Monday, July 19, 2010

'Relawan Posyandu' Bercerita

Relawan Posyandu Bercerita

Olyvianus Dadi Lado

19 & 20 Juli 2010, pukul 15.00 WITA. Menjadi hari yang penting bagi Kader Posyandu se-Oesapa. Pada hari2 itu, apa yang tersimpan dalam hati, yang selama ini hanya menjadi "cerita2 pojok" akan disampaikan langsung kepada semua. Aula kelurahan menjadi saksi. Impian mereka tentang oesapa yang sehat, setara & damai menjadi...... impian semua. Mari, datang dan bertindak!”. Ini bunyi pesan pada dinding akun Facebook saya. Ia diposting oleh Alfred Djami, salah seorang teman. Saya menyukai postingan ini dan sedikit berminat untuk menghadirinya.

Sekitar jam lima sore saya sudah memasuki halaman kantor lurah Oesapa. Belasan sepeda motor diparkir tak beraturan di halaman kantor kelurahan. Sepi tak seorangpun di sana. Suasana berbeda justeru ada di aula pertemuannya. Seorang ibu berbaju biru, sedang berbicara menggunakan mic di depan 46 orang warga yang memenuhi hampir seluruh aula pertemuan. Pak Lurah Oesapa, Ebed Jusuf, S.Pt duduk di depan tekun menyimak cerita ibu itu, sesekali ia mencatat.


Ibu berbaju biru itu biasa dipanggil mama Oga, seorang kader Posyandu atau mungkin bisa disebut sebagai relawan Posyandu. Pertemuan yang dinamakan diskusi kampung itu sudah berlangsung sejak jam empat sore. Mama Oga mewakili 25 kawannya menceritakan suka duka bekerja sebagai relawan posyandu.


Diskusi kampung ini dirancang secara sengaja oleh Ma Ros dan teman-temannya. Ma Ros bernama lengkap Roswita Djaro. Ia koordinator project Oesapa Setara, Oesapa Nyaman atau OSON. Ini project yang dikerjakan oleh CIS Timor, sebuah organisasi relawan di Timor Barat. Project ini bertujuan mempromosikan hidup setara di kelurahan Oesapa lewat kegiatan Posyandu. Tak bisa dipungkiri selama ini jika mendengar kata Posyandu, yang terlintas dalam kepala kebanyakan dari kita adalah Posyandu itu ya identik dengan ibu-ibu atau perempuan dan anak-anak. Kaum lelaki terutama bapak-bapak dan pemuda sangat jarang terlibat bahkan bisa dihitung dengan jari tangan.


Cerita mama Oga ditampilkan lewat proyektor LCD. Ceritanya dibikin sistematis menggunakan Power Point sehingga sangat membantunya. Ini kali pertama ia tampil di depan forum resmi ditingkat kelurahan. Dalam diskusi kampung ini, yang menjadi nara sumber adalah mama Oga dan kawan-kawan sesama relawan posyandu.


Mama Oga menceritakan keprihatinannya soal kurangnya perhatian warga dan pemerintah akan posyandu terutama kaum lelaki yang menganggap urusan posyandu adalah urusan para ibu atau urusan perempuan, Dalam hati kecil, saya ikut merasa bersalah karena saya juga termasuk dalam golongan yang kurang peduli itu.


Menurutnya, posyandu sebenarnya bisa menjadi alat yang tepat untuk menghadirkan keluarga yang sehat terutama anak-anak dan ibunya asalkan semua pihak mau mendukungnya. Berdasarkan data yang ada pada mereka jumlah balita gizi buruk di kelurahan Oesapa mencapai 35 orang, “Ini menurut standar yang dikeluarkan oleh WHO,” kata Mama Oga. Hati saya miris mendengar informasi ini, kelurahan Oesapa adalah wilayah kota, mayoritas warganya berpendidikan baik umumnya mereka tamat SMA. Tapi mengapa begitu banyak balita yang berstatus gizi buruk? Apakah karena orang tuanya tak paham? Saya kira tidak. Ataukah karena kemiskinan? Mungkin iya mungkin tidak. Lalu apa? Pertanyaan ini terus berkecamuk dalam kepala saya.


Dalam ceritanya, mama Oga juga mengeluhkan semakin berkurangnya minat warga untuk mau terlibat secara sukarela mengurus posyandu di lingkungannya. Banyak yang ketika diminta menjadi kader posyandu, “Dorang tanya, ada uang ko sonde?” tuturnya. Soal ongkos pelaksanaan posyandu ini menjadi salah satu sisi yang diceritakannya. Menurutnya berdasarkan anggaran yang ada jika dibagi ke semua pos dan kader yang ada, dalam sebulan untuk operasional para kader atau relawan posyandu ini, mereka hanya dibekali dengan 16 ribu rupiah.


Saat ini di Keluarahan Oesapa terdapat 10 posyandu yang melayani 2.128 bayi dan balita. Jumlah relawan posyandu sebanyak 51 orang. 10 posyandu itu belum satupun yang memiliki gedung khusus. Mereka masih meminjam halaman warga atau beranda rumah warga. Begitu juga dengan fasilitas lainnya seperti kursi dan meja. Timbangan bayi[un belum dimiliki semua pos, sehingga sesama pos masih harus saling meminjam. Beruntung jadwal posyandunya tidak sama.


Mama Jeni Adu Ga, teman mama Oga mengatakan jangan menganggap pekerjaan mereka di posyandu hanya sebatas menimbang dan mencatat berat badan bayi dan balita. “Katong ju harus bikin laporan, trus kalo ada mama-mama yang sonde datang, katong pi dia pung rumah, tanya dia atau lihat dia jangan sampe ada sakit ko apa bagitu. Jadi kerja lumayan banyak,” katanya. Bahkan di beberapa posyandu sudah membuka layanan khusu untuk lansia dan wanita usia subur. Tak hanya itu, psoyandu sering dimanfaatkan untuk memberikan penyuluhan tentang PMS dan HIV-AIDS bagi para remaja usia subur, juga jadi ajang untuk promosi dan penyadaran kesetaraan jender.

Mama Oga dan kawan-kawannya berharap lewat diskusi kampung ini, akan ada laki-laki yang tertarik untuk ikut menjadi relawan psoyandu dan terutama semakin banyak orang yang peduli terhadap posyandu.


Hampir setengah dari peserta diskusi sore itu adalah para lelaki. Mereka bersemanhgat memberikan pendapat ketika diberi kesempatan. Macam-macam tanggapan mereka. Ada yang langsung memberikan usulan nyata untuk dilakukan penggalangan sumbangan sukarela warga. Ada juga yang menyampaikan penyesalan meraka karena selama ini kurang peduli terhadap masalah ini dan berjanji untuk menjadi relawan posyandu. Tapi ada juga yang hanya menyampaikan kekesalannya karena pemerintah tak memperhatikan kesejahteraan para relawan posyandu serta menyiapkan fasilitas pendukung posyandu sehingga ia mengusulkan untuk posyandu juga menjadi agenda dalam setiap rapat di tingkat kelurahan, “Karena selama ini posyandu ini sonde pernah disinggung dalam rapat di kelurahan,” kata bapak Darius Kohe, ketua RT 39.


Satu kesamaan dari pendapat para bapak-bapak atau suami-suami ini adalah ada tekad untuk memberikan dukungan, minimal tenaga mereka saat kegiatan psoyandu berlangsung dilingkungan mereka. Sore itu saya pulang dengan tekad yang sama, pada tanggal lima setiap bulan saya harus menyempatkan diri membawa Terra Anatha, si Malaikat Kecil kami ke posyandu.