Tuesday, October 16, 2007

Arti Sebuah Kesetiaan

Tulisan ini untuk mengenang “ambei koster katuas” yang telah berpulang pada awal Juni 2007 lalu. Yang mengajarkan arti sebuah kesetiaan dan totalitas melayani.

Oleh :
Olyvianus Dadi Lado


Jumad, 8 Juni 2007. Tit…tit….tit ...bunyi sms dari HP Nokia 1100 butut milik saya. Ternyata sms dari kakak tertua saya di Besikama,
“Oll, om koster tua su meninggal tadi malam”. Sontak saya terhenyak beberapa saat.

***
Tubuhnya kurus, pendek, berkulit hitam. Rambut dikepalanya sudah memutih dan jarang-jarang karena termakan usia. Sebagian besar giginya yang hitam karena sirih pinang sudah tanggal. Ia tak mengenal baca-tulis.
Terakhir saya bertemu dengannya akhir april lalu saat mengikuti kebaktian di gereja Imanuel Maktihan di Besikama, sebuah desa di kecamatan Malaka Barat bagian selatan kabupaten Belu. Gereja Imanuel Maktihan termasuk dalam wilayah Klasis Belu. Merupakan gereja induk dari 12 mata jemaat di wilayah kependetaan Maktihan. Awalnya gereja ini berlokasi di desa Maktihan kemudian pindah ke Besikama.

Ia adalah koster pertama di gereja itu. Sejak gereja Maktihan hadir pada tahun 50-an ia sudah melayani. Menurut cerita banyak orang, dulunya ia adalah seorang pencuri ulung yang ditakuti dimana-mana. Kemudian ia bertobat dan melayani sebagai koster.
Ia bersama mama Robe, sang isteri memiliki tujuh orang anak. Dua diantaranya sudah berkeluarga. Mereka tinggal tak jauh dari gedung gereja Imanuel Maktihan di kampung Makfatin, hanya sekitar dua ratusan meter jauhnya.

Sesampai saya di Besikama, pada sabtu sore sehari setelah mendapat berita duka, malamnya bersama beberapa teman pemuda gereja dan pak Pendeta Angkol Tangwal dan isterinya yang juga pendeta di wilayah Loomaten, pdt. Loni Tangwal – Ndoen, kami pergi melayat. Pendeta Angkol mulai bertugas di Besikama sekitar enam tahun lalu. Sekalipun berasal dari Alor, ia sudah bisa berbahasa fehan bahkan sangat fasih melafalkan lagu-lagu rohani dalam bahasa fehan.

Malam itu angin dingin serasa menusuk langsung ke tulang saya. Tanah yang becek dan berlumpur karena hujan yang turun selama seminggu sebelumnya turut menambah dingin malam itu.

Jenasah koster tua itu disemayamkan di rumahnya, sebuah rumah yang sederhana. Beratap rumput ilalang, berdinding bebak, namun hanya seperempat bagian rumah itu yang berdinding, hanya sebuah kamar di bagian depan berukuran kira-kira 2x3 meter tempat jenasahnya dibaringkan. Halaman rumah yang berlumpur, memaksa tenda duka digelar lebih ke depan lagi.

Sudah banyak orang hadir disana, hampir semuanya saya kenal, ada tokoh-tokoh jemaat, ada tetangga sekampung saya, ada teman-teman sepermainan semasa kecil dulu, juga ada orang-orang yang sengaja datang untuk berjudi sebuah kebiasaan buruk yang sudah berakar urat di Belu ketika ada kedukaan, bukannya mereka datang untuk menghibur keluarga yang berduka tapi datang untuk mencari untung ditengah kedukaan orang lain.
Setelah tegur sapa dengan beberapa orang tua, saya langsung menuju ke ruang kosong di rumah duka.

Di dalam kamar tepat di bagian kiri pintu masuk, Mama Robe duduk lemas di samping ranjang kayu sederhana tempat suaminya berbaring, rambutnya yang kusut diikat asal jadi. Kain hitamnya sudah bercampur lumpur coklat pada bagian bawah dan belakang, kebaya putihnya sudah hampir berganti warna menjadi kuning.
Saya menyalami tangan dinginnya, sepasang mata tua itu nanar menatap saya, “Oll, ambei ba tia’an”, ujarnya lirih hampir tenggelam dalam hiruk pikuk suara dari luar. (Oll, bapak tua sudah pergi - fehan).
Ia mengatakan, menjelang kepergiannya, koster katuas hanya menanyakan kapan anak-anaknya datang untuk menengok dia. Anak-anak yang dimaksud adalah anak-anak dari alm pendetanya dulu, yakni saya dan saudara-saudara saya yang sudah lama tak pergi melihatnya.
“Loron-loron nusu emi dei.” Lanjut mama Robe, tangannya sesekali mengelus-elus pinggiran tais berwarnah merah penuh motif khas Fehan yang menutupi sekujur tubuh suaminya. (tais : sarung tradisional-fehan)

Saya tak mampu berkata-kata, hanya tepekur dalam diam mendengarnya. Rasa bersalah perlahan menyelimuti sudut-sudut hati. Mata saya mulai berkaca-kaca, bukan karena kepergiannya tapi menyesal karena tak sempat menemuinya pada saat-saat terakhir hidupnya. Di sisi lain, saya juga bersyukur ia telah dipanggil pulang, bersyukur karena ia telah dilepaskan dari penderitaan di dunia ini.

Ia sudah lama menderita sakit “bengek”, ISPA akut. Batuk parah yang dideritanya membuat ia sering kesulitan bernafas, bahkan untuk berjalan-jalan di sekeliling rumahnya saja ia harus berulang kali berhenti sejenak mengatur nafas. Setiap melangkah hampir seluruh anggota tubuhnya gemetar, begitu juga ketika ia berbicara atau mencoba tersenyum. Sudah berulang kali diobati entah itu obat-obatan dari puskesmas maupun obat tradisional sudah dikonsumsinya namun penyakit itu tetap tak sembuh. Tubuh ringkihnya itu kian hari kian menyusut. Mukanya yang tirus kian menampakan tulang.

Satu kelebihannya yang selalu saya ingat adalah selalu tersenyum sepanjang saya bertemu dengannya baru sekali saya melihat ia bersedih dan meneteskan air mata, yakni saat ayah saya, yang biasa dia panggil dengan “Ama pendeta Dadi” meninggal pada 2001 lalu.

Malam itu ditengah suasana duka, saya mencoba merangkai kembali ingatan saya akan sosok seorang koster katuas yang terbujur kaku dihadapan saya.
Ada banyak kenangan bersamanya, bukan hanya saya namun seluruh jemaat Imanuel Maktihan tak mengingkari kalau banyak suka dan duka yang telah dilewati bersamanya hingga saat ini.

Pada masa aktifnya sebagai koster gereja sekitar akhir tahun 50-an hingga akhir 80-an, Besikama belum seramai sekarang. Belum ada angkutan kota (angkot) dan ojek. Saat itu alat transportasi yang paling banyak digunakan adalah kuda, itu bagi yang memilikinya, yang tidak ya harus berjalan kaki.
Mata jemaat dalam wilayah Maktihan saat itu meliputi daerah perbatasan Belu dan TTS di Biudukfoho hingga daerah di sebelah sungai Benenai di Kobudiin, Angkaes dan Makwar yang secara pemerintahan termasuk wilayah kecamatan Malaka Tengah. Pada masa itu sarana jalan raya dan jembatan belum sebagus sekarang, jembatan Benenai baru ada pada sekitar tahun 1983.

Persebaran jemaat GMIT di wilayah Maktihan yang begitu luas membuat komunikasi dan koordinasi antara pendeta wilayah di gereja induk Maktihan saat itu pendetanya adalah alm. Pendeta Lambertus E. Dadi Lado, dengan penanggungjawab di setiap mata jemaat, hanya mengandalkan kurir untuk menyampaikan pesan. Entah dalam bentuk surat maupun lisan.
Penyampai pesan yang paling sering melakukan itu adalah koster katuas. Kadang ia ditemani oleh beberapa pengurus gereja, namun pada saat mendesak ia harus melakukannya sendiri. Ini membuat ia tak lagi dikenal dan ditakuti sebagai seorang pencuri ulung namun dikenal dan dihormati sebagai seorang pelayan Tuhan.

Saya termenung, sering kita menganggap remeh peran seorang koster. Sering kita menganggap dia sebagai seorang pesuruh. Bayangkan betapa repot dan susahnya jika harus membagi tugas diantara jemaat atau, pemuda atau majelis gereja sekalipun hanya untuk membersihkan gedung gereja, menyiapkan peralatan dan lain-lainnya sebelum kebaktian setiap minggunya.

Tanpa disiplin koster untuk bangun setiap pagi di hari minggu mungkin kita kesulitan mendengar irama bunyi lonceng gereja, bukankah bunyi sebuah lonceng gerejapun bisa menjadi motivasi dan inspirasi bagi banyak orang Kristen?
“Lonceng gereja su babunyi gandong..e..e...”. Baris pertama dari lagu yang pernah dinyanyikan Melki Goeslaw, bukti lonceng gereja yang dibunyikan oleh seorang koster bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang.

Irama lonceng yang membahana di Besikama setiap pagi di hari minggu yang memberi motivasi, semangat hidup, panggilan bahkan inspirasi bagi jemaat itu juga yang membuat gangguan permanen pendengaran pada telinga Koster Katuas. Namun itu tak membuatnya berhitung untung – rugi. Sunggingan senyum di bibirnya justeru semakin lebar ketika melihat bangku-bangku kayu yang disusunnya itu terisi penuh oleh jemaat yang pergi beribadah.
Menurut saya, ini bentuk paling sederhana dari arti sebuah kesetiaan, totalitas dan ketulusan melayani. Setiap hari minggu, ia adalah orang pertama yang hadir di gereja, sehabis kebaktian ia juga yang paling akhir pulang.

Kesetiaannya hampir tak ada duanya di Besikama menurut saya. Dalam keadaan sakit, empat hari sebelum kepergiannya pada hari minggu pagi, 03 Juni 2007, ia masih pergi berbakti di gereja.
Dengan tertatih-tatih sambil memegang tongkat kayu kusam miliknya, ia tetap bersemangat menuju gereja. Jarak sejauh dua ratusan meter itu ditempuhnya dalam waktu yang cukup lama bahkan lebih lama dari seorang anak kecil.
Sekalipun ia harus berhenti hingga belasan kali untuk mengatur nafas dan mengumpulkan tenaga, ia tetap berjalan memenuhi panggilan Tuhannya lewat bunyi lonceng gereja yang dulu sering ia lakukan.

Pada hari kamis, 7 Juni 2007, sekitar jam delapan malam, kesunyian malam di Besikama terusik bunyi lonceng gereja. Lonceng yang dulunya sering dibunyikannya untuk memberi kabar kepada jemaat wilayah maktihan untuk pergi beribadah, berbunyi lagi memberi kabar tentang kepergian seorang koster katuas, koster pertama di gereja itu. Lonceng itu dibunyikan oleh koster muda penerusnya.

Inspirasi yang pernah ia berikan lewat bunyi lonceng, semangat melayani yang telah ia tunjukan membuat rasa duka saya dan jemaat yang malam itu hadir terobati. Kami justeru seharusnya bersyukur atas peristiwa ini. Karena kepergiannyalah kami bisa melakukan permenungan atas apa yang sudah pernah dibuatnya.
Sepanjang malam hingga pukul tiga dini hari, kami terus bernyanyi memuji Tuhan. Laki-laki, perempuan. Tua, muda semuanya ikut bernyanyi. Kecuali sekelompok orang yang masih terus bicara soal politik tanpa juntrungan di tenda yang digelar tak jauh dari rumah duka dan sekelompok lagi yang kecewa karena keinginan berjudi mereka malam itu tak bisa diwujudkan setelah ditegur oleh polisi.

***

Senin, 11 Juni 2007. Langit di atas Besikama hitam, tak setitikpun warna biru nampak. Matahari sore tak menampakan sinarnya. Tanah masih becek dan berlumpur seperti hari-hari kemarin, sekalipun hujan sudah tak turun sejak empat hari lalu.
Orang-orang mulai berkumpul di bawah tenda duka. Beberapa tokoh jemaat di kampung Makfatin sibuk mengatur kursi dan mempersiapkan keperluan kebaktian. Sore itu, empat hari sudah koster katuas berbaring kaku di ranjang kayu sederhana miliknya. Ia akan dikuburkan.
Kuburan untuknya sudah disiapkan, seratus-an meter dari rumahnya di seberang jalan kampung. Saya dan beberapa pemuda gereja juga sudah bersiap membawakan lagu dalam kebaktian itu.

Sekitar jam empat kebaktian dimulai. Kepala-kepala kami hanya menunduk sepanjang kebaktian berlangsung mendengar renungan yang disampaikan pendeta Angkol Tangwal.
“Tuhan memang Maha Kuasa. Ia memakai potensi yang ada pada ambei koster katuas, bapak Hendrikus Klau ini untuk pekerjaannya,” ujar pendeta Angkol.
Seketika saya mendongakkan kepala, nama itu baru saya ketahui. Selama ini saya hanya mengenalnya dengan nama ambei koster katuas. Nama Hendrikus Klau seakan asing bagi telinga ini. “Ah...hh, ternyata sayapun tak begitu mengenalnya” batin saya. Kepala ini kembali tertunduk, mata saya kembali basah.

Pendeta Angkol mengibaratkan koster katuas dengan cerita tentang pertobatan rasul Paulus. Koster katuas yang dulunya adalah seorang pencuri kemudian bertobat dan menjadi saksi Kristus lewat pekerjaan sebagai koster. Begitu juga dengan rasul Paulus yang dulunya bernama Saulus, adalah seseorang yang namanya membuat gentar banyak orang Kristen pada masanya. Namun lewat cara Tuhan, ia bertobat dan Tuhan memakai keahliannya dan potensinya menjadikan ia seorang penginjil yang militan, setia dan total dalam melayani Tuhan bahkan hingga ia mati.

Sekitar jam lima jelang enam sore, peti kayu sederhana berisi tubuh kaku koster katuas dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya. Kuburannya juga sederhana, tak ada keramik atau porselin dari marmer seperti kuburan pejabat gereja lainnya. Yang mengantarnyapun bukan orang-orang “besar”, hanya orang-orang kecil, jemaat yang pernah menikmati alunan irama bunyi lonceng gereja dari tangannya.

“Loro atu monu onan kroman lakon ba ti’an....” syair sebuah lagu fehan yang menjadi pembuka saat kebaktian tadi serasa seirama dengan malam yang mulai turun.
Kuburan itu kembali sunyi, hanya terdengar desiran angin mempermainkan dedaunan pohon kapuk yang menaunginya.
***

Ia memang telah meninggalkan jemaat Imanuel Maktihan namun teladannya telah ditinggalkan bagi penerus-penerusnya. Kesetiaan dan totalitas melayaninya yang tanpa pamrih adalah pelajaran berharga dari Hendrikus Klau yang lebih dikenal dengan nama Koster Katuas.