desa, menurut mama Margawati Luan dari desa Mandeu Raimanus, tahun ini kemungkinan besar mereka akan terlambat menanam. Itu berarti masa paceklik atau krisis pangan petani di desa menjadi semakin panjang. Rata-rata dalam setahun rumah tangga petani di desa mengalami krisis pangan selama 6- 8 bulan.

Bagaimana kondisi pangan rumah tangga petani saat ini?
Hampir semua kategori rumah tangga petani di lima desa lokasi studi lapangan mengatakan hasil panen mereka tak mencukupi kebutuhan makan keluarga dalam setahun. Kebutuhan makan anggota keluarga setiap kategori rumah tangga petani berkisar antara 200-300 kg/kk/tahun tidak sebanding dengan hasil panen rata-rata setiap rumah tangga petani dalam setahun yang hanya berkisar 100 s.d 300 kg. Jika melihat pada kisaran angka reratanya bisa diasumsikan hasil panennya cukup untuk makan keluarga setahun, namun pada kenyataannya hasil panen itu tidak hanya untuk dimakan namun juga dijual sebagian untuk membeli keperluan rumah tangga yang lain, biaya kesehatan dan biaya sekolah anak maka dalam setahun rumah tangga petani terutama kategori Kurang dan Perempuan selalu mengalami kekurangan pangan.

Apa yang diharapkan rumah tangga petani untuk bertahan?
Umumnya rumah tangga petani menggunakan beberapa cara yang sudah ada seperti, merubah porsi makan dari 3 kali sehari menjadi hanya 2 kali sehari, merubah menu makan harian, meminjam bahan pangan dengan sistim pinjam 1 ganti 2 saat panen, mengharapkan bantuan gratis dari kerabat dan yang terakhir adalah membeli.

Selain mengandalkan hasil tanaman pangan yang dijual, rumah tangga petani di desa juga memiliki alternatif pendapatan yang bisa mendatangkan uang bagi mereka. Rata-rata pendapatan keuangan mereka berkisar < 1 s.d 7 juta rupiah. Yang paling kecil pendapatan keuangannya adalah Rumah tangga kategori Sedang, Kurang dan Perempuan, sedang rumah tangga kategori mampu rata-rata memiliki pendapatan hingga tujuh juta rupiah dalam setahun, ini karena rumah tangga kategori ini rata-rata bekerja sebagai PNS yang memiliki gaji, memiliki usaha kios serta memiliki usaha alternatif lainnya yang menghasilkan uang.

Aset lain yang bisa diandalkan saat krisis pangan terjadi adalah barang berharga mereka seperti peralatan elektronik, perhiasan dan kain tenun. Sekalipun semua kategori rata-rata memiliki barang berharga namun rerata nilainya hanya mencapai dua juta rupiah.

Selain itu, rumah tangga petani juga bisa menjual ternak peliharaannya membeli bahan pangan namun sangat jarang karena justeru kebanyakan petani menjual ternaknya untuk keperluan pendidikan anak, pengobatan, ongkos acara adat atau pembangunan rumah. Pada aspek ini, kembali rumah tangga kategori mampu yang paling memiliki ketahanan karena ia memiliki lebih banyak ternak seperti sapi, babi, kambing, dan ayam sedang rumah tangga kategori Kurang dan Perempuan adalah yang paling rentan.

Selain mengandalkan kapasitas mereka yang ada, rumah tangga petani juga memanfaatkan dukungan pemerintah untuk bertahan. Beberapa kebijakan pemerintah seperti Raskin, PNPM, ADD dan beberapa yang lain, dirasakan cukup membantu mereka untuk bertahan pada saat krisis pangan terjadi. Sekalipun begitu dalam setahun presentase bulan rumah tangga untuk membeli pangan tetap tinggi yakni 50-60%. Selain itu, kebijakan pemerintah seperti ADD, PNPM dan yang sejenisnya selain raskin lebih banyak diarahkan pada pembangunan fisik bukan untuk peningkatan ketahanan pangan rumah tangga.

Cerita sedih diatas belum berakhir, berdasarkan survey harga di pasaran sejak tahun 2003 hingga 2009, nampak bahwa laju peningkatan harga beli konsumsi rumah tangga jauh lebih tajam dan cepat dibanding harga jual produksi pertanian, ini bisa berarti bahwa setiap tahun daya beli rumah tangga petani di desa-pun semakin menurun dengan kata lain cerita sedih ini akan terus berlanjut.

Cerita sedih ini bisa berakhir jika, sektor ketahanan pangan betul-betul menjadi prioritas dalam rencana dan anggaran pembangunan daerah, kebijakan yang ada seperti ADD dan PNPM diarahkan untuk menguatkan sektor ketahanan pangan, penguatan kapasitas petani, dan pengembangan usaha alternatif skala rumah tangga. Pertanyaannya maukah kita mengakhiri cerita sedih ini atau tidak?

Monday, March 16, 2009

Mati lagi...mati lagii ahhhhhh

Sebuah cerita pendek menyongsong Kopi darat Forum academia NTT akhir maret nanti

Oleh : Olyvianus Dadi Lado

Suatu pagi di hari selasa (09/3), Ale Mesak Lewedalu sudah bangun sejak jam enam di kos-nya, pagi ini tugasnya di warung internet (warnet) menggantikan Jener temannya yang bertugas semalam suntuk. Ia seorang anak muda dari Kisar-Maluku Tenggara.

Jam delapan, ia sudah menuju Unum Net, nama warnet tempat ia bekerja. Unum Net adalah sebuah warnet milik CIS Timor, ia hadir sebagai tempat belajar berwira usaha, selain itu sebagai sebuah LSM lokal yang sudah hampir sepuluh tahun berdiri, CIS masih bergantung sepenuhnya pada donorship. Ini sebuah usaha awal untuk membangun kemandirian.

Unum Net terletak di jalan Timor Raya sekitar 50 meter dari pertigaan Oesapa-Kupang-Penfui. Sebuah bilik kecil berukuran 5x4 meter persegi yang disewa selama lima tahun untuk keperluan usaha ini. Modal awalnya juga masih berupa pinjaman. Memiliki delapan unit komputer untuk client dan satu unit sebagai server, beroperasi 24 jam seminggu dengan tarif Rp. 4500 per jam, selama bulan pertama pelanggan diberi pemotongan 20% bagian dari promosi. Ia dibuka sejak tanggal 02 Maret lalu. Seminggu beroperasi Unum Net rata-rata menghasilkan Rp. 650.000,- atau setiap hari menghasilkan Rp. 92.857, setiap jamnya diasumsikan menghasilkan Rp. 3.869,- (perhitungan bersih setelah potongan 20% per jam selama sebulan promosi)

Setibanya di Unum Net, “Bos listrik mati,” kata Jener Bana setelah membukakan pintu warnet. Jener adalah seorang pemuda asal SoE, ia baru saja tamat dari Fakultas Teknik dan Science Universitas Nusa Cendana.
“Ahhhhhhhhhhh...PLN pukara’a dong ni..” umpat Ale, “Kamarin dulu malam mati...masa ini pagi mati lai.” Senyum sejak berangkat dari kos dibibirnya yang hitam akibat kebanyakan rokok itu hilang.
Ia kesal karena sejak warnet beroperasi, sudah tiga kali mati, padahal belum sebulan.
“Karmana mau kas kambali utang cepat kalo model bagini tarusss,” keluhnya.
“Ho PLN ni sakarang mati su sambarang sa...kapan mau mati na mati sonde pake giliran lai,” kata Jener. “Katong yang di Oesapa deng Penfui mati tarus-tarus sa.. su bagitu lama lai.”

Ale dan Jener pantas kesal karena untuk membuka usaha ini pinjaman untuk modal awal mencapai 50-an juta rupiah. Menurut perhitungannya jika berjalan normal maka dalam satu setengah tahun sudah kembali modal awal.

Karena tak bisa beroperasi, mereka memutuskan pergi ke posko CIS Timor di Walikota.

Olkes terkejut melihat mereka berdua muncul di ruang media sepagi itu. “Sapa yang jaga warnet?” tanya Olkes
“Listrik mati na ka. Jadi katong datang sini sa dari pada tanganga di sana,” jawab Jener.
Olkes adalah koordinator unit media di CIS Timor, Unum Net ada dalam tanggungjawabnya.

Jener dan Ale duduk tak jauh dari meja kerja Olkes. “Jadi kermana su ni kaka?” tanya Ale.
“Mau kermana lai ko ais listrik mati bagitu,” jawab Olkes. “Ais komputer dong aman ko?”
“Aman ka’. Tapi kalo bagini tarus bisa lewat e..” jawab Ale (lewat : rusak)
“Nah nanti katong usaha satu UPS sa untuk taro di server pung,” kata Olkes. “Beta yang nanti omong deng om Win ko ame UPS satu dari posko Atambua pung taro tahan di warnet.” (om Win adalah nama panggilan Winston Rondo ia direktur CIS Timor; UPS : alat untuk penyimpan energi listrik sementara).
“Iya kaka itu perlu karna sama ke kapan hari mati tiba-tiba tu..katong sonde tau orang su pake brapa lama, akhirnya katong kas farei sa su ma,” timpal Jener.
“Ho e.. nanti katong tambah rugi lai tu ma kalo sonde pake UPS,” sambung Ale pula.
Theo Wetangterah yang baru selesai mengambil segelas kopi di dapur ikut nimbrung, “Iyo yang mati kapan malam tu...pung lama lai, ada hampir empat jam ko, beta sampe pamalas tunggu.” Theo juga anggota bagian media, kadang ia membantu menjaga warnet pada malam hari karena kos-nya tak jauh dari warnet.

Kegelisahan yang dialami keempatnya bukan tak mungkin juga dialami oleh banyak pengusaha kecil yang mengandalkan listrik sebagai sumber energinya. Maklum mereka tak mampu mengadakan generator laiknya para pengusaha besar. Pada hal perputaran uang dalam kota Kupang banyak andilnya dari para pengusaha kecil ini.

Saya berandai dalam sebulan jika berjalan normal, Unum Net mungkin bisa menghasilkan 150-200 ribu perhari atau sebulannya Rp.4.500.000 sampai Rp. 6.000.000,-. Dikurangi dengan ongkos sewa provider speedy sebesar dua juta-an, biaya listrik dan air plus honor dua orang karyawan dan pajak, keuntungan bersihnya berkisar satu sampai dua juta rupiah.

Sayangnya situasi tak berjalan normal, lebih parahnya lagi tak tahu sampai kapan situasi tak normal ini akan berlangsung.

Theo, Ale, Jener dan Olkes hanya bisa geleng-geleng kepala sambil menghembuskan nafas sekeras mungkin seolah dapat mengusir bayangan utang dalam kepala mereka.