Monday, November 30, 2009

Dari Kebun ke Dapur dulu baru ke Pasar (Pengkajian tingkat kesejahteraan petani di lima desa di kabupaten Belu 2009)

Oleh : Olyvianus Dadi Lado

Pada Juni 2009 lalu, NTT Policy Forum (NTT PF) bersama Oxfam GB melakukan studi lapangan mengenai Ketahanan Pangan Berkelanjutan di desa Mandeu Raimanus, Teun, Baudaok, Tukuneno dan Naekasa di Belu. Respondennya berasal dari rumah tangga petani yang ditentukan berdasarkan tingkat kesejahteraan. Total respondennya 10% dari populasi penduduk desa. Keterwakilan setiap kategori kesejahteraan didasarkan pada
proporsi kategori kesejahteraan dalam populasi. Keempat kategori kesejahteraan itu adalah : Rumah tangga kategori Mampu, kategori Sedang, kategori Kurang dan Rumah tangga kategori Perempuan kepala keluarga. Metode pengambilan datanya dilakukan melalui FGD, Survey Pasar dan Testimoni perwakilan setiap kategori kesejahteraan.

Hasil studi lapangan juga sudah dipresentasikan di Atambua dalam kegiatan NTT PF III yang diselenggarakan oleh NTT PF, Bappeda Belu, Oxfam GB dan CIS Timor pada akhir Oktober lalu.

Berikut ada beberapa pertanyaan kunci untuk membawa kita masuk ke cerita dibalik hasil studi lapangan ini.

Apa yang dimiliki rumah tangga petani di desa untuk memproduksi pangan?
Lebih dari 80% penduduk di lima desa lokasi studi lapangan ini bermata pencaharian sebagai petani. Musim hujan yang pendek hanya 3-4 bulan saja dalam setahun membuat mereka hanya mampu mengolah kebun atau sawah sekali setahun, hanya beberapa keluarga yang beruntung yang memiliki lahan pertanian dekat sumber air yang bisa menanam dua kali dalam setahun dan menanam lebih dari satu jenis tanaman pangan.

Dalam studi lapangan ini juga ditemukan bahwa sekalipun rata-rata setiap rumah tangga memiliki lahan pertanian sendiri namun mereka hanya mampu mengerjakan 25-40% dari keseluruhan potensi lahan yang mereka miliki (rerata luas lahan yang digarap < 1 Ha). Kategori rumah tangga yang mengolah lahan paling sempit dibanding kategori rumah tangga lainnya adalah Rumah Tangga Perempuan Kepala Keluarga.

Akses akan sarana produksi yang terbatas menjadi salah satu penyebabnya. Rata-rata rumah tangga petani hanya memiliki 3-4 jenis alat pertanian yakni cangkul, tajak, linggis dan parang. Hanya 1-2 rumah tangga kategori Mampu yang memiliki akses yang cukup akan peralatan pertanian yang lebih modern seperti traktor tangan dan perontok padi.

Sebab lainnya adalah terbatasnya tenaga kerja produktif, rata-rata dalam sebuah keluarga hanya ada 1-2 tenaga kerja yang produktif dengan tingkat pendidikan formal kepala keluarga rata-rata pada tingkat SD bahkan sebagian besar di antara mereka terutama dari rumah tangga kategori Sedang, Kurang dan Perempuan, tidak tamat SD. Selain itu, berdasarkan hasil FGD dan verifikasi saat workshop ditemukan bahwa penyuluhan pertanian di desa-pun masih rendah dan belum merata.

Temuan ini dalam workshop di Atambua pada akhir Oktober lalu juga dibenarkan oleh peserta workshop dari unsur perwakilan petani desa, menurut mama Margawati Luan dari desa Mandeu Raimanus, tahun ini kemungkinan besar mereka akan terlambat menanam. Itu berarti masa paceklik atau krisis pangan petani di desa menjadi semakin panjang. Rata-rata dalam setahun rumah tangga petani di desa mengalami krisis pangan selama 6- 8 bulan.

Bagaimana kondisi pangan rumah tangga petani saat ini?
Hampir semua kategori rumah tangga petani di lima desa lokasi studi lapangan mengatakan hasil panen mereka tak mencukupi kebutuhan makan keluarga dalam setahun. Kebutuhan makan anggota keluarga setiap kategori rumah tangga petani berkisar antara 200-300 kg/kk/tahun tidak sebanding dengan hasil panen rata-rata setiap rumah tangga petani dalam setahun yang hanya berkisar 100 s.d 300 kg. Jika melihat pada kisaran angka reratanya bisa diasumsikan hasil panennya cukup untuk makan keluarga setahun, namun pada kenyataannya hasil panen itu tidak hanya untuk dimakan namun juga dijual sebagian untuk membeli keperluan rumah tangga yang lain, biaya kesehatan dan biaya sekolah anak maka dalam setahun rumah tangga petani terutama kategori Kurang dan Perempuan selalu mengalami kekurangan pangan.

Apa yang diharapkan rumah tangga petani untuk bertahan?
Umumnya rumah tangga petani menggunakan beberapa cara yang sudah ada seperti, merubah porsi makan dari 3 kali sehari menjadi hanya 2 kali sehari, merubah menu makan harian, meminjam bahan pangan dengan sistim pinjam 1 ganti 2 saat panen, mengharapkan bantuan gratis dari kerabat dan yang terakhir adalah membeli.

Selain mengandalkan hasil tanaman pangan yang dijual, rumah tangga petani di desa juga memiliki alternatif pendapatan yang bisa mendatangkan uang bagi mereka. Rata-rata pendapatan keuangan mereka berkisar < 1 s.d 7 juta rupiah. Yang paling kecil pendapatan keuangannya adalah Rumah tangga kategori Sedang, Kurang dan Perempuan, sedang rumah tangga kategori mampu rata-rata memiliki pendapatan hingga tujuh juta rupiah dalam setahun, ini karena rumah tangga kategori ini rata-rata bekerja sebagai PNS yang memiliki gaji, memiliki usaha kios serta memiliki usaha alternatif lainnya yang menghasilkan uang.

Aset lain yang bisa diandalkan saat krisis pangan terjadi adalah barang berharga mereka seperti peralatan elektronik, perhiasan dan kain tenun. Sekalipun semua kategori rata-rata memiliki barang berharga namun rerata nilainya hanya mencapai dua juta rupiah.

Selain itu, rumah tangga petani juga bisa menjual ternak peliharaannya membeli bahan pangan namun sangat jarang karena justeru kebanyakan petani menjual ternaknya untuk keperluan pendidikan anak, pengobatan, ongkos acara adat atau pembangunan rumah. Pada aspek ini, kembali rumah tangga kategori mampu yang paling memiliki ketahanan karena ia memiliki lebih banyak ternak seperti sapi, babi, kambing, dan ayam sedang rumah tangga kategori Kurang dan Perempuan adalah yang paling rentan.

Selain mengandalkan kapasitas mereka yang ada, rumah tangga petani juga memanfaatkan dukungan pemerintah untuk bertahan. Beberapa kebijakan pemerintah seperti Raskin, PNPM, ADD dan beberapa yang lain, dirasakan cukup membantu mereka untuk bertahan pada saat krisis pangan terjadi. Sekalipun begitu dalam setahun presentase bulan rumah tangga untuk membeli pangan tetap tinggi yakni 50-60%. Selain itu, kebijakan pemerintah seperti ADD, PNPM dan yang sejenisnya selain raskin lebih banyak diarahkan pada pembangunan fisik bukan untuk peningkatan ketahanan pangan rumah tangga.

Cerita sedih diatas belum berakhir, berdasarkan survey harga di pasaran sejak tahun 2003 hingga 2009, nampak bahwa laju peningkatan harga beli konsumsi rumah tangga jauh lebih tajam dan cepat dibanding harga jual produksi pertanian, ini bisa berarti bahwa setiap tahun daya beli rumah tangga petani di desa-pun semakin menurun dengan kata lain cerita sedih ini akan terus berlanjut.

Cerita sedih ini bisa berakhir jika, sektor ketahanan pangan betul-betul menjadi prioritas dalam rencana dan anggaran pembangunan daerah, kebijakan yang ada seperti ADD dan PNPM diarahkan untuk menguatkan sektor ketahanan pangan, penguatan kapasitas petani, dan pengembangan usaha alternatif skala rumah tangga. Pertanyaannya maukah kita mengakhiri cerita sedih ini atau tidak?