Tuesday, October 16, 2007

Koleduki Sudah Berubah

Koleduki yang dulunya dipenuhi semak belukar dan tak terurus kini berubah wajah

Oleh : Olkes Dadi Lado

Hampir jam sepuluh pagi di hari rabu, 18 Juli 2007, dua mobil kijang mengkilap memasuki jalan berdebu kampung Koleduki, desa Manusak.
Mereka adalah rombongan dari Oxfam GB, sebuah LSM Internasional dari Inggris yang saat ini beroperasi di Timor Barat.
Ada Joseph Curtin, Area Program Manager-nya, para koordinator sektor dari proyek ATUP fase II, baik sektor Food security, AP-Shelter, PHP maupun PHE, seperti Jhon Ello, Frans Panthur, Mei, dan Toni Leik. Juga ada staff lapangan, seperti Yoris, elen, Nur, Merry dan Yaret. Saya juga turut dalam rombongan itu.
Mereka pergi untuk melihat kemajuan kegiatan di pemukiman mandiri Koleduki. Sedangkan saya pergi untuk meliput kegiatan di sana.

Dari jalan Timor raya, jalan sumbu yang menghubungkan Indonesia dengan Timor Leste, tepat di belokan yang sering dikenal dengan sebutan Asam Tiga, ada sebuah cabang jalan tanah menuju ke sana, jauhnya sekitar 2-3 kilometer, saya tak tahu persis, tak ada penunjuk jarak di sana.
Ini merupakan lokasi pemukiman baru yang tanahnya diusahakan oleh komunitas eks pengungsi dari Tuapukan dan Naibonat. Alfredo Ximenes dan kawan-kawannya.
(Cerita awal tentang mereka ada dalam LL edisi 72)

Dua kali sudah saya datang ke lokasi ini. Ketika datang pertama kali, lokasi ini masih kosong, hanya terlihat ilalang dan semak belukar yang belum selesai ditebas. Beberapa bidang lahan sudah bersihkan dan diberi tanda, sebagian lagi belum.
Pemandangan pertama itu kini berganti deretan rumah-rumah setipe yang berdiri rapi dari timur ke barat.
Rumah-rumah setengah tembok, beratap seng, berukuran 5x6 meter itu, adalah unit rumah yang dibangun dari proyek bantuan perumahan hasil kerja sama departemen Sosial RI dan TNI.
Ada 28 unit yang dibangun. Semuanya hampir rampung, “Sisa, pintu, jendela, plester tembok dengan cor lantai bagian dalam sa,” ujar Alfredo. Rumahnya tepat di ujung pemukiman dari jalan kampung. Tak jauh dari situ, di bagian belakang rumahnya terdapat sebuah sumur berair dangkal sedalam 13 meter yang belum rampung. Beberapa cincin sumur dari campuran semen dan beton tergeletak di sekitar sumur itu.
“Kami gali itu dari bulan empat lalu,” ujar Feliciano Henriques. salah satu calon penghuni.
Karena debit airnya mulai berkurang, direncanakan akan digali lagi lebih dalam. “Akan aman kalau pada bulan Oktober nanti airnya tidak kering,” ujar Yoris, sosial worker Oxfam GB yang menadampingi komunitas di lokasi itu pada protek ATUP fase II ini.
Ia mengatakan jika airnya tidak kering pada oktober nanti maka sepanjang tahun kemungkinan persediaan air sumur akan selalu ada sepanjang tahun. Ini karena, di NTT, khususnya Timor, puncak musim panas pada bulan Oktober.

Pembuatan sumur itu menurut Norberth Bere Tarak, teknisi Watsan Oxfam GB saat saya temui di kantornya pada kamis pagi, 19 juli lalu, mengatakan ini dilakukan karena mereka melihat semangat dan kemauan keras dari komunitas untuk pindah namun terhalang ketersediaan air, sehingga dengan adanya sumur ini bisa membantu percepatan pembangunan di lokasi, selain untuk kebutuhan air minum ketika bekerja juga membantu dalam pekerjaan pembangunan rumah.

Sumur tersebut belum rampung, baru dipasang tiga buah cincin dibagian dasar, sedangkan sisanya belum. “Masih harus digali lagi karena debit airnya semakin menurun sehingga kita kuatir nanti setelah selesai pasang justeru persediaan airnya sedikit dan tak mencukupi,” kata Norbert. Pagi itu ia ditemani oleh Jhon Ello, koordinator PHE atau teknisi watsan Oxfam GB.

Alfredo dan komunitasnya berencana pindah setelah pembangunan unit rumah bantuan pemerintah ini rampung. “Sehingga kami bisa mulai kerja WC, kamar mandi ka atau sumur dengan dapur,” katanya.
Bahkan niatan untuk pindah ini sudah ada sejak selesai urusan pembelian tanah pada akhir maret lalu. “Biar rumah kecil seperti inipun saya tetap mau pindah, karena sudah punya tanah sendiri to,” lanjutnya sambil menunjuk pondok sederhana dari daun gebang tempat kami beristirahat siang itu.

Awalnya rencana pindah, ditentang oleh sebagian anggota komunitasnya. “Waktu itu rame, kami sampai pertemuan tiga hari,” ujarnya.
“Mereka kuatir nanti kalau sudah pindah, tidak dapat bantuan rumah dari pemerintah lagi,” lanjut Alfredo.
Karena, sepengetahuannya, jika sudah dapat dukungan dari LSM maka, pemerintah tidak akan bantu lagi padahal mereka sudah memasukan usulan untuk mendapat bantuan perumahan dari proyek perumahan kerja sama Departemen Sosial RI dan TNI. Setelah beberapa kali pertemuan disepkatai untuk hal tersebut dikoordinasikan dengan pihak TNI sebagai pelaksana teknis proyek perumahan tersebut. Antara lain dengan Koramil di Camplong hingga tingkat Korem. Oxfam GB sebagai pendamping di wilayah itu juga intensif melakukan koordinasi hingga mendapat kepastian pembangunan 28 unit rumah di lokasi mereka, barulah anggota komunitas yang lain setuju untuk rencana pindah.

Setiap hari Alfredo dan saudara-saudaranya pulang balik Tuapukan – Koleduki untuk memantau perkembangan pembangunan disana, bahkan terkadang mereka juga ikut bekerja membantu para tukang bangunan.
“Waktu material bangunan turun di sini itu tanggal lima juni, tanggal empatnya kami sudah tidur di sini tunggu,” timpal Feliciano Henriques.
Saking bersemangatnya, mereka sampai harus membangun tenda-tenda darurat untuk menginap sementara di lokasi.

Sebulan telah terlewati, lokasi pemukiman baru di Koleduki sudah menunjukan perubahan wajahnya. Sekalipun belum selesai pembangunan rumah namun kehadiran rumah-rumah yang belum rampung, dan kesibukan calon-calon warganya memberi warna tersendiri. Selain sebidang lahan itu, juga membawa perbedaan bagi warga lokal di sekitarnya. Lokasi yang dulunya sepi, hanya dipenuhi semak belukar dan tanaman jagung serta singkong saat musim berkebun, kini sudah mulai ramai.
Salah seorang warga lokal yang menurut pendapat Alfredo dan kawan, bahkan juga diakui Yoris, senang dengan kehadiran warga baru di lokasi ini adalah bapak Meno, seorang petani yang berkebun tak jauh dari lokasi itu. Setiap pagi dan sore, selesai mengiris tuak di kebunnya, ia selalu menyampiri mereka dengan membawa, hasil kebunnya. Entah itu tuak manis, laru putih, gula air hingga singkong rebus. Yoris, Nur, Yaret, staff lapangan Oxfam GB, juga pernah menikmati hasil kebunnya saat berkunjung ke sana.
“Dia orang baik. Malam pertama kami datang gali sumur itu saja, dia sudah pikul bawa tikar dengan bantal datang tidur di sini temani kami kerja, ” ujar Feliciano sambil menunjuk ke arah sumur.

“Suatu hari, dia pung anak dua orang yang tinggal di kampung sebelah datang ke kami. Mereka bilang, tolong perhatikan kami punya bapak karena bapak tinggal di kebun di kebun sini sa. Saudara dong di sini yang paling dekat jadi tolong perhatikan dia, kalo ada apa-apa tolong kasi tahu kami,” cerita Alfredo. Ia mengatakan mereka juga bertekad untuk berusaha sebias mungkin beradaptasi dengan kebiasaan dan adat setempat. “Kami masuk di sini berarti kami harus ikut aturan di sini e,” lanjutnya.

Di lokasi ini, Oxfam GB akan membantu pembangunan shelter untuk dapur. Sesuai kesepakatan yang telah dibuat dengan komunitas shelter tersebut akan dibangun dibelakang rumah yang dibangun pemerintah.
Alfredo dan komunitasnya menargetkan pembangunan yang akan dimulai setelah pemindahan warga ke lokasi tersebut akan selesai pada akhir agustus nanti, jika materialnya sudah didistribusi pada awal bulan agustus.

Menurut Norbert dan Jhon Ello, Selain itu direncanakan akan dibangun sebuah kamar mandi umum, dan dua septic tank di dua WC yang letaknya berdekatan dengan sumur yang ada. Karena standar kesehatan yang dipakai dalam proyek ATUP fase II yakni standar sphere mengahruskan jarak antara septic tank dengan smumur itu harus 30 meter. Standar sphere adalah sebuah standar untuk proyek-proyek kesehatan yang sering dipakai oleh LSM-LSM dari tingkat lokal hingga internasional di seluruh dunia.
“Sebelumnya tentu kita harus melewati tahapan perencanaan bersama komunitas dulu,” ujar Norbert.

Untuk menata pemukiman ini, Alfredo dan komunitasnya, terutama yang berasal dari kamp Tuapukan sekitar dua puluhan keluarga, berencana untuk membuat pagar di sekeliling pemukiman dan setiap rumah, “Sehingga kelihatan rapi,” ujar Alfredo.
Untuk menghijaukan lingkungan, Yoris yang siang itu sangat senang melihat semangat yang ditunjukan Alfredo dan kawan-kawannya mengatakan telah berencana dengan mereka untuk menanam anakan Angsana di sekeliling lokasi, “Cuma saya belum tahu mau ambil dari mana anakan angsana itu,” katanya.

Kini, Alfredo dan komunitasnya sudah cukup lega karena telah memiliki tanah dan rumah sendiri. “Saya bersyukur sekali akhirnya bisa punya tanah sendiri, dapat bantuan rumah. Sekarang saya tidak perlu kuatir untuk orang usir karena ini tanah milik saya.” Tuturnya.
Senada dengan itu juga dikatakan Joao, seorang kawannya yang juga ada siang itu, “Saya senan karena su puna tanah sendiri dibanding kalo kita masih di kamp, tiap hari kita tinggal di oran puna tanah kita malu juga e”.
Mama Ana Teresa Dos Santos (30) yang siang itu sedang menimba air dari sumur baru mereka, mengaku senang dengan kondisi mereka saat ini, “Pasti senang e..mau apalagi. Sekarang kita sudah punya tanah, rumah juga sudah ada, nanti dapur lagi, sumur juga sudah ada. Saya sudah senang,” ujarnya sambil tangannya terus menarik seember berisi air dari dalam sumur.

Itu semua bukan akhir dari perjuangan panjang menuju sebuah solusi yang layak dan bertahan, sebagai sebuah syarat menuju tertatanya sebuah kehidupan baru bagi komunitas eks pengungsi Timor Timur. Alfredo, Feliciano, Joao, mama Ana dan keluarga-keluarga lain calon warga baru Koleduki, masih harus berjuang mendapatkan sebidang lahan garapan untuk bertani. “Memang itu masih jadi persoalan bagi kami. Sekarang kami sudah coba untuk minta tapi belum semuanya berhasil dapat, baru sebagian saja,” ujar Alfredo. Saat ini mereka masih konsentrasi pada penataan lokasi tinggal yang baru, “Setelah kami semua tinggal di sini baru kami mulai dekati lagi saudara-saudara di kampung sini,” lanjutnya.

Siang itu saya senang, komunitas yang dulunya pesimis bahkan menolak dimotivasi untuk mencari lahan secara mandiri, kini telah sadar dan sudah menunjukan tindakan nyata atas pilihan yang mereka putuskan bersama. Lebih dari separuh jalan menuju solusi layak telah terlewati.