Wednesday, September 21, 2005

Panti Asuhan Sola Gracia

Panti asuhan Sola Gracia terletak di desa Dualaus Kecamatan Lakaritirai kab Belu, hingga kini telah menampung 52 anak yatim-piatu dan tak mampu.

Beratap daun gebang, berdinding bebak namun tidak rapat, berlantaikan tanah, tak berjendela, pintunya pun terbuat dari rangkaian bebak (pelepah gebang-red), lebih mirip gubuk dibanding rumah layak huni terletak ditengah-tengah kamp Lakafehan.

Jika kita melintasi ruas jalan utama ke Atapupu tepatnya di wilayah desa Dualaus, disebelah kiri jalan sekitar 40 meter dari SDK Lakafehan terlihat sebuah papan hitam yang menunjukan lokasi sebuah panti asuhan. Panti Asuhan itu bernama Sola Gracia. Mungkin dalam benak hampir semua orang yang mendengar kata panti asuhan maka yang terlintas dalam alam pikirnya adalah sebuah kompleks dengan beberapa gedung di dalamnya, berpagar, mempunyai sarana-sarana bermain anak-anak dll. Hal ini juga yang saya alami ketika memutuskan untuk meliput soal keberadaan panti asuhan Sola Gracia ini. Namun kenyataan yang ditemui justeru bertolak belakang dengan apa yang saya dan mungkin kebanyakan orang bayangkan.

Bangunan itu beratapkan daun gebang, dindingnya dari bebak. Di pintu pagarnya terpancang papan nama panti. Halamannya bersih dari rumput liar. Ternyata ada dua bangunan kecil satunya adalah kantor dan juga rumah tinggal pemilik dan pengelola panti, satunya lagi digunakan sebagai tempat tinggal sekaligus tempat belajar anak-anak panti asuhan Sola Gracia.
Saat kami tiba, disambut bapak Jose Soares, ketua pembina yayasan Sola Gracia. Bapak berumur 49 tahun ini berasal dari Liquica-Timor Timur yang turut mengungsi ke Timor Barat bersama ratusan ribu warga Timor Timur pasca konflik jajak pendapat 1999 lalu. Panti asuhan Sola Gracia bernaung dibawah yayasan ini.
Kamipun dipersilahkan duduk, setelah memperkenalkan diri dan mengisi buku tamu, Nato menceritakan maksud kedatangan kami siang itu, sedangkan saya asyik mengamati keadaan sekeliling panti itu, bangunan panti terdiri dari tiga bagian, pertama ruang tamu merangkap ruang belajar dan ruang makan penghuni panti, kedua kamar tidur anak-anak perempuan dan ketiga kamar tidur anak laki-laki. Di ruang tamu yang multi fungsi itu terpampang Peta Indonesia, disebelahnya digantung sebuah papan tulis tepat dibawah papan tulis itu ada sebuah meja kayu yang cukup besar yang digunakan sebagai meja belajar diatas terdapat sebuah wadah plastic berisi air dengan seekor ikan di dalamnya, pada bagian dinding yang lain ada peta sederhana desa Dualaus dan bagan struktur pengurus yayasan Sola Gracia.

Cuaca panas menjadi tak terasa selain karena saya lebih berkonsentrasi pada keadaan sekliling ruang juga karena perlindungan dari atap daun gebang dan semilir angin yang masuk melalui celah dinding bebak panti, dalam hati saya bertanya-tanya bagaimana tidur anak-anak ini saat musim hujan tiba? Namun pikiran itu tak bertahan lama, karena acungan tangan dari seorang gadis cilik mengajak bersalaman dan mencium tangan saya. Gadis cilik bernama Duarda Da Costa, ia berumur 8 tahun, saat ini duduk di kelas satu SD I Fatu Atis.

Sejak 2004
Sesuai akte notaris nomor 37 tertanggal 28 Juli 2004 yang disahkan di pengadilan negeri klas IB Atambua pada tanggal 03 Agustus 2004, Panti asuhan Sola Gracia berdiri pada tanggal 27 juni 2004. Menurut Jose Soares, pendirian panti ini awalnya merupakan ide dari putri sulungnya, Loumesa Hari Soares. Saat itu ia masih kuliah di STT Pryago Jakarta, sambil kuliah Loumesa juga bekerja di Yayasan Mahanaem pada divisi anak jalanan, “ Waktu dia kasi tahu lewat telepon “ tutur Jose, Iapun menyetujui ide itu karena menurutnya ide pendirian panti ini sesuai dengan dorongan hati nuraninya melihat kondisi pendidikan anak-anak eks pengungsi, “ Mereka ini hidup susah ketika mengungsi ada yang tidak membawa apa-apa, sebagian besar petani penggarap, tinggalpun menumpang ditanah orang, nah apalagi dengan pendidikan anak-anak mereka”, lanjut Jose dengan nada tanya. Ia bersyukur karena sekalipun mengungsi namun masih tetap menerima gaji sebagai seorang anggota polisi sehingga ia bisa membiayai anaknya hingga ke bangku perguruan tinggi.
Dengan keyakinan inilah, setelah Loumesa menyelesaikan kuliahnya pada tahun 2004 lalu, Ia mulai mengurus proses pendirian panti ini, sebagai modal awal ia meminjam uang dari bank sebesar 18,5 juta rupiah. Uang itu digunakan biaya administrasi pengurusan akta pendirian panti asuhan Sola Gracia, pembelian tanah untuk bangunan panti dan modal awal pendirian panti (untuk pendirian panti ini dalam akta notaris, modal awalnya sebesar 10 juta rupiah) hingga kini ia masih terus mencicil pengembaliannya dengan memotong gaji setiap bulan. Karena ingin lebih berkonsentrasi pada pengelolaan panti di samping tekanan darah tinggi yang dideritanya, ia memutuskan untuk mengajukan permohonan pension dini, namun hingga kini permohonannya belum dikabulkan. Awal berdirinya panti ini di Leosama karena sebelumnya mereka menetap di desa Leosama, saat itu jumlah anak asuh sebanyak enam orang.

Berdiri diatas tanah sendiri
Dengan modal awal panti tersebut, Jose dan anaknya mencari sebidang tanah untuk lokasi baru panti asuhan Sola Gracia. Di desa Dualaus mereka mendapatkan sebidang tanah dengan luas 30x30m seharga tiga juta rupiah. Di atas tanah ini dua bangunan sederhana, secretariat merangkap rumah tinggal Jose sekeluarga dan asrama panti asuhan Sola Gracia.
Saat ini untuk perbaikan bangunan panti telah dibangun pondasi namun belum dilanjutkan karena kendala biaya, “ Itu pak, pondasi sudah dibangun ada empat ruangan rencananya, ruang tidur dua ruang, ruang makan dan ruang belajar”’ ujar Jose sambil menunjuk pondasi yang terletak di halaman depan secretariat panti.
Anak usia sekolah yang ditampung di panti asuhan Sola Gracia saat ini berjumlah 52 orang, 35 anak perempuan dan 17 anak laki-laki dari maslok maupun eks pengungsi. Tingkat pendidikan merekapun bervariasi, dari kelas satu SD hingga kelas tiga SMP. “ Hanya satu anak saja yang duduk di kelas tiga SMP, yang lainnya masih duduk di bangku SD, sebenarnya kami belum bisa tampung yang tingkat SMP karena keterbatasan sumber daya, namun karena waktu kedua orang tuanya sudah meminta untuk diterima ya…kami mau bilang apalagi, apalagi kedua orang tuanya ini sudah tergolong lansia”, ungkap Loumesa Hari Soares (22 tahun) yang mendapatkan gelar sarjana theologinya tahun lalu ini sambil sesekali mengusap rambutnya. Selain itu panti asuhan ini juga melakukan bimbingan mental dan kerohanian kepada 80 anak terlantar dua kali setiap bulan.

Empat criteria dasar
Penerimaan anak asuh di panti asuhan Sola Gracia yang beralamat di RT 01/RW 02 desa Dualaus ini didasarkan pada empat criteria dasar, yakni anak tersebut adalah anak yatim piatu, yatim atau piatu saja dan yang terakhir yang orang tuanya kurang mampu. Menurut Jose banyak diantara anak-anak panti asuhan ini kehilangan orang tuanya saat konflik pasca jajak pendapat di Timor Timur 1999 lalu. Ada yang orang tuanya hilang tak tahu ke mana ada juga yang orang tuanya mati terbunuh. Diantara ke 52 anak itu juga ada yang kedua orang tuanya masih ada namun karena kurang mampu akhirnya mereka menyerahkan anaknya untuk diasuh di panti.
Selain empat criteria dasar tersebut diatas, penyerahan anak untuk diasuh harus disetujui dan dilakukan sendiri oleh orang tua atau wali anak itu, tentunya juga harus disetujui oleh anak itu sendiri “ Setelah orang tuanya datang mendaftar, kita melakukan wawancara dengan orang tua dan si anak, ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang kehidupan keluarga, motivasi mereka dan yang lain, setelah itu kita seleksi baru meminta persetujuan dan kerelaan dari orang tuanya”, jelas Loumesa.
Ketika disinggung apakah ada pembedaan dalam penerimaan anak asuh, Loumesa menjawab dengan tegas bahwa penerimaan anak asuh di panti asuhan yang diketuainya itu tidak membeda-bedakan anak baik itu berdasarkan agama, suku, ras dan golongan. “ Kami di sini menghargai keyakinan dan agama setiap anak, memang sampai saat ini masih ada orang yang berprasangka bahwa kami hanya menerima anak yang agama Kristen Protestan saja, pada hal di sini ada juga yang agama Katholik, kami juga punya pengasuh dan pembimbing rohani bagi anak-anak yang beragama Katholik, setiap kali sembahyang sebelum makan anak-anak selalu berdoa bergiliran begitu juga kalo pas hari minggu setiap pengasuh dan pembimbing rohani mempersiapkan anak asuhnya untuk pergi beribadah, yang Katholik pergi ke kapela, yang Protestanpun begitu. Jadi sekali lagi kami mau bilang bahwa kami tidak membeda-bedakan anak-anak berdasarkan agamanya”ujar Loumesa tegas.

Bersifat mendukung
“Jadi begini pak, ke 52 anak yang ditampung di panti ini kami berikan bimbingan tambahan sesuai pelajaran yang didapat di sekolah mereka, contohnya membimbing mereka menyelesaikan PR, selain itu panti juga menanggung semua keperluan sekolah mereka seperti biaya, pakaian serangam juga makan minum sehari-hari mereka”, aku Jose.
Selain anak-anak dibimbing untuk lebih memahami pelajaran yang sudah didapat di sekolah, mereka juga diberi latihan ketrampilan seperti membuat bunga dari sedotan bekas minuman dan bercocok tanam sayur-sayuran. “ Pernah satu kali mereka mencoba membuat kebun sayur, setelah ditanam dan tumbuh, tau-tau itu sayur dong tidak jadi”, cerita Loumesa sambil tertawa kecil. Sayapun berpikir walaupun gagal namun anak-anak ini mau berusaha, satu hal yang kadang sulit ditemui dikalangan orang dewasa, masih banyak orang yang hanya menunggu dan menunggu uluran tangan orang lain.

Sumber dana
Saat ini panti asuhan Sola Gracia belum mempunyai sumber dana yang tetap untuk meyokong kegiatan panti, menurut Loumesa saat ini mereka masih mengandalkan sumbangan-sumbangan dari teman-temannya di Jakarta dan orang-orang yang peduli terhadap apa yang mereka perjuangkan. Selain itu gaji sang ayahpun tak luput dalam memberikan andil bagi operasional panti ini setiap bulannya. “ Kami sudah mencoba memasukan proposal ke beberapa lembaga namun hingga kini belum ada jawabannya”, aku Jose dengan senyum tertahan. “Mudah-mudahan”, lanjutnya “ Dengan kunjungan pejabat dari bagian social propinsi pada lima september lalu membawa hasil yang positif ke depan”.

Masyarakat dukung
Keberadaan panti asuhan di desa Dualaus ini menurut Jose Soares, juga didukung oleh masyarakat sekitar, pemerintah desa dan pihak gereja, “Waktu mau pendirian panti ini mereka setuju, semua pihak pemerintah desa, dusun, pihak gereja baik Katholik maupun Protestan ikut tanda tangan dalam rekomendasi ini”, ujarnya sambil menunjukan lembaran arsip berisikan rekomendasi tersebut. “ Begitu juga dengan pemerintah kabupaten Belu”, lanjutnya lagi.
Pada tanggal 11 Agustus lalu panti Sola Gracia bersama bagian panti social propinsi melakukan sosialisasi kepada masyarakat di desa Dualaus, “ Yang hadir waktu itu sekitar 100 orang, dari unsur pemerintah, adat, gereja maupun masyarakat biasa. Ini membuktikan bahwa secara umum masyarakat mendukung keberadaan panti ini”, lanjut Jose.
Menurut Pedro Soares (37 th), sebagai orang yang merasakan dampak langsung dari kehadiran panti asuhan ini ia senang dan bersyukur sekali karena kekurangmampuannya dalam menyekolahkan anaknya bisa terbantu. “ Ha’u senang e… tamba ajuda haukan oan”, ujarnya bersemangat.

Suka duka di panti
Seperti halnya para orang tua, anak-anak penghuni panti asuhan juga merasa senang bisa berada di panti ini, Januario Masquita (15 th) siswa SMP kelas III ini mengaku, sekarang waktunya lebih banyak dihabiskan untuk belajar, “ Saya rasa beda sekali dengan dulu waktu belum masuk, kalo dulu pulang sekolah itu malamnya saya hanya pergi nonton atau bermain saja, sekarang di panti kalo malam kami kerja PR dan belajar, saya pung nilai juga makin baik”, ungkap anak yang bercita-cita menjadi polisi ini sedikit malu-malu karena tidak menyangka akan diwawancarai saat itu. Begitu juga dengan Adelia Maria yang sehari-harinya membantu memasak dan mencuci di panti ini, mengaku setiap malam ia kebagian mengajarkan abjad, membaca dan menulis bagi anak asuh yang duduk di kelas satu SD. “Ada susahnya juga ada senangnya kadang lucu-lucu juga” ujar remaja putri ini malu-malu. Remaja yang hanya tamat SD ini mengaku senang membantu di panti karena senang dengan anak-anak selain itu ia juga kenal akrab dengan Jose Soares sekeluarga. Sedangkan Duarda da Costa, siswi kelas satu SD ini tidak berkomnetar namun menunjukan kepandaiannya dalam menghafalkan kosa kata bahas inggris yang dipalajarinya selama setahun berada di panti asuhan Sola Gracia, “…..yellow kuning, red merah, blue biru…..eye mata, ear telinga,…” lafalnya sambil tersenyum malu-malu.

Optimis dalam keterbatasan
Walaupun sudah menangani 52 anak di dalam dan 80 anak di luar. Panti asuhan Sola Gracia ini bisa dikatakan bergerak dengan segala keterbatasan baik sumber daya manusianya maupun sarana dan prasarana pendukung. Saat ini pihak panti memiliki empat pengasuh, sedangkan sarana prasarana pendukungnya cukup memprihatinkan, sebagai contoh kamar tempat anak-anak ini beristirahat untuk melepas lelah berisi dua ranjang sederhana dari bahan bamboo dan kayu satunya yang berukuran besar dibuat bertingkat menurut taksiran saya bisa memuat 10-20 anak sedangkan yang satunya kecil bisa memuat 4-5 anak, itu kalau tidak berdesak-desakan. Begitu juga dengan sarana belajar, hingga kini belum ada perpustakaan, hanya ada satu papan tulis dan dua meja kayu.
Namun bagi Loumesa dan tiga temannya dibawah pembinaan ayahnya sendiri, segala kekurangan itu bukan berarti semangat mendidik, mengasuh, membantu dan melayani anak-anak menjadi surut, mereka bertekad untuk terus melanjutkan pelayanan ini sambil terus berdoa dan berharap kepada Yang Maha Kuasa, “Kami bercita-cita suatu saat nanti panti asuhan Sola Gracia juga bisa membuka cabang di Timor Leste”, ujar Jose Soares menerawang jauh ke langit siang itu.
Dalam segala keterbatasan, mereka mencoba semampu mungkin memenuhi hak asasi anak-anak. Dalam alam pikir saya, terlintas mungkin sebaiknya Negara atau semua orang tua yang selama ini melalaikan pemenuhan hak asasi anak datang dan belajar di panti asuhan Sola Gracia ini.
@volk's