Saturday, July 10, 2010

Sepotong Cerita dari Kamp Tuapukan





Sepotong Cerita dari Kamp Tuapukan

Olyvianus Dadi Lado


Kamp Tuapukan pagi ini (10/7) masih sepi, belum banyak aktivitas penghuninya ketika kami tiba di sana. Saya, Medja, None, Yomi, dan om Mika ke Tuapukan membawa Janet Steele untuk melihat-lihat suasana kamp. Janet, seorang pengajar di The George Washington University – Amerika. Saya mengenal dia saat mengikuti program kursus Jurnalisme Sasterawi yang dibikin Pantau pada tahun 1996, ia salah satu pengampu kursus itu. Ini kali pertama ia ke NTT karena diundang untuk berbicara dalam sebuah pelatihan jurnalistik di Flores pada dua hari sebelumnya.

Kemarin sore saat kami berdiskusi di Posko CIS Timor, ia menyatakan keinginannya untuk melihat situasi pengungsian di kamp pengungsi yang ada di Kupang sebelum ia kembali ke Jakarta pada siangnya.


Kamp Tuapukan
Kamp Tuapukan jauh berbeda dibanding situasi tahun 1999 pada awal pengungsian hingga 2008 lalu. Kini kamp yang pernah menjadi kamp konsentrasi pengungsi Timor Timur terbesar di Kupang itu nampak lengang, lebih lega atau dalam bahasa Kupang lebe longgar alias sonde basesak. Pada masa sebelum tahun 2008, terutama 1999-2003, hampir tak ada tanah kosong. Semuanya terdiri dari bangunan-bangunan darurat yang lebih tepat disebut gubuk atau mungkin lapak.

Kamp Tuapukan ini berada di atas tanah milik pemerintah yang dulunya direncanakan akan dibangun pabrik garam oleh salah seoarang anak penguasa negeri ini. Luasnya hampir empat kali lapangan sepak bola. Ia dihuni oleh pengungsi Timor-Timur dari berbagai kabupaten di wilayah bagian tengah sampai ke Timur yaitu; Los Palos, Viqueque, Manatuto, Baucau, dan Aileu.

Sebagian besar dari mereka saat ini sudah pulang kembali ke tanah kelahiran mereka pada periode akhir 1999, 2000 hingga 2002. sebagiannya lagi sudah pindah lokasi permukiman baru yang dibangun pemerintah di Oebelo, Raknamo, Manusak, Oefafi dan kelurahan Merdeka. Keempat tempat ini adalah desa tetangga dari desa Tuapukan. Yang tersisa di kamp hanya pengungsi yang berasal dari Viqueque dan sedikit dari Baucau dan Manatuto. Jumlahnya tak sampai seperempat dari jumlah mereka pada awal pengungsian yang berjumlah ratusan ribu orang saat itu.

Berkunjung ke Kamp Tuapukan

Kedatangan kami pagi itu langsung disambut dengan lambaian tangan dan teriakan “ Kaka Meriiii...” itu panggilan kepada Medja atau Meri Djami. Ia lama bertugas sebagai relawan CIS Timor di kamp ini. Ia bertugas di sana sejak tahun 2000 sampai dengan 2005, sebelum ia pindah bekerja di wilayah perbatasan di Belu.

Kami langsung menuju ke rumah mama Olandina Ximenes. Ia bagi kami adalah seorang mama. Ia selalu menerima kami dengan tangan terbuka sejak awal mengenalnya pada 1999. Rumah sederhananya adalah rumah singgah kami ketika ke kamp atau kemalaman di kamp.

Mama Oland berasal dari desa Ossu, kabupaten atau saat ini di Timor Leseta memakai istilah distrik Viqueque. Ia mengungsi ke Timor Barat bersama dua anaknya, suaminya seorang tentara Indonesia, sudah meninggal pada akhir tahun 1998 di Timor Leste saat situasi mulai memanas di sana menjelang referendum. Dua anaknya yang lain tertinggal saat itu di Dili karena tinggal bersama nenek mereka sehingga tak sempat dibawa mama Oland ketika mengungsi dulu. Mama Oland sulit untuk kembali, ia sudah menentukan pilihan untuk tetap menjadi warga Indonesia. Namun ia tetap mendorong dan menguatkan mereka yang berniat pulang kembali ke Timor Leste. Ia sering membantu kami pada tahun 2001-2003 menghubungi orang-orang yang berniat kembali ke Timor Leste. Baginya, pilihan politiknya adalah pilihan pribadi.

Janet senang berkenalan dengannya, ia dan anaknya Sonia yang saat itu ada di rumah sempat dipotret Janet. Mama Oland juga menemani kami berkeliling kamp. Hampir sebagian besar tanah di kamp Tuapukan yang kosong ditanami kacang-kacangan, singkong, pepaya, dan berbagai jenis sayur. Bagi kami (Saya, Medja, dan None) yang pernah bertugas di kamp Tuapukan, kunjungan ini seakan membawa kami kembali pada masa lalu kami. “Ini su ke reuni sa deng dong di sini”, kata saya pada Medja dan None.

Bertemu Abo Laulu
Di tengah-tengah kamp, ada sebuah gubuk yang sudah hampir roboh, dindingnya dari pelepah gewang dan kelapa, sudah bolong sana-sini. Tipenya satu air. Di halaman gubuk itu banyak tumbuh singkong dan jenis sayuran yang ditanami penghuninya. Seorang nenek tua (Abo = bahasa Tetum) tertatih-tatih menyambut kami ketika mama Oland menyapanya, tangan keriputnya menggenggam erat sekumpulan cabe yang baru saja ia petik. Mama Oland dan Janet segera menghampiri, memegang tangannya, memapah dia menuju teras gubuknya.

Ia bernama Laulu, usianya ditaksir sudah mencapai 80-an tahun, ia sendiri tak berapa usianya. Ia berasal dari desa (suco = bahasa Tetum) Beacu, distrik Viqueque. Ia mengungsi ke Timor Barat bersama anak lelakinya Sisto Gomes. Namun kebersamaan mereka hanya lima bulan, anaknya yang bekerja sebagai pegawai adminstrasi di Kodim itu meninggal dunia karena sakit, almarhum dikuburkan tak jauh dari gubuk tempat Laulu tinggal. Laulu melalui hari-harinya selama hampir sebelas tahun ini bersama sang adik, Gamulu yang juga sudah tua dan menderita penyakit kaki gajah. Gamulu juga ada di sana saat kami datang.

Abo Laulu dan Apa Gamulu, hanya hidup berdua di kamp Tuapukan, tak ada sanak famili yang tinggal bersama mereka. Keduanya dibantu oleh tetangga sekitar untuk kebutuhan makan mereka seperti beras dan jagung.

Abo Laulu sekalipun sudah renta, ingatannya masih baik, pendengarannya juga masih berfungsi baik. Ia tak bisa berbahasa Indonesia sehingga kami mengandalkan mama Oland untuk berbicara dengan dia. Ia ingin pulang dan menghabiskan sisa hidupnya di Beacu, kampung kelahirannya, namun ia tak tahu bagaimana caranya. Karena CIS Timor baru saja memfasilitasi kepulangan 12 jiwa ke Dilor- Viqueque pada akhir juni lalu, Medja mencoba menawarkan bantuan kepada Abo Laulu. Ia mau tapi ia takut dan kuatir, “Siapa yang nanti antar saya?, saya takut kalo sendiri.” Katanya dalam bahasa Makasae. Medja melalui mama Oland meyakinkan dia bahwa kami yang akan mengantarnya. Ia tetap tak mau, ia sepertinya tidak percaya.

Ternyata setelah beberapa saat ia mengatakan kalau ia mau pulang asalkan keponakannya datang menjemput dia. Keponakannya itu bernama Leopoldina Suares anak dari almarhumah Laluloi, kakak perempuannya. Menurutnya, keponakannya jika masih hidup pasti tinggal di Beacu-Viqueque. Ia tak tahu keluarga lainnya, cuma Leopoldina satu-satunya yang ia ketahui dan ia percayai. Bagi kami, ini cukup sulit karena Leopoldina Suares satu-satunya kunci untuk Abo Laulu menggapai mimpinya menikmati sisa hidup di kampung halamannya. Kami harus berpikir keras mencari cara untuk mencari tahu informasi tentang Leopoldina Suares.

Janet menggamit tangan saya, “Olkes, berapa budget yang dibutuhkan satu orang untuk bisa sampai ke sana?” tanya Janet, sebutir bening air mata meleleh perlahan dari sudut matanya. Mata saya mulai perih, sekuat mungkin menahan air mata yang mulai tergenang di pelupuk mata.
“Karena kita harus mendatangkan juga saudaaranya dari Timor Leste, mungkin bsia sampai tiga jutaan,” kata saya meragu. Saya tak bisa memastikan jumlah rupiah yang dibutuhkan bagi Abo Laulu untuk bisa sampai ke Beacu.
“Oh oke, saya tidak punya cukup cash di tangan, tapi kalau kita bisa ke ATM saya ingin menyumbang untuk dia,” kata Janet sambil menyeka air matanya. ”Please don’t cry Janet. Nanti kami juga ikut menangis,” kata saya sambil mengusap bahunya.

None mengambil gambar kakak beradik itu beberapa kali sebelum kami beranjak meninggalkan mereka, melanjutkan keliling kamp Tuapukan bersama Janet. Kami berencana menghubungi teman-teman di Timor Leste untuk bersama mencari jalan keluar bagi Abo Laulu.

Masih ada yang mau pulang
Ketika kami tiba di bagian kamp yang dihuni pengungsi dari Dilor, kami bertemu dengan seorang bapak, saudara dari Falur Rate Laek. Falur adalah adalah tokoh yang cukup dihormati komunitas ini. Hampir semua pengungsi asal Viqueque di Kamp Tuapukan mengenalnya.

Eurico nama bapak itu. Kami tak akrab dengannya. Selama kami melayani di kamp Tuapukan, ia salah satu yang kami kenali sebagai orang yang pendiam, jarang tersenyum dan selalu menyendiri. Namun gambaran itu hilang pagi itu ketika kami mengatakan kepadanya bahwa Janet pernah ke Timor Leste dan pernah bertemu Falur, sontak senyuman ramah tersungging di bibirnya. Ia yang biasanya jarang berbicara berubah semangat, ada keceriaan di raut wajahnya. Saya menangkap sebuah kerinduan yang terpendam dalam dirinya akan kampung halamannya di Timor Leste. Tanpa diminta, penuh semangat ia menceritakan tentang keindahan alam di desa Loihunu, kampung halamannya.

Pagi itu, tak segaja dalam perjalanan kembali ke rumah mama Oland, kami bertemu dengan bapak Selestino Mendonc’a. Kami mengenalnya, rumahnya juga sering kami singgahi. Ia sama seperti mama Oland yang juga selalu terbuka menerima kami. Ia baru saja pulang dari Timor Leste semalam, “Saya juga mau pulang. Keluarga di sana minta saya pulang sudah.” Katanya. Kami senang dengan keputusannya itu. Sepengetahuan kami ia termasuk orang yang sulit diajak pulang, mungkin 11 tahun di pengungsian ini telah membuat dia untuk mengambil keputusan yang luar biasa ini.

Kami pulang ke Kupang dengan senang, namun kami juga masih punya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan di Timor Barat. Masih banyak pengungsi Timor Timur di Timor Barat yang membutuhkan dukungan. Salah satunya Abo Laulu dan bapak Selestino yang memiliki mimpi melanjutkan hidup di kampung halaman mereka.