Thursday, December 01, 2005

Istirahat Siang Bersama Evaristo

Sekelumit kisah kehidupan seorang lelaki muda yang mencoba bertahan hidup di kamp pengungsian di Haliwen-Atambua kabupaten Belu.


Panas terik matahari siang itu (17/11) serasa membakar sekujur tubuh
, Setelah berteriak memberi arahan sejak pagi, tenggorokan saya terasa kering, sayapun melangkah menuju sebuah rumah sederhana yang terletak ditepi jalan samping stadion, rumah berdinding bebak, beratap seng itu berukuran kecil dan sudah agak miring hampir bisa dikatak mirip gubuk, di depannya terdapat dua pohon ukuran kecil namun cukup rindang, pohon sirsak dan satunya lagi saya kurang yakin jenisnya, dibawahnya tumbuh beberapa rumpun bunga yang sengaja ditanam pemiliknya untuk memperindah taman rumah sederhana itu.
Diteras rumah itu terdapat sebuah bangku kayu yang kaki-kakinya langsung ditancapkan ke tanah, melihat suasana yang cukup rindang itu saya memutuskan untuk beristirahat sejenak, Yeani, Jhon, Dhanie dan Edu masih terus bersemangat mengawasi aktifitas masyarakat penghuni kamp Haliwen yang akan pindah ke Wesasuit. Ada 36 KK yang akan pindah siang itu, mereka adalah calon penghuni lokasi pemukiman di Wesasuit-desa Kabuna sekitar 4 km jauhnya. Haliwen, terletak di pinggiran kota Atambua, ibu kota kab Belu-NTT. Saat ini di Haliwen masih terdapat ratusan keluarga warga eks Timor Timur yang mengungsi ke Timor Barat akibat konflik pasca jajak pendapat 1999 di bekas propinsi ke 27 Indonesia itu. Mereka menempati rumah-rumah darurat di dalam dan sekeliling stadion sepak bola milik pemkab Belu yang sejak selesai dibangun hingga kini belum pernah dipakai karena beralih fungsi sebagai tempat penampungan bagi pengungsi asal Timor Timur.

Saat menikmati istirahat yang singkat ditengah hiruk pikuk aktifitas bongkar kamp dan pengangkutan barang itu, saya dikejutkan oleh kehadiran sesosok lelaki muda, dengan hanya bercelana jeans agak belel di bagian lutut, berwarna hitam dan tanpa baju, ia mengambil tempat duduk persis di samping saya, tanpa suara namun tersenyum ramah. “ Maun, rokok ini” tawar saya, sambil mengulurkan sebungkus rokok gudang garam filter kegemaran saya, Ia mengambil sebatang dan mengucapkan kalimat pertamanya “Terima kasih”. Selanjutnya kami berdua hanyut dalam kebisuan hanya asap rokok dari dua mulut yang terus mengepul. “ Saya tidak ikut”, ucapnya pelan tanpa ditanya. “Kenapa” Tanya saya, “ Biar kami di sini sa, kami belum beli tanah” jawabnya pelan seakan enggan melanjutkan pembicaraan soal hal itu, raut mukanya sedikit murung. Saya terdiam dan tidak bertanya lanjut lagi perihal pemidahan itu. Selang beberapa menit pandangan mata saya terhenti pada sebuah motor bebek yang diparkir di depan agak ke samping kiri rumah itu. Motor berwarna dasar hitam dengan les kuning yang sudah mulai pudar, di atas sadel motor itu ditaruh sebuah helm masker berwarna hitam agak kusam karena catnya yang terkelupas, “ Maun ojek ka” Tanya saya mencoba memulai percakapan dengan topik yang lain, “ Iya saya ojek, pake motor sendiri. Itu motor saya” jawabnya sambil menunjuk ke arah motor bebek merek smashnya itu, raut mukanya berubah penuh semangat seketika.
Lelaki muda berkulit gelap ini berusia 21 tahun, sedikit berkumis dan janggut, namanya Evaristo Cardoso, “ Tapi orang biasa panggil saya dengan nama Aris”, akunya saat kami berkenalan. ia telah berkeluarga, isterinya bernama Helmina Bria, usianya lebih muda setahun, mereka telah dikaruniai seorang anak lelaki yang montok dan lincah, bernama Rendy “Tanggal 24 Nopember ini baru umur 9 bulan” kata Helmina sambil menggendong buah hatinya itu.
Setiap pagi jam tujuh, Evaristo keluar mengais rejeki dengan motor bebeknya, “ Motor ini saya kredit. Sekarang sudah punya dua motor yang satu itu warna merah, smash juga. Itu sudah lunas, waktu kredit saya bayar uang muka sebesar lima juta”, ceritanya. Waktu yang diperlukan Aris untuk melunasi kredit motor pertamanya itu selama setahun. “ Setelah itu saya ambil lagi yang satu ini, waktu itu, uang mukanya enam juta lebih. Motor yang lama saya kasi adik yang pake ojek”. Motor keduanyapun menurutnya sudah hampir lunas “ Sisa delapan bulan lagi”. Setiap bulannya Aris menyetor Rp. 240 000 ke dealer motor itu.
Setiap harinya, ia mengaku tidak harus mengojek sehari penuh, “ Kadang keluar pagi jam tujuh, siang itu kalo sudah dapat 40 ribu tambah tanki ful, saya istirahat nanti sore sekitar jam tiga atau empat begitu baru keluar lagi” aku Aris. Ia mengaku tanki motornya membutuhkan bensin seharga 20 ribu rupiah agar bisa penuh, sehingga menurutnya dalam sehari rata-rata ia bisa mendapat 60-80 ribu di luar biaya bensin. “Kalo muku (berusaha sekuat tenaga dan serajin mungkin-red) kita bisa dapat sampai 100 ribu”. Namun menurutnya lagi, “ Itu tergantung penumpang juga e..kalo pas hari raya itu bagus, juga kalo kita punya kenalan banyak itu kita bisa dapat banyak juga, karena sekarang ini orang mau naik ojek itu kalo dia punya kawan atau keluarga sa,”. Dari penghasilan bersihnya selama sehari sebagian ia pake untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya, sebagiannya lagi, “Saya simpan” katanya.
Ia biasanya mangkal di pangkalan ojek Haliwen, jalurnya pun tidak tentu, tergantung tujuan pemakai jasa ojek, “ Kalo pi Atambua tarifnya tiga ribu rupiah, tapi kalo anak sekolah seribu, kadang ada yang kasi lima ratus, tapi ada juga yang kasi dua ribu”, jelasnya soal tarif. Ia mengaku cukup mengerti jika yang menumpang adalah pelajar, “Kan dong belum bisa cari uang e..jadi kita mengerti sa…” sambungnya sambil tertawa pendek. Tak terasa perbincangan kami terus memanas ditengah keramaian siang itu, seakan tak peduli dengan aktifitas mereka yang akan pindah.
“Saya kepingin dari hasil ojek ini nanti setelah ditabung dan cukup nanti saya pake beli motor , bukan kredit tapi kontan”, akunya soal rencananya ke depan. “ Bagaimana dengan tempat tinggal, apakah maun akan tetap di kamp ini”, Tanya saya mencoba untuk mengetahui pikirannya tentang rencana masa depan keluarganya, namun tak ada jawaban pasti yang bisa didapat dari mulutnya. Bagi Aris dan mungkin masih banyak sesamanya lagi rencana masa depan mereka sederhana saja dan tidak perlu memikirkan sesuatu yang sangat jauh, cukup bagaimana mereka bisa hidup di hari esok. @volkz



Wednesday, September 21, 2005

Panti Asuhan Sola Gracia

Panti asuhan Sola Gracia terletak di desa Dualaus Kecamatan Lakaritirai kab Belu, hingga kini telah menampung 52 anak yatim-piatu dan tak mampu.

Beratap daun gebang, berdinding bebak namun tidak rapat, berlantaikan tanah, tak berjendela, pintunya pun terbuat dari rangkaian bebak (pelepah gebang-red), lebih mirip gubuk dibanding rumah layak huni terletak ditengah-tengah kamp Lakafehan.

Jika kita melintasi ruas jalan utama ke Atapupu tepatnya di wilayah desa Dualaus, disebelah kiri jalan sekitar 40 meter dari SDK Lakafehan terlihat sebuah papan hitam yang menunjukan lokasi sebuah panti asuhan. Panti Asuhan itu bernama Sola Gracia. Mungkin dalam benak hampir semua orang yang mendengar kata panti asuhan maka yang terlintas dalam alam pikirnya adalah sebuah kompleks dengan beberapa gedung di dalamnya, berpagar, mempunyai sarana-sarana bermain anak-anak dll. Hal ini juga yang saya alami ketika memutuskan untuk meliput soal keberadaan panti asuhan Sola Gracia ini. Namun kenyataan yang ditemui justeru bertolak belakang dengan apa yang saya dan mungkin kebanyakan orang bayangkan.

Bangunan itu beratapkan daun gebang, dindingnya dari bebak. Di pintu pagarnya terpancang papan nama panti. Halamannya bersih dari rumput liar. Ternyata ada dua bangunan kecil satunya adalah kantor dan juga rumah tinggal pemilik dan pengelola panti, satunya lagi digunakan sebagai tempat tinggal sekaligus tempat belajar anak-anak panti asuhan Sola Gracia.
Saat kami tiba, disambut bapak Jose Soares, ketua pembina yayasan Sola Gracia. Bapak berumur 49 tahun ini berasal dari Liquica-Timor Timur yang turut mengungsi ke Timor Barat bersama ratusan ribu warga Timor Timur pasca konflik jajak pendapat 1999 lalu. Panti asuhan Sola Gracia bernaung dibawah yayasan ini.
Kamipun dipersilahkan duduk, setelah memperkenalkan diri dan mengisi buku tamu, Nato menceritakan maksud kedatangan kami siang itu, sedangkan saya asyik mengamati keadaan sekeliling panti itu, bangunan panti terdiri dari tiga bagian, pertama ruang tamu merangkap ruang belajar dan ruang makan penghuni panti, kedua kamar tidur anak-anak perempuan dan ketiga kamar tidur anak laki-laki. Di ruang tamu yang multi fungsi itu terpampang Peta Indonesia, disebelahnya digantung sebuah papan tulis tepat dibawah papan tulis itu ada sebuah meja kayu yang cukup besar yang digunakan sebagai meja belajar diatas terdapat sebuah wadah plastic berisi air dengan seekor ikan di dalamnya, pada bagian dinding yang lain ada peta sederhana desa Dualaus dan bagan struktur pengurus yayasan Sola Gracia.

Cuaca panas menjadi tak terasa selain karena saya lebih berkonsentrasi pada keadaan sekliling ruang juga karena perlindungan dari atap daun gebang dan semilir angin yang masuk melalui celah dinding bebak panti, dalam hati saya bertanya-tanya bagaimana tidur anak-anak ini saat musim hujan tiba? Namun pikiran itu tak bertahan lama, karena acungan tangan dari seorang gadis cilik mengajak bersalaman dan mencium tangan saya. Gadis cilik bernama Duarda Da Costa, ia berumur 8 tahun, saat ini duduk di kelas satu SD I Fatu Atis.

Sejak 2004
Sesuai akte notaris nomor 37 tertanggal 28 Juli 2004 yang disahkan di pengadilan negeri klas IB Atambua pada tanggal 03 Agustus 2004, Panti asuhan Sola Gracia berdiri pada tanggal 27 juni 2004. Menurut Jose Soares, pendirian panti ini awalnya merupakan ide dari putri sulungnya, Loumesa Hari Soares. Saat itu ia masih kuliah di STT Pryago Jakarta, sambil kuliah Loumesa juga bekerja di Yayasan Mahanaem pada divisi anak jalanan, “ Waktu dia kasi tahu lewat telepon “ tutur Jose, Iapun menyetujui ide itu karena menurutnya ide pendirian panti ini sesuai dengan dorongan hati nuraninya melihat kondisi pendidikan anak-anak eks pengungsi, “ Mereka ini hidup susah ketika mengungsi ada yang tidak membawa apa-apa, sebagian besar petani penggarap, tinggalpun menumpang ditanah orang, nah apalagi dengan pendidikan anak-anak mereka”, lanjut Jose dengan nada tanya. Ia bersyukur karena sekalipun mengungsi namun masih tetap menerima gaji sebagai seorang anggota polisi sehingga ia bisa membiayai anaknya hingga ke bangku perguruan tinggi.
Dengan keyakinan inilah, setelah Loumesa menyelesaikan kuliahnya pada tahun 2004 lalu, Ia mulai mengurus proses pendirian panti ini, sebagai modal awal ia meminjam uang dari bank sebesar 18,5 juta rupiah. Uang itu digunakan biaya administrasi pengurusan akta pendirian panti asuhan Sola Gracia, pembelian tanah untuk bangunan panti dan modal awal pendirian panti (untuk pendirian panti ini dalam akta notaris, modal awalnya sebesar 10 juta rupiah) hingga kini ia masih terus mencicil pengembaliannya dengan memotong gaji setiap bulan. Karena ingin lebih berkonsentrasi pada pengelolaan panti di samping tekanan darah tinggi yang dideritanya, ia memutuskan untuk mengajukan permohonan pension dini, namun hingga kini permohonannya belum dikabulkan. Awal berdirinya panti ini di Leosama karena sebelumnya mereka menetap di desa Leosama, saat itu jumlah anak asuh sebanyak enam orang.

Berdiri diatas tanah sendiri
Dengan modal awal panti tersebut, Jose dan anaknya mencari sebidang tanah untuk lokasi baru panti asuhan Sola Gracia. Di desa Dualaus mereka mendapatkan sebidang tanah dengan luas 30x30m seharga tiga juta rupiah. Di atas tanah ini dua bangunan sederhana, secretariat merangkap rumah tinggal Jose sekeluarga dan asrama panti asuhan Sola Gracia.
Saat ini untuk perbaikan bangunan panti telah dibangun pondasi namun belum dilanjutkan karena kendala biaya, “ Itu pak, pondasi sudah dibangun ada empat ruangan rencananya, ruang tidur dua ruang, ruang makan dan ruang belajar”’ ujar Jose sambil menunjuk pondasi yang terletak di halaman depan secretariat panti.
Anak usia sekolah yang ditampung di panti asuhan Sola Gracia saat ini berjumlah 52 orang, 35 anak perempuan dan 17 anak laki-laki dari maslok maupun eks pengungsi. Tingkat pendidikan merekapun bervariasi, dari kelas satu SD hingga kelas tiga SMP. “ Hanya satu anak saja yang duduk di kelas tiga SMP, yang lainnya masih duduk di bangku SD, sebenarnya kami belum bisa tampung yang tingkat SMP karena keterbatasan sumber daya, namun karena waktu kedua orang tuanya sudah meminta untuk diterima ya…kami mau bilang apalagi, apalagi kedua orang tuanya ini sudah tergolong lansia”, ungkap Loumesa Hari Soares (22 tahun) yang mendapatkan gelar sarjana theologinya tahun lalu ini sambil sesekali mengusap rambutnya. Selain itu panti asuhan ini juga melakukan bimbingan mental dan kerohanian kepada 80 anak terlantar dua kali setiap bulan.

Empat criteria dasar
Penerimaan anak asuh di panti asuhan Sola Gracia yang beralamat di RT 01/RW 02 desa Dualaus ini didasarkan pada empat criteria dasar, yakni anak tersebut adalah anak yatim piatu, yatim atau piatu saja dan yang terakhir yang orang tuanya kurang mampu. Menurut Jose banyak diantara anak-anak panti asuhan ini kehilangan orang tuanya saat konflik pasca jajak pendapat di Timor Timur 1999 lalu. Ada yang orang tuanya hilang tak tahu ke mana ada juga yang orang tuanya mati terbunuh. Diantara ke 52 anak itu juga ada yang kedua orang tuanya masih ada namun karena kurang mampu akhirnya mereka menyerahkan anaknya untuk diasuh di panti.
Selain empat criteria dasar tersebut diatas, penyerahan anak untuk diasuh harus disetujui dan dilakukan sendiri oleh orang tua atau wali anak itu, tentunya juga harus disetujui oleh anak itu sendiri “ Setelah orang tuanya datang mendaftar, kita melakukan wawancara dengan orang tua dan si anak, ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang kehidupan keluarga, motivasi mereka dan yang lain, setelah itu kita seleksi baru meminta persetujuan dan kerelaan dari orang tuanya”, jelas Loumesa.
Ketika disinggung apakah ada pembedaan dalam penerimaan anak asuh, Loumesa menjawab dengan tegas bahwa penerimaan anak asuh di panti asuhan yang diketuainya itu tidak membeda-bedakan anak baik itu berdasarkan agama, suku, ras dan golongan. “ Kami di sini menghargai keyakinan dan agama setiap anak, memang sampai saat ini masih ada orang yang berprasangka bahwa kami hanya menerima anak yang agama Kristen Protestan saja, pada hal di sini ada juga yang agama Katholik, kami juga punya pengasuh dan pembimbing rohani bagi anak-anak yang beragama Katholik, setiap kali sembahyang sebelum makan anak-anak selalu berdoa bergiliran begitu juga kalo pas hari minggu setiap pengasuh dan pembimbing rohani mempersiapkan anak asuhnya untuk pergi beribadah, yang Katholik pergi ke kapela, yang Protestanpun begitu. Jadi sekali lagi kami mau bilang bahwa kami tidak membeda-bedakan anak-anak berdasarkan agamanya”ujar Loumesa tegas.

Bersifat mendukung
“Jadi begini pak, ke 52 anak yang ditampung di panti ini kami berikan bimbingan tambahan sesuai pelajaran yang didapat di sekolah mereka, contohnya membimbing mereka menyelesaikan PR, selain itu panti juga menanggung semua keperluan sekolah mereka seperti biaya, pakaian serangam juga makan minum sehari-hari mereka”, aku Jose.
Selain anak-anak dibimbing untuk lebih memahami pelajaran yang sudah didapat di sekolah, mereka juga diberi latihan ketrampilan seperti membuat bunga dari sedotan bekas minuman dan bercocok tanam sayur-sayuran. “ Pernah satu kali mereka mencoba membuat kebun sayur, setelah ditanam dan tumbuh, tau-tau itu sayur dong tidak jadi”, cerita Loumesa sambil tertawa kecil. Sayapun berpikir walaupun gagal namun anak-anak ini mau berusaha, satu hal yang kadang sulit ditemui dikalangan orang dewasa, masih banyak orang yang hanya menunggu dan menunggu uluran tangan orang lain.

Sumber dana
Saat ini panti asuhan Sola Gracia belum mempunyai sumber dana yang tetap untuk meyokong kegiatan panti, menurut Loumesa saat ini mereka masih mengandalkan sumbangan-sumbangan dari teman-temannya di Jakarta dan orang-orang yang peduli terhadap apa yang mereka perjuangkan. Selain itu gaji sang ayahpun tak luput dalam memberikan andil bagi operasional panti ini setiap bulannya. “ Kami sudah mencoba memasukan proposal ke beberapa lembaga namun hingga kini belum ada jawabannya”, aku Jose dengan senyum tertahan. “Mudah-mudahan”, lanjutnya “ Dengan kunjungan pejabat dari bagian social propinsi pada lima september lalu membawa hasil yang positif ke depan”.

Masyarakat dukung
Keberadaan panti asuhan di desa Dualaus ini menurut Jose Soares, juga didukung oleh masyarakat sekitar, pemerintah desa dan pihak gereja, “Waktu mau pendirian panti ini mereka setuju, semua pihak pemerintah desa, dusun, pihak gereja baik Katholik maupun Protestan ikut tanda tangan dalam rekomendasi ini”, ujarnya sambil menunjukan lembaran arsip berisikan rekomendasi tersebut. “ Begitu juga dengan pemerintah kabupaten Belu”, lanjutnya lagi.
Pada tanggal 11 Agustus lalu panti Sola Gracia bersama bagian panti social propinsi melakukan sosialisasi kepada masyarakat di desa Dualaus, “ Yang hadir waktu itu sekitar 100 orang, dari unsur pemerintah, adat, gereja maupun masyarakat biasa. Ini membuktikan bahwa secara umum masyarakat mendukung keberadaan panti ini”, lanjut Jose.
Menurut Pedro Soares (37 th), sebagai orang yang merasakan dampak langsung dari kehadiran panti asuhan ini ia senang dan bersyukur sekali karena kekurangmampuannya dalam menyekolahkan anaknya bisa terbantu. “ Ha’u senang e… tamba ajuda haukan oan”, ujarnya bersemangat.

Suka duka di panti
Seperti halnya para orang tua, anak-anak penghuni panti asuhan juga merasa senang bisa berada di panti ini, Januario Masquita (15 th) siswa SMP kelas III ini mengaku, sekarang waktunya lebih banyak dihabiskan untuk belajar, “ Saya rasa beda sekali dengan dulu waktu belum masuk, kalo dulu pulang sekolah itu malamnya saya hanya pergi nonton atau bermain saja, sekarang di panti kalo malam kami kerja PR dan belajar, saya pung nilai juga makin baik”, ungkap anak yang bercita-cita menjadi polisi ini sedikit malu-malu karena tidak menyangka akan diwawancarai saat itu. Begitu juga dengan Adelia Maria yang sehari-harinya membantu memasak dan mencuci di panti ini, mengaku setiap malam ia kebagian mengajarkan abjad, membaca dan menulis bagi anak asuh yang duduk di kelas satu SD. “Ada susahnya juga ada senangnya kadang lucu-lucu juga” ujar remaja putri ini malu-malu. Remaja yang hanya tamat SD ini mengaku senang membantu di panti karena senang dengan anak-anak selain itu ia juga kenal akrab dengan Jose Soares sekeluarga. Sedangkan Duarda da Costa, siswi kelas satu SD ini tidak berkomnetar namun menunjukan kepandaiannya dalam menghafalkan kosa kata bahas inggris yang dipalajarinya selama setahun berada di panti asuhan Sola Gracia, “…..yellow kuning, red merah, blue biru…..eye mata, ear telinga,…” lafalnya sambil tersenyum malu-malu.

Optimis dalam keterbatasan
Walaupun sudah menangani 52 anak di dalam dan 80 anak di luar. Panti asuhan Sola Gracia ini bisa dikatakan bergerak dengan segala keterbatasan baik sumber daya manusianya maupun sarana dan prasarana pendukung. Saat ini pihak panti memiliki empat pengasuh, sedangkan sarana prasarana pendukungnya cukup memprihatinkan, sebagai contoh kamar tempat anak-anak ini beristirahat untuk melepas lelah berisi dua ranjang sederhana dari bahan bamboo dan kayu satunya yang berukuran besar dibuat bertingkat menurut taksiran saya bisa memuat 10-20 anak sedangkan yang satunya kecil bisa memuat 4-5 anak, itu kalau tidak berdesak-desakan. Begitu juga dengan sarana belajar, hingga kini belum ada perpustakaan, hanya ada satu papan tulis dan dua meja kayu.
Namun bagi Loumesa dan tiga temannya dibawah pembinaan ayahnya sendiri, segala kekurangan itu bukan berarti semangat mendidik, mengasuh, membantu dan melayani anak-anak menjadi surut, mereka bertekad untuk terus melanjutkan pelayanan ini sambil terus berdoa dan berharap kepada Yang Maha Kuasa, “Kami bercita-cita suatu saat nanti panti asuhan Sola Gracia juga bisa membuka cabang di Timor Leste”, ujar Jose Soares menerawang jauh ke langit siang itu.
Dalam segala keterbatasan, mereka mencoba semampu mungkin memenuhi hak asasi anak-anak. Dalam alam pikir saya, terlintas mungkin sebaiknya Negara atau semua orang tua yang selama ini melalaikan pemenuhan hak asasi anak datang dan belajar di panti asuhan Sola Gracia ini.
@volk's

Sunday, August 28, 2005

Lahan Tiga Are Untuk Menghidupi
Sebelas Anggota Keluarga



“ Kalau untuk jualan biasanya kami membawa sayur-sayur ini kepasar Oeba
sekitar jam 12 malam “


Sore itu (27/10), waktu terasa berhenti di sebuah bilik yang terletak di kamp Noelbaki kecamatan Kupang Tengah. Beranda rumah berukuran sekitar tiga kali lima meter itu dipenuhi tumpukan-tumpukan sayur. Clarina Fernandez (41 thn) sedang bekerja menyortir sayur-sayuran untuk dimasukan kedalam karung sambil menggendong anaknya yang masih berusia tujuh bulan. Terlihat tangannya begitu cekatan memisahkan sayur-sayuran yang baik dan yang rusak.

“ Satu karung harganya Rp. 30.000 sampai Rp. 50.000 “, ujar wanita sembilan anak ini. “ Biasanya satu kali panen kami dapat Rp. 100.000, tapi itu harus menunggu selama tiga minggu,” sambungnya. Dengan pendapatan Rp. 100.000 pertiga minggu, mama Clarina Fernandez, Suaminya dan sembilan orang anak yang diantara mereka sudah sekolah, melewati hari-hari mereka dengan pertanyaan tunggal : apa masih bisa makan esok hari ?

Pasangan dengan sembilan anak ini telah bermukim di lokasi ini sejak tahun 1999, namun mereka masih beruntung karena sudah memiliki rumah sendiri hasil dari bantuan Bahan Bangunan Rumah (BBR-red) yang dilakukan oleh pihak Nakertrans beberapa waktu lalu, walaupun rumah bebak dan berlantaikan tanah.

“ Kalau untuk jualan biasnya kami membawa sayur-sayur ini kepasar Oeba (Salah satu pasar di Kota Kupang-red) sekitar jam 12 malam, setelah jualan laku kami pulang untuk ke kebun ,“ ujar wanita 41 tahun ini. Lanjutnya untuk menanam sayur kami menyewa lahan orang selama tiga bulan dengan harga Rp. 150.000, dengan luas lahan tiga are.”

Untuk proses menanam dan panen bisanya mereka lakukan secara bersama-sama baik Bapak, Ibu maupun Anak-anak dan itupun dilakukan kalu sudah selesai sekolah.
“ Untuk tanam biasanya kami lakukan bersama-sama, anak-anak biasa bantu kalau sudah pulang sekolah dan hanya membutuhkan waktu satu hari untuk tanam, mungkin karena lahannya kecil, sementara untuk panen bisanya kalau sayur itu sudah berusia tiga minggu baru bisa panen.“ Lanjutnya sayur yang kami tanam itu ada sawi bangkok hijau dan sayur putih,” ujar mama Clarina sambil menggendong anaknya yang baru berusia tujuh bulan itu.

“ Ya untuk saat ini ya.. kami hanya kasi pupuk dan bersihkan rumput-rumput, kalau untuk pupuk kami biasa pake pupuk urea dengan pupuk yang lain supaya itu sayur tumbuh subur,” lanjutnya tapi yang ini (sambil menunjukan sayur yang agak layu dan kecil) terpaksa kami potong karena baru taruh pupuk tapi kena hujan jadi diapung daun layu,” ujar mama Clarina sembari menetek anaknya.

Ketika ditanya soal penghasilan yang didapatkan, jika digunakan untuk keperluan keluarga mama Clarina fernandez megatakan, “ Mau bilang cukup ya … dibuat cukup saja karena uang dari penghasilan itu harus untuk biaya anak-anak yang lagi sekolah belum lagi untuk kebutuhan setiap hari. Apalagi usaha ini baru kami lakukan tiga bulan ini jadi hasilnya belum terlalu baik, “ ucap wanita berdarah campuran Atambua dan Lospalos ini.

Dalam kehidupannya yang serba pas-pasan keluarga ini masih memikirkan nasip dan kehidupan anak-anaknya dikemudian hari. Karena itu walaupun hanya sebagai seorang petani dan pedagang sayur, mereka masih bisa menyekolahkan anak-anak mereka. “ Saya punya anak ada sembilan, yang dua sekarang sudah SMA dan sekarang ada sekolah dikupang di SMA Yayasan Purnama Kasih, kemudian ada yang SMP dan ada yang sementara ini sekolah di SD Inpres Noelbaki,” ungkap mama Clarina sambil terus mempersiapkan jualannya.

Saat ditanya soal keinginan untuk kembali ke Timor Leste mama Clarina sambil tersenyum mengatakan bahwa mungkin tidak akan kembali kesana, “ Kalau rencana kami, kami akan menetap disini dan untuk lihat keluarga pasti kami akan kesana kalau sudah ada uang karena keluarga kami ada di Timor Leste.

“ Harapan kami ya pemerintah tetap memperhatikan kami karena kami juga adalah anak-anak mereka, sehingga tidak ada pembedaan lagi antara kami sebagai masyarakat lokal baru dan masayarakat lokal lama dan untuk romo serta pastor agar selalu mendoakan kami agar kami tetap sehat sehingga bisa terus berusaha, ” ujar mama Clarina ketika ditanya soal harapannya, sambil terus mempersiapkan jualannya.

Di atas pundak mama Clarina Fernandez dan suaminya seluruh persoalan hidup keluarganya dan masa depan kesembilan anak mereka bertumpuk dan menjadi suatu realitas hidup yang harus dihadapi setiap detik. @Theo.