Tuesday, July 18, 2006

Kisah Penikmat BBM di Tanah Sandelwood

Melihat rantai ketergantungan BBM di Sumba Timur

Oleh
Olkes Dadi Lado

Jumad (7/7) siang. Pasar Inpres Waingapu, penuh sesak dengan pengunjung. Para penjual sibuk menawarkan dagangannya dengan beragam cara. Di sebelah jalan depan pasar, di sebuah pangkalan ojek, Oktav juga sibuk menawarkan jasa ojeknya.

Kurus, tinggi, berkulit hitam akibat terbakar panasnya terik matahari kota Waingapu.

Oktavianus Riwu (21), pemuda asal Padadita. Siang itu memakai baju kaos putih, jeans hitam pudar. Ia bersedia mengantar saya pulang ke Kambaniru.

Orangnya ramah, selalu tersenyum. Sudah menggeluti pekerjaan ini selama setahun, menggunakan sepeda motor omnya. Setiap hari ia harus menyetor 25 ribu rupiah kepada pemilik sepeda motor.

”Tapi waktu minyak lagi susah itu, dia mengerti. Kalo jalan setengah hari kasi masuk berapa saja dia terima”, lanjutnya.

Jajaran pertokoan sudah kami lewati, perbincangan di atas sepeda motor terus berlanjut.

Saat tiba di pompa bensin Matawai, serempak kami menolehkan kepala, ”Baru kemarin sama hari ini tidak lagi antrian, mungkin sudah normal”, celetuk Oktav, demikian nama panggilannya.

”Kalau tidak,... padat sekali orang yang antri”. Sambungnya.

”Hampir tiga minggu setiap hari kita harus antri dari subuh supaya bisa dapat bensin, itu juga mujur kalo bisa terisi”, lanjutnya.

Selama itu, aktifitas ojek tidak pernah dilakukan sehari penuh, karena setengah harinya dihabiskan untuk mengantri bensin.

Sejak subuh sekitar jam empat pagi, Oktav dan semua penikmat BBM sudah berlomba menuju ke SPBU yang ada di Waingapu, ibukota kabupaten Sumba Timur yakni SPBU Hambala dan Matawai. SPBU Hambala terletak di Km 2 sedang SPBU Matawai tepat di jantung kota.

”Beruntung ada siaran piala dunia jadi kita ada hiburan sedikit”.

Selain menyalurkan hobi menonton sepak bola, ia mengatakan, siaran piala dunia ini juga membantu mereka tetap terjaga sehingga bisa pergi meng-antri bensin.

”Bahkan ada yang sudah pergi tidur memang di pompa bensin sejak tengah malam”.

Selain itu ada juga yang hanya menitipkan sepeda motornya di SPBU. ”Di kilo dua sana itu ada yang ban motornya dipotong orang”, ujar Oktav.

Berbagai keresahan sosial mulai bermunculan. Minggu pertama terjadi konflik antara anggota kepolisian dengan anggota Brimob di SPBU Matawai, pertengkaran-pertengkaran bahkan sampai pada pemukulan terhadap sesama terjadi. Semuanya demi seliter bensin. Hubungan antara sesama manusia seakan tak ada artinya, bisa ditukar dengan seliter bensin—energi fosil, energi yang tak terbarukan.

Kesulitan-kesulitan inilah menurut Oktav, kemudian membuat ia dan juga tukang ojek sepeda motor lain di Waingapu menaikan tarif ojek hingga 5000 rupiah untuk wilayah dalam kota dari normalnya antara 2000-3000 rupiah.

Kenaikan tarif itu tidak serta merta memberi keuntungan bagi mereka, menurutnya walaupun tarifnya besar tapi tak sebanding dengan hasil yang mereka dapat, karena sepinya penumpang.

”Minyak susah ini, saya pemalas keluar rumah, kalo tidak ada yang terlalu penting”, ujar Ferry Daniel, salah seorang teman semasa kuliah dulu saat bertemu di pasar inpres Waingapu.

”Biasanya, satu hari dalam keadaan normal itu, saya bisa dapat 40 ribu bersih diluar minyak”, ujar Oktav.

Hembusan angin dingin di sekitar daerah persawahan Ana Dara, seolah berusaha mengusir panasnya terik matahari siang itu (7/7), sepeda motor bebek yang kami pakai terus melaju pelan mendekati wilayah kelurahan Kambaniru.

”Selama tiga minggu sulit bensin ini, saya hanya bisa dapat 30 ribu rupiah, itu juga belum termasuk bensin”. Sehingga menurutnya lagi terkadang ia harus merogoh koceknya sendiri untuk membeli bensin.

Terkadang Oktav membeli bensin pada pengecer, jika dalam keadaan terdesak. Harganya bisa dua sampai tiga kali lipat harga pasar.

Harga bensin di tingkat pengecer bervariasi tergantung jarak dan waktu. Dalam kota 10 ribu rupiah per botol pada siang hari. Malam harinya menjadi 15-20 ribu per botol.

Di Melolo, sekitar 40-an kilometer dari Waingapu, selama masa sulit ini terjadi, harga bensin per botolnya mencapai 30 ribu rupiah.

Di kabupaten tentangga, Sumba Barat yang hanya mengandalkan jatah dari depot di Sumba Timur, harganya melonjak hingga 50 ribu rupiah per botol.

Dalam keadaan normal, ia biasanya mendapatkan 15 ribu per hari sisa dari uang yang harus disetor ke pemilik motor, namun sudah tiga minggu sejak ketersediaan BBM di Sumba menipis, hampir pasti tak ada yang masuk ke kantongnya ”Untung kalo bisa dapat kembali uang bensin”.

”Beruntung juga saya ini belum berkeluarga”, ujarnya, sesaat sebelum tiba di Kambaniru.

Di sudut lain kota Waingapu, di bagian belakang pasar tak jauh dari menara milik Telkomsel, tepat di simpang jalan Palapa dan Pemuda, Mama Marselina sibuk menjajakan sayur putih miliknya.

Apa yang dialami oleh Oktav, juga dialami oleh perempuan setengah baya penjual sayur asal Mauliru itu.

Naiknya tarif ojek oleh Oktav dan teman-teman seprofesinya, selama tiga minggu terakhir di Waingapu juga membawa dampak bagi ibu ini.

”Biasanya hanya bayar tiga ribu saja. Mulai ada antri minyak ini kami harus bayar lima ribu untuk datang ke pasar, pulang juga begitu”. Ujarnya.

Ia biasanya berjualan di pasar sejak pagi hingga siang hari, ”Siang-siang begini sudah habis”.

Namun hari itu tak seperti biasanya, sebagian besar sayur masih menumpuk di atas karung plastik putih kusam, tergeletak begitu saja di pinggir jalan, tanpa pelindung.

Tangannya sibuk membuka ikatan-ikatan sayur yang ada, ”Ini musti ikat ulang lagi terlalu sedikit. Orang tidak mau beli, bilang terlalu mahal”.

Sayur-sayur itu tidak ditanamnya sendiri, ia membelinya langsung dari petani sayur di Mauliru.

”Kami beli dengan lima ratus satu ikat, kadang juga dapat dengan tiga ikat dua ribu”.

”Lalu dijual berapa di sini?” Tanya saya.

“Kami jual dengan tiga ikat 2500”.

”Hanya untung lima ratus rupiah per tiga ikatnya” pikir saya.

”Setiap hari kami dapat untung seratus sampai duaratus ribu”, lanjutnya.

Mulutnya tak henti mengunyah sirih pinang, tangannya tetap sibuk menata ulang jualannya.

”Tapi mulai orang antri minyak ini, harga ojek mereka kasi naik, satu hari kami hanya untung enam puluh ribu”. Keluhnya.

Mama Marselina, tidak bersentuhan langsung dengan urusan BBM. Dalam mata rantai ketergantungan terhadap BBM, entah ibu paruh baya ini dan masih banyak sesamanya menempati mata rantai yang mana.

Yang terjadi adalah, langsung tidak langsung mereka juga turut merasakan akibatnya. Berkurangnya pendapatan harian mereka, berarti ada sekian kebutuhan dalam rumah tangga mereka yang tak terpenuhi.

Hari menjelang malam, sekitar sembilan sepeda motor nampak antri mengisi bensin di SPBU Hambala, di sebelahnya lebih dekat ke jalan besar, terdapat dua truk sedang mengisi solar.

SPBU yang mulai beroperasi sejak tahun 2003 ini, mempunyai tiga mesin pengisian. Pada mesin kedua yang terletak di bagian tengah, duduk seorang petugas, tak ada yang dikerjakannya.

Suasana kali ini nampak sepi, berbeda dengan suasana tiga minggu lalu.

Selama tiga minggu, halaman SPBU Hambala tumpah ruah pengunjung dengan berbagai merek kendaraan bermotor, bahkan meluber hingga ke jalan besar di depannya.

Menipisnya persediaan BBM di Sumba Timur, terjadi sejak 20 Juni 2006, cerita Markus Behi, petugas SPBU Hambala. Saat ditemui di ruangan kantor SPBU, sedang siap-siap untuk menutup SPBU yang telah dikelolanya sejak tiga tahun lalu itu.

Di sebelah etalase kaca, samping kiri tak jauh dari tempat duduk saya, ada tiga orang bawahannya sedang menghitung pemasukan hari itu. Jam dinding di ruangan itu menunjukan hampir pukul delapan malam.

”Biasanya Pertamina kasi kita 10 ribu liter setiap harinya, tapi mulai 20 juni itu turun jadi 5000 liter saja”, katanya. Tangannya sibuk mengikat gepokan-gepokan uang kertas yang sudah dihitungnya.

”Menurut Pertamina, karena keterlambatan kapal dari Kupang”, lanjutnya.

Kondisi itu berlangsung selama empat hari, ”Pas 24 Juni itu kapal masuk, besoknya stok dari pertamina kembali naik jadi 10 ribu liter”.

Namun keadaan tetap tidak pulih, ”Karena masyarakat panik to jadi rame-rame datang antri takut tidak kebagian. Ditambah lagi dengan ada orang-orang yang melakukan aksi borongan”. Kata Markus.

Mendengar kata ”Aksi borongan”, saya teringat percakapan saya dengan Gerus, salah seorang petugas beberapa saat sebelumnya.

”Ada yang datang ulang-ulang untuk isi, pulang ke rumah, dia salin lalu balik lagi untuk antri”, kata Gerus.

Sebagian orang memanfaatkan kondisi ini untuk mencari keuntungan. Berbagai trik digunakan untuk mendapatkan bahan bakar lebih.

Menurut Gerus, sekalipun mereka mengetahui hal itu, tak ada yang bisa mereka lakukan, ” A..a kita sebagai operator ini kan sulit e..kalau dorang sudah datang dua kali, kita mau batasi juga takut kena pukul. Baru tidak ada aturan yang jelas tentang itu”.

Persediaan BBM kembali menipis, seperti empat hari sebelumnya. ”Akhirnya suplai BBM untuk kami turun kembali jadi 5000 liter per hari”. Kata Markus Behi.

SPBU yang bisanya beroperasi hingga malam hari pukul delapan hingga sembilan itu, terpaksa ditutup pada pukul 12 atau satu siang.

”Bahkan hari minggu kemarin (2/7), kami terpaksa tidak buka karena tidak ada stok sama sekali”. Lanjutnya.

Akibatnya menurut Markus, sekalipun pada hari senin (3/7), suplai BBM yang diterima dari Pertamina melebihi kuota normal, tetap tidak mencukupi permintaan konsumen.

”Senin itu kami dapat 25 ribu liter bensin dan 20 ribu liter solar. Tapi tetap kurang karena orang yang antri sejak sabtu itukan banyak yang tidak dapat, apalagi hari minggunya tidak buka. Jadi tetap saja kurang”. Jelasnya.

Kondisi kembali normal pada hari selasa (4/7) dari sisi ketersediaan stok di SPBU. Namun kepanikan masyarakat masih saja terlihat. Kondisi betul-betul normal pada hari Rabu (5/7), saat saya berkeliling ke ke dua SPBU yang ada di Waingapu, nampak sepi, tidak terlihat antrian seheboh tiga minggu terakhir.

Pada kesempatan lain, Kepala Pertamina Waingapu, Supilen. Saat ditemui di ruang kerjanya, ia ditemani Ndoy Hamanay, salah seorang stafnya, mengatakan, menipisnya persediaan BBM di pulau Sumba, lebih dikarenakan keterlambatan pasokan BBM dari depot Kupang.

”Mungkin karena cuaca di laut yang buruk menyebabkan kapal itu terlambat tiba di sini”, katanya.

Selain itu sependapat dengan Markus Behi dan Gerus, ia mengatakan, kepanikan warga yang berujung pada aksi sebagian orang yang menimbun BBM juga menyumbang terhadap kondisi tiga minggu terakhir di Sumba.

Sepanjang percakapan kami hampir pasti tak ada kalimat yang memberikan jaminan kondisi tiga mingggu terakhir di Sumba tidak akan terjadi lagi dikemudian hari, masih mengambang.

Sumba sebagai salah satu pulau terbesar di NTT, hanya mengandalkan satu depot, yakni depot Waingapu di Kabupaten Sumba Timur. Sumba juga bukan daerah penghasil minyak laiknya Jawa Timur dengan Blok Cepu-nya, maka hampir pasti para penikmat BBM di pulau Sumba sangat bergantung pada pasokan BBM dari luar. Jika aliran distribusi BBMnya tidak terjamin lancar maka tidak heran kondisi ”kelangkaan” BBM bisa kembali terjadi, termasuk di seluruh wilayah NTT.

Terima kasih kepada :
Jalinan Energi Indonesia Timur (JEIT), Teman-teman GMKI Cab Waingapu dan Elthon, Ma'e, Ren, Jacki, Ako dan semua kawan di Kambaniru.