Saturday, March 11, 2006

Sebuah Cerita dari Kamp Pengungsi

Olkes Dadi Lado

17 Desember 2004, Kamp Tuapukan lengang. Kamp Tuapukan adalah sebuah kamp pengungsi terbesar di kabupaten Kupang, saat ini masih dihuni 500-an keluarga pengungsi asal Timor Timur.

Jalan berbatu yang membelahnya menuju Olio kampung tetanggapun sepi.
Rumah-rumah darurat beratap gebang, berdinding bebak (pelepah gebang) kosong tak kelihatan penghuninya, kecuali sebuah rumah dekat pabrik garam yang sudah tidak berfungsi lagi sejak 1998, seorang ibu hanya bersarung tais (kain khas Timor) sedang mencari kutu di kepala anak perempuannya, sebagian besar berada di kebun di kampung Olio, sebagian lagi sedang tidur siang.

Cuaca siang itu panas sekali, ciri khas Kupang walaupun sudah memasuki minggu kedua Desember.
Dominggos Soares, biasa dipanggil Ameu baru saja selesai makan.
Pemuda berambut panjang sebahu, tanpa baju hanya bercelana loreng seragam tentara yang dipotong pendek itu, kembali meraih pahat dan sebuah martil kecil, mulai membuat ukiran pada sebilah papan jati mengikuti motif yang sudah digambarnya.
Ia berasal dari Los Palos-Timor Timur, mengungsi ke Timor Barat pada September 1999 akibat konflik pasca Referndum di sana. Semenjak 2002, ia mulai berprofesi sebagai tukang kayu, hasil pelatihan ketrampilan pertukangan yang dilakukan CWS (Curch World Service).

Sesekali ia menyeka keringat di keningnya dengan selembar handuk yang tak jelas lagi warnanya.
Angin kencang yang bertiup dari arah laut siang itu tak banyak membantu mengusir panas.
Seratus meter dari tempatnya, terdapat sekumpulan rumah darurat lebih tepat dikatakan gubuk milik pengungsi asal Dillor kabupaten Viqueque juga kosong tak kelihatan penghuninya.
Sebagian besar penghuninya pergi melayat ke kamp Noelbaki-kamp lainnya yang berjarak 10 km dari Tuapukan- ada anggota keluarga mereka yang meninggal di sana. Yang lainnya sedang berada di kebun.
Tempat tinggal mereka berbatasan dengan kampung Olio.

Belum lama Ameu asyik dengan pekerjaannya, sekitar pukul 12.15.
Ia mendengar suara teriakan, “ Hoooi… ada kebakaran..hooi”, berulang-ulang.
Ia melepas peralatan kerjanya, menoleh ke asal suara itu.
Asap tebal membumbung di atas lingkungan orang-orang Dillor.Ia segera berlari ke sana.
Penghuni kamp yang lainpun ikut ke sana. Api menjalar dengan cepat, rumah dari daun gebang dan dinding bebak serta tiupan angin yang kencang mempercepatnya.

“Rumah-rumah orang Dillor terbakar, tidak tau apinya dari mana” kata Delio, adiknya yang lebih dahulu tiba.
Siang itu ia sedang berada di rumah paling ujung lingkungan Los Palos dekat lingkungan Dillor.
Di sebelah utara ke arah laut, orang-orang lokal dari kampung Olio sudah banyak berkumpul, asal teriakan itu dari sana.

Kaum lelakinya sibuk mengangkut barang dari rumah-rumah yang belum sempat terbakar. Berbeda dengan ituDi sebelah selatan tempat Ameu dan orang-orang Los Palos berkumpul tepat di batas antara lingkungan mereka dan lingkungan orang Dillor. Tak ada gerakan untuk membantu.

Sekelompok orang berlarian dari arah kebun, di seberang jalan dekat kali kecil pinggir kampung Olio, melewati lahan milik RRI Kupang. Marcelino koordinator kamp Viqueque berada paling depan, tanpa mempedulikan panas api dan asap yang menyesakan dada, ia menerjang masuk ke rumahnya yang terletak di bagian Timur. Tak ada barang lain yang dibawanya kecuali sebuah motor bermerk Honda Win yang didorongnya keluar.

Di sebelah timur, sekelompok mama-mama berusaha memadamkan api dengan air dalam ember, tapi tak berhasil. Nyala api makin besar. Rumah-rumah darurat itu roboh satu demi satu.
Ameu dan lima temannya berusaha merobohkan sebuah rumah di lingkaran luar lingkungan itu untuk mencegah api menjalar rumah-rumah lainnya di lingkungan mereka.

Tangisan, teriakan komando, makian, bunyi daun dan dinding yang terbakar bercampur menjadi satu.Orang makin banyak berkumpul tapi tak banyak yang bisa dibuat, api menjalar sangat cepat. 39 rumah yang ditinggali penghuninya siang itu habis terbakar.
Semuanya rata dengan tanah.

Tak sampai sejam kemudian api mulai padam. Suasana berangsur tenang, teriakan komando tak lagi terdengar, hanya isakan tangis dua janda sambil memandangi kotak tempat uang tabungan mereka sudah menjadi arang, gambaran uang-uang kertas 10 ribuan masih terlihat. Sesekali terdengar letupan-letupan kecil bara api sisa pembakaran.

Tangisan histeris terdengar saat sebuah angkot berhenti di situ. Mereka yang pergi melayat kembali mengeluarkan air matanya karena melihat rumah mereka yang berubah bentuk menjadi seonggok arang.Dari jauh terdengar sirene mobil pemadam kebakaran perlahan mendekat.