Saturday, March 11, 2006

Indonesia di Mata Bang Jayus

Olkes Dadi Lado

Sekitar pukul 15.30, selesai kursus hari I di Pantau, saya dan Frans pulang ke penginapan di jalan kemandoran menumpang angkot 09, angkot itu kosong tak ada orangnya, hanya kami berdua di belakang dan satu orang di depan serta si abang supir.

Berwarna biru muda, kusam tak terawat, dashboardnya sudah bolong entah penutupnya kemana, joknya berwarna coklat tua juga lusuh, berlubang di mana-mana.
Sekitar 300 meter berjalan penumpang di depan turun, baru jalan sekitar 10-an meter, angkotnya berhenti, macet di depan, “ 2007-2008 kalo gini terus banyak yang mati kelaparan di jalanan”, kata si supir, berkaos putih berambut lurus dipotong pendek, wajahnya tak kelihatan.
“ Kenapa bang?” tanya saya,
“Abis gimana nggak susah kondisi gini terus rakyatnya mau makan apa? Lama-lamakan orang bisa mati”. Keluhnya.
“Saya ini sudah berusaha mati-matian bang, tapi mau gimana lagi untuk makan sehari aja rasanya nggak cukup” tambahnya .
“Presiden udah kepilih malah nyengsarain rakyatnya, hanya ngomong doang, mereka enak duduk di belakang meja, coba kalo berani turun ke lapangan kalo mau bicara”.

“ Emangnya sehari dapat berapa, bang”.
“Yahhhh nggak cukuplah bang, dulu kalo bensinnya belum naik sih bisa, tapi sekarang mana bisa, kalo setoran sih bisa diatur tapi bensin kan nggak bisa ngutang. Katanya subsidi untuk angkot 46 rebu, tapi dengan harga bensin sekarang ya paling ketutup sebagian aja, kan kalo ngisinya penuh 90 rebu, nah 46 nya dari subsidi tapi yang 42nya gimana coba malah pengeluarannya lebih besar dibanding dulu kalo dulu ngisi bensinnya cukup 40 rebo”. Katanya lagi sambil sesekali menengok ke belakang. bang Jayus namanya, biasa mangkal di depan universitas Widuri.


“Kalo gini terus mending misah aja deh bang, s'tuju kalo ada yang minta misah dari Indonesia kayak Tim Tim, saya ini putra bangsa asli bang, kakek saya dulu pejuang sebelum tahun 45, tapi buktinya apa… saya nggak pernah merasa jadi anak bangsa ini. Pemimpin-pemimpin kita ini gak ada yang beres, jelek-jelek ni bang ya..maaf… aku ini orang biasa nggak tau politik, tapi menurut saya ini semua karena pemerintah kita yang sekarang ini gak punya sistim kekompakan, jelek-jelek jamannya soeharto biarpun dia dibilang melanggar HAM tapi punya sistim yang jelas dan kuat, ekonomi bisa diatur, keamanan bisa diatur, lah yang sekarang jangan ngomong ekonomi keamanan aja nggak beres, ribuan nyawa rakyat udah jadi tumbalnya”, lanjutnya lagi.
“Sekarang kalo ada negara lain yang bisa menampung aspirasi rakyat mending mereka aja yang mimpin deh, dari pada orang kita tapi nggak mau dengar rakyat, udah naik malah morotin uang rakyat masuk kantong sendiri”.


Sambil sesekali tangannya mengoper perseneling angkot 1,2, paling tinggi 3 tapi hanya sebentar udah kembali 2, angkot terus melaju perlahan, sesekali matanya melirik calon penumpang dan menawarinya, lain kali menengok ke belakang tapi hanya sebentar, tetap tidak jelas raut wajahnya, jalanan masih saja macet, deru mesin mobil bercampur motor seakan menyaingi suaranya.
“Apotik kemandoran ya bang”.
“Iya masih di depan bang”, jawabnya.
“Kalo nggak bisa misah mending revolusi aja, saya lebih setuju kalo revolusi asal rakyatnya kompak, kalo gak ya pasti kalah, dia nggak takut karena pikirnya punya pasukan kan, kita rakyat ini takut kalo udah berhadapan sama pasukan”.


Papan apotik kemandoran sudah kelihatan, “Sekarang ini pemerintah kita bukan hanya nggak punya nurani tapi udah kayak binatang bang”, ujarnya lagi dengan geram.
”Yah entah sampai kapan kita nggak tau lah, makanya saya bilang 2007-2008 kalo nggak berubah banyak rakyat yang akan mati kelaparan” ujarnya sesaat sebelum kami turun.
“Makasih bang, Salam ya buat orang-orang di Timor sana”.ucapnya sambil menerima ongkos angkot.

(Kisah ini saya tulis sewaktu di Jakarta ikut kursus JS angkatan IX Pantau)